3. Mencoba Baik-Baik Saja

714 Words
Div, lo baik-baik saja?" Tanya Nata ketika ia akhirnya menemukan temannya itu duduk di sudut gelap ruangan pemotretan. Cukup pintar gadis ini menemukan tempat yang tentu jarang ada orang yang melewatinya. "Eh? Mmm...gue baik-baik saja kok, Bang ." Jawab Divya, ia baru saja bangun dari lamunannya tentang perjodohannya yang tak kunjung menemui jawaban jelas. "Gue tahu lo ada masalah... Nah! Ceritain aja... Lo percaya sama gue, kan?" Usul Nata. Divya memandang ragu Fotografer sekaligus teman dekatnya itu. "Nggak ah, Bang . Ini bukan masalah besar juga, kok!" Ujar Divya lalu tertunduk memandang lantai dan mulai memainkan jarinya. Hal yang sudah Nata hafal ketika Divya sedang kacau. "Lo terlalu naif buat menjadi seorang pembohong, Div..." Ujar Nata. Divya mendongak menatap Nata ragu. "Gue..." Divya menghela nafasnya sebentar. " gue bakal dijodohkan, Bang ... lo tahu, kan...gue nggak mau..." Sambung Divya. "Ternyata masalah itu." Ucap Nata singkat, yang tentu membuat Divya cepat menoleh pada temannya yang malah hanya memberikan jawaban sesingkat itu atas masalah yang sudah membuat pemotretannya sedikit kacau. "Haha... Calm down, Divya!" Nata terkekeh melihat wajah Divya yang mendelik garang padanya. "Papa lo emang benar, lo harus mendapat pendamping yang baik. Dan turuti lah apa yang menjadi permintaan ayahmu. Gue pikir itu nggak terlalu buruk." Jelas Nata, tangannya memainkan dan mengotak-atik kamera SLR andalannya. "Ih.. kok gitu?! Tapi gue nggak sependapat sama lo, Bang Nata!" Ucap Divya ketus. "Hahaha.. terserahlah, tapi gue pengen lo cepat bangun dari frustasi elo, karena elo sudah bikin kacau pemotretan gue." Ujar Nata, lalu melenggang pergi menuju ke tengah-tengah kru lainnya. Meninggalkan Divya yang masih dirundung rasa bingung. Divya mengacak-acak rambutnya karena kesal. Frustasi dengan keinginan ayahnya yang kenapa harus membawa nama ibunya, membuat Divya tentu betul-betul harus mempertimbangkan permintaan itu. . /// . "Haydan." Panggil ayah Haydan ketika berpapasan dengan putranya di ruang tamu. Haydan menoleh malah pada ayahnya. "Kenapa?" Tanyanya. "Papa ingin bicara denganmu, jadi duduklah di sini sebentar." Pintanya. Haydan duduk berhadapan dengan ayahnya di ruang tamu rumah mereka. Music klasik selalu terdengar, namun itu tak mampu menutupi jika sebenarnya rumah ini sungguhlah sepi. "Papa ingin kamu segera menikah." Ucap ayah Haydan langsung pada intinya. Membuat Haydan memandangnya kesal, lagi-lagi pernikahan. "Ya, tapi aku nggak punya calonnya." Ujar Haydan. "Tapi Papa sudah menemukannya, dia yang terbaik dari yang terbaik. Papa pikir kamu akan menyukainya." "Sudah berulang kali aku katakan, Pa. Aku nggak menginginkan sedikit pun perjodohan untuk masa depanku. Aku tau itu akan berujung pada hal yang buruk sekalipun papa memberikan wanita yang baik buat aku." "Kamu nggak akan tau sebelum kamu ketemu sama dia, Dan." "Tapi aku akan tetap menolaknya." Ucap Haydan tegas. Haydan hampir melenggang pergi dari hadapan ayahnya sebelum ayahnya kembali mencegatnya dengan alasan ampuh yang mampu mengoyak pendiriannya. "Bagaimana jika ini adalah permintaan Mama mu juga. Kamu akan tetap menolaknya? Kamu ingin melihat Mama mu sedih karena kamu menolak seorang wanita yang dipilihkan oleh Mama mu?" Tutur ayah Haydan. Haydan terdiam dengan semua penuturan ayahnya. Kenapa harus ibunya yang berada dalam masalah yang sangat ia hindari ini. Bisakah keadaan mengerti posisinya yang sudah memiliki kekasih yang sangat ia cintai? Namun ini ibunya, cukup sekali ia melihat ibunya menangis. Dan sekarang ibunya sudah tenang di sana . Jadi apakah ia ingin melihat ibunya menangis lagi? Tidak. Jawabannya tentu saja tidak. "Hanya mencobanya, kan? Jika aku sudah bosan, aku boleh mengakhirinya?" Tanya Haydan, ia melirik ayahnya. "Itu terserah dengan keadaanmu, tapi Papa tahu kamu nggak akan mengakhirinya." Jawab ayah Haydan. "Baik. Aku akan menuruti apa perintahmu." Haydan melenggang pergi dari ruangan itu. Namun kembali ia memutar tubuhnya. "Kapan aku harus bertemu dengan w************n itu?" Tanya Haydan ketus. Ayah Haydan mendelik marah pada putranya. "Sebaiknya kamu tarik ucapanmu.” Namun Haydan tidak gentar dengan terguran itu, membuat ayahnya kemudian mengalah. “Lusa kamu akan bertemu dengannya." Haydan hanya tersenyum sinis. Ia selalu menganggap murahan setiap wanita yang mau dijodohkan, karena dengan relanya wanita itu menyetujui perjanjian bodoh macam ini, karena dengan adanya perjodohan maka berarti kamu sudah menggadaikan kebebasanmu untuk memilih orang yang kamu cintai sendiri, membuang kebebasanmu untuk mencintai orang yang kamu pilih juga. Haydan memang menyetujui perjodohan ini. Tapi ia hanya mencobanya, setelah itu mungkin ia akan membuang jauh-jauh wanita itu. Karena tak ada sepantasnya wanita secantik dan yang terbaik apapun mampu mengalahkan dan menggantikan posisi Rosa di dalam hidup dan hatinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD