2. Rencana Dua Pihak

1053 Words
Divya berjalan menuju balkon kamarnya. Pemandangan yang ia selalu temukan di sini adalah kota Jakarta yang terlihat menawan dengan lampu kelap-kelip yang seolah bersahutan. Hembusan angin malam tak terasa dingin baginya. Karena sudah mulai terbiasa dengan udara malam yang bahkan lebih dingin dari ini. Namun ia rapatkan sedikit kedua sisi ujung sweaternya. Menandakan ia memang ia tak terlalu biasa dengan keadaan angin malam yang terasa aneh menerpa tubuhnya. Matanya kosong menerawang jauh pemandangan indah yang tersaji depan sana. Memikirkan penuturan ayahnya tadi siang. Mulai membuatnya sedikit jenuh jika harus menginap di rumah ini. Karena membuatnya juga harus memutar semua kenangan tentang ibunya di memorinya. Sebuah perjodohan, itu adalah hal yang sejak dulu ia hindari. Sudah beberapa kali ia melakukannya. Semua atas usul kedua orang tuanya, memilihkan seorang pendamping yang menurut mereka mampu mengayomi, menjaga, dan memberikan kasih tulus pada Divya. Namun tak ada satu pun sosok pria hasil pilihan orang tuanya yang mampu meruntuhkan dan melelehkan hatinya yang sedingin es ini. Hanya satu orang yang pernah menetap di hatinya. Membuat sebuah kenangan manis di hidupnya. Namun semua itu harus berakhir saat ke dua orang tua mereka tak menyetujui perbedaan yang tercetak jelas di antara mereka. Membuatnya harus rela berpisah dengan seseorang yang sudah mampu memberikan Divya dunia yang sesungguhnya. Tapi, jika memang ini adalah permintaan ibunya. Mungkin Divya akan menyetujuinya. Ia terlalu sayang dengan ibunya itu. Ia ingin ibunya melihatnya tumbuh menjadi gadis baik yang selalu menghormati setiap perintah ayahnya sesuai pesan ibunya. Dan mungkin karena inilah ibunya berpesan seperti itu, menuruti perintah ayahnya untuk dijodohkan dengan putra temannya. Kini Divya mencoba membangun kepercayaan di dalam hatinya. Mencoba merangkai keyakinan bahwa ini keputusan yang tepat untuk dirinya dan masa depannya. . /// . Setelah membernarkan simpul sebuah dasi hitam di lehernya, Haydan menyambar tas kerjanya yang berada di atas kasur king size nya. Lalu ia berjalan keluar dan menuruni anak tangga yang menuntunnya menuju seseorang yang sudah duduk menunggunya di antara puluhan piring yang berisi makanan sehat untuk ia santap di pagi ini. Sejak Haydan mengucapkan salam dan mulai duduk di kursi makannya. Tak ada pembicaraan yang terjadi di antara kedua insan yang berstatus sebagai ayah dan anak ini. Suara musik klasik menghiasi ruangan itu. Haydan sudah terlalu hapal dengan kebiasaan ayahnya yang selalu menyalakan piringan hitam tua di sudut ruangan ini. Dan ia pun sedikit menikmati dan menyukai apa yang disukai ayahnya ini. Haydan sudah selesai dengan santapan paginya, ia pun beranjak dari kursi makannya. Namun ayahnya mencegah dirinya segera melenggang pergi dengan memegang lengannya kuat. "Papa ingin berbicara denganmu. Papa pikir kamu mau mendengarnya sebentar saja," ujar ayah Haydan. Ia menatap lurus mata anaknya yang sudah tidak terlihat suka dengan sebuah pencegahan yang ia lakukan. "Nanti saja jika akan pulang, Pa. Aku ada meeting pagi ini," jawab Haydan. Ia pun melepas genggaman kuat ayahnya. Lalu bergegas pergi sebelum ayahnya kembali mencegatnya. "Hah...." Ayah Haydan hanya bisa mendesah kuat karena melihat anaknya yang selalu seperti ini padanya. Sikapnya sangat acuh padanya, dan itu terjadi sejak ibu Haydan meninggal karena kebodohannya. Ia memang patut dibenci oleh anaknya ini. Haydan sudah sampai di kantornya, semuanya karyawannya membungkukan badannya ketika ia berjalan melewati mereka. Sebuah pemandangan yang memang selalu terlihat di manapun seorang bos berada. Sesampainya di singgasananya di dalam kantornya ini. Ia melepas jas biru yang menjadi pelengkap penampilan formal namun menawannya ini. Lalu ia duduk di antara lautan kertas rapi di hadapannya. Jari terampilnya sudah mulai bergerak menorehkan sebuah coretan pengakuan saha miliknya. Lalu memberinya cap yang bertuliskan "PT Globe Buana Indo". Sebuah perusahaan dengan anak cabang tersebar hingga seluruh Asia dan sebagian Eropa. Sebuah tanggung jawab besar sudah ia panggul sejak ayahnya mulai mundur dari jabatannya dan mewariskan semua perusahaan yang berpusat di Indonesia ini. Dan juga menjadi sebuah masalah juga baginya, pergaulan masa mudanya menjadi terkekang karena ini. Ia tak dapat menikmati apa yang disebut pacaran dan masih banyak lagi. Banyak wanita yang menginginkannya, tapi tak ada satupun yang mampu membuatnya luluh dari pendiriannya. Ia cukup tahu wanita-wanita itu hanya ingin hartanya, bukan dirinya tanpa embel-embel sebagai direktur utama kaya, tampan, dan muda. Namun, di masa SMA dulu. Sebenarnya ada sosok wanita yang sudah pernah ia kencani. Wanita itu juga sahabatnya saat SMA dulu. Karena hanya kepada wanita itu lah ia mempercayakan semua rahasianya. Dan saat ini, entah bagaimana ceritanya. Wanita itu sudah menjadi miliknya, namun Haydan juga harus tetap sadar, ayahnya tak mungkin mengizinkan dan merestui hubungan mereka. Perbedaan kelas ekonomi menjadi halangan nya, dan itu tercetak jelas di dahi mereka. Haydan benar-benar ingin mengutuk siapapun yang telah membuat kelas ekonomi ini, karena hal ini yang membuatnya dan wanita yang dicintainya harus menjalani kisah manis dalam kegelapan restu ayahnya. TOK! TOK! TOK! Suara pintu yang diketuk membuat Haydan tersadar dari lamunannya yang terus juga menjadi hal yang akan terus terpikirkan baginya. Siluet tubuh seorang wanita berhasil merenggut perhatiannya, wanita yang sangat ia harapkan kedatanganya. Wanita yang sama dengan yang ia lamunkan tadi. "Kamu serius banget, Mr. Nuraga," celetuk gadis itu. Kemudian berjalan menuju Haydan yang sudah menyambutnya dengan pelukan hangat khas milik pria ini. "Aku bahkan lagi mikirin kamu, Fabricia Rosalie," balas Haydan setelah melepas pelukan hangat untuk kekasihnya ini. "Aku bawain kamu makan siang," ujar Rosa. Ia memperlihatkan benda yang terbungkus kain berwarna biru yang sejak tadi ia tenteng. "Baik banget... Aku bakal makan ini nanti siang." Ucap Haydan merebut bungkusan itu dari tangan Rosa dan meletakkannya di meja kerjanya. Mata Haydan mengerling nakal pada Rosa. Cukup tahu bagi wanita ini apa yang dinginkan kekasihnya. Sudah seminggu mereka tidak bertemu karena waktu Haydan yang selalu tersita oleh kertas-kertas yang tertumpuk rapi di atas meja kerjanya. Haydan menarik Rosa hingga tubuh mereka menjadi lebih dekat dari sebelumnya. Rosa hanya terkekeh pelan tiap melihat keinginan kecil kekasihnya itu. Haydan menarik pelan dagu Rosa dan kini bibirnya sudah menempel di bibir semerah buah ceri kekasihnya. Meluapkan semua rasa rindunya dan juga rasa resahnya akan hubungan mereka yang belum menemui titik terang. Mulanya hanya kecupan kecupan kecil, namun sebagai seorang pria yang merasa memiliki gadis yang berada di pelukannya ini. Ia mulai melumat bibir itu intens. Memiringkan kepalanya ke kanan dan ke kiri mencoba mencari pasokan oksigen untuk mereka berdua. Haydan menuntun Rosa untuk mundur hingga mereka akhirnya terhempas ke atas sofa panjang yang tergeletak rapi di ruangan kerja Haydan ini. Posisi yang tentu saja membuat mereka semakin hanyut dalam pertautan manis mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD