Kiss

2341 คำ
Acara terus berlanjut hingga malam hari, semakin larut maka akan semakin seru bagi mereka. Beberapa orang memilih untuk melanjutkan permainan kartu di dalam resort karena udara yang cukup dingin sedangkan beberapa lagi masih berada di luar menunggu inti dari segala inti acara tiba. Tepat pukul 11 malam alarm yang sengaja disetel di handphone milik Yeremias berbunyi, alarm ini digunakan sebagai pertanda bahwa Coca Cola yang menemani mereka sejak sore tadi harus segera diganti dengan minuman yang lebih enak. Dengan cepat Yeremias berlari menuju resort untuk mengambil beberapa botol minuman beralkohol, tak lupa juga mengajak para mahasiswa laki-laki yang masih terbangun untuk ikut minum. “Bri, ayo ikutan! Masa mau ngerumpi sama cewek-cewek aja sih,” omel lelaki manis tersebut sembari mengambil tiga botol yang masing-masing berisi 350ml vodka dengan merk Iceland dari dalam kardus. Brian sebenarnya enggan untuk ikut-ikutan mabuk, ia lebih memilih bermain uno bersama Asha dan Maya sekalian menjaga Asha bila Mahesa tiba-tiba datang dengan keadaan setengah sadar akibat terlalu banyak minum. “Udah sana aja Bri, lagian gue sama Maya juga mau nonton drakor kok, iya kan May?” ucap Asha yang dihadiahi anggukan kepala oleh Maya membuat Brian mau tak mau ikut berdiri dan membantu Yeremias membawa minuman itu, ia berjanji hanya akan meminum satu gelas lalu kembali lagi ke dalam resort. Brian keluar bersama Yeremias dengan wajah yang masam, besok masih ada kuliah pagi dan kenapa para senior serta teman-temannya malah mabuk-mabukan seperti ini? Ia sama sekali tak habis pikir. “Bri, akhirnya keluar juga lo!” seru Banyu yang kemudian langsung menarik Brian agar duduk disampingnya. Kalau sudah duduk di dekat Banyu, yang bisa Brian lakukan hanya diam dan tidak berkutik atau lehernya yang akan menjadi taruhan. Tak lama kemudian, Mahesa datang dengan membawa gelas plastik dan beberapa botol minuman serta makanan ringan yang ia dapat dari bar tempatnya minum tadi siang. Dari sekian banyak tempat yang kosong, entah kenapa Mahesa memilih untuk duduk di sebelah Brian, membuat wajah lelaki itu semakin terlihat masam. Setelah mengeluarkan dua botol Anggur Merah dan satu botol Hatten Winnes, Mahesa dengan segera membuka tutup botolnya lalu mengisi gelas-gelas kosong itu dengan Hatten Winnes yang memiliki kadar alkohol paling sedikit diantara semua minuman lainnya. “Untuk pembukaan, kita minum yang kadar alkoholnya dikit dulu,” ujarnya sembari mengangkat gelas itu tinggi-tinggi diikuti oleh semua orang yang duduk melingkar, tak terkecuali pula Brian dengan raut wajah sangat terpaksa. Baiklah sudah satu gelas, lelaki yang tadi berjanji dengan dirinya sendiri agar hanya meminum satu gelas alkohol kini sudah siap untuk berdiri, ia akan pergi tidur sekarang. “Eits, mau kemana?” cegah Banyu kembali menarik lengan Brian agar tetap duduk disampingnya. “Mau balik bang, gue ngantuk,” ucap Brian yang jelas tidak akan mendapat tanggapan apapun dari para senior itu. Demi tuhan, Brian ingin mengutuk semua orang yang sedang berada disini. Mahesa dan Banyu sempat saling melirik lalu kembali menuangkan minuman kedua ke dalam masing-masing gelas, kali ini Anggur Merah memiliki kadar alkohol 19%. “Minuman kedua, untuk keberuntungan kita karena udah menang undian ke pantai!” seru Banyu lalu meminum satu gelas penuh kembali diikuti oleh semua orang yang berada dalam lingkaran. Tidak mau menunggu lebih lama lagi, Mahesa kemudian membuka Iceland Vodka yang berkadar paling tinggi, “Gelas ketiga, untuk kemenangan Tim B di perlombaan voli pantai tadi!” Banyu kembali berseru lalu memaksa Brian untuk meminum gelas ketiganya, wajah Brian sudah memerah dan kesadarannya hanya tersisa setengah. Melihat hal itu membuat Mahesa semakin bersemangat melancarkan aksinya, lelaki itu kembali menuang vodka di gelas Brian dan yang lainnya, mengangkat tinggi-tinggi lalu berseru, “Gelas keempat untuk Brian yang mau gabung minum sama kita-kita." Apa-apaan ini? Brian menengok ke arah Mahesa sembari menampilkan ekspresi wajahnya yang bingung, namun sejurus kemudian Banyu menengok kan paksa kepala Brian agar menghadap ke arahnya dan kembali memaksa lelaki itu untuk minum. Kepala Brian mulai pening saat ia meminum gelas keempat, pandangannya mulai sedikit kabur dan sejurus kemudian kepala itu terjatuh dengan keras di meja yang berada di depannya hingga membuat Mahesa dan Banyu terkejut karena ternyata Brian cukup lemah dalam hal mabuk-mabukan. “Baru juga gelas keempat udah tepar aja, lagi nggak?” tanya Banyu sembari mencoba membangunkan Brian agar ia bisa memaksanya untuk minum lagi. Mahesa mengangguk lalu berkata, “Campur aja semuanya, terus lo paksa dia buat minum.” “Lo gila ya? Bisa mati itu anak orang!” protes Yeremias yang dari tadi memang mengkhawatirkan kondisi Brian. Dari tiga orang ini, hanya Yeremias lah yang memiliki hati paling lembut. Mahesa tertawa ringan, ia sendiri tidak ingin membuat Brian mati karena pemuda tersebut juga memegang peranan penting demi berjalannya cerita ini. Lelaki itu kemudian mengedarkan pandangannya ke segala arah, melihat sekitar 6 orang yang tadi ikut mabuk bersamanya kini juga terlentang di bawah pasir sambil sesekali mengoceh tidak jelas, rencana pertama berhasil. Mahesa menatap lekat wajah Brian yang berada di atas meja, tersenyum tipis seolah telah mendapat kemenangan kemudian menamparnya lirih lalu ia paksa untuk bangun. “Gue bawa dia ke dalem dulu, kalian juga bawa mereka ke resort,” ujar Mahesa sembari memapah Brian yang sudah kehilangan kesadarannya diikuti dengan Banyu dan Yeremias yang menganggukkan kepalanya patuh. Asha dan Maya yang masih asik menonton drakor di ruang tengah dibuat terkejut saat melihat Mahesa datang dengan membopong tubuh Brian yang lebih tinggi darinya hingga membuat lelaki itu merasa kesusahan. Dalam hati, ingin sekali Mahesa menyeret Brian saat ini juga. “Loh kak, Brian kenapa?” bagus sekali, ia yang kesusahan namun Brian yang dikhawatirkan, batin Mahesa. “Mabuk, padahal cuma minum 4 gelas,” jelas sang senior terlampau santai. “Brian emang anaknya sensitif kalau masalah alkohol,” tutur Asha yang lagi-lagi membuat Mahesa merasa tidak senang jika gadis itu terlalu mengerti tentang Brian. “Asha ... lo mending jauh-jauh berhala satu ini,” celetuk Brian membuat suasana hati Mahesa bertambah buruk, bisa-bisanya dirinya yang beberapa senti lebih pendek dari Brian ini disebut berhala, lalu Brian sendiri apa? “Aduh, maafin Brian ya kak, gue bawa masuk ke kamar dulu deh,” ucap Maya berusaha mengaitkan tangan Brian ke pundaknya lalu memapah lelaki yang masih mengoceh itu masuk ke dalam kamar. Bukankah harusnya Asha yang mengantar Brian ke kamar? Tak apalah, rencana keduanya akan dimulai sedikit lebih cepat kalau seperti ini, pikir Mahesa. “Mau liat bintang gak? Kalau beruntung, kita juga bisa lihat Bima Sakti,” ajak Mahesa membuat Asha sedikit berpikir karena ia sebenarnya menghawatirkan keadaan Brian, tapi mungkin sahabatnya itu akan baik-baik saja karena sudah ada Maya di sana, toh kesempatan kali ini mungkin hanya berlangsung sekali dalam hidupnya. “Mau kak,” jawab Asha sembari menganggukkan kepalanya dengan bersemangat. Mahesa dan Asha kemudian berjalan keluar dari resort menuju tempat yang minim dari polusi cahaya agar bisa melihat bintang. Asha sempat dibuat terkejut oleh Banyu dan Yeremias yang masih berusaha menyeret para pemabuk tadi, gadis itu juga heran kenapa Mahesa serta kedua temannya terlihat tidak mabuk sama sekali. Yang lebih muda kembali merapatkan jaketnya berusaha mencari kehangatan di sana, sedangkan Mahesa menutup botol air mineral yang tadi ia minum sembari melihat keadaan sekitar, hening, sepi, hanya deru ombak dan hembusan angin kencang yang menemani malam mereka. Setelah dirasa berada agak jauh dari terangnya cahaya, Mahesa mengajak Asha untuk duduk di sebuah batang pohon yang memang sengaja ditata sebagai tempat duduk di sana. Mata mereka berdua kemudian menangkap sebuah kabut putih kelabu yang memanjang mengitari busur langit, terdapat gelap ditengahnya serta beberapa kerlip bintang yang terlihat sangat indah, itu adalah Galaksi Bima Sakti, sepertinya semesta ikut mendukung rencana Mahesa dengan memberikan pemandangan langit seindah ini. “Indah banget,” ucap Asha membuka suara terlebih dahulu dengan mata yang masih betah menatap ke atas langit. Mahesa tersenyum tipis, “Kabut putih itu aslinya kumpulan bintang serta debu angkasa, ada sekitar 100-400 miliar bintang yang ada di galaksi ini loh,” jelas Mahesa membuat Asha seketika memberikan atensi penuh kepada lelaki itu. “Di Indonesia namanya galaksi Bima Sakti, kalau orang luar nyebutnya Milky Way. Mau tau nggak apa makna dibalik nama-nama itu?” tanya Mahesa. Layaknya anak kecil yang serba ingin tau, Asha kembali menganggukkan kepalanya dan bersiap untuk mendengarkan penjelasan Mahesa, guru dadakannya. “Nama Bima Sakti diambil dari salah satu tokoh wayang, yaitu Bima yang tengah dililit ular naga dalam cerita ‘Bima Suci’. Nah, orang jawa beranggapan bahwa Bima itu si kabut putih, sedangkan alur hitam yang berada di tengah memegang peran sebagai ular naga,” jelas Mahesa pelan lalu sedikit ia beri jeda agar gadis kecil disampingnya bisa mencerna perkataan Mahesa dengan baik. “Kalau orang luar menyebut galaksi ini sebagai Jalur s**u atau Milky Way. Sebenarnya ini berasal dari bahasa Yunani yaitu Galaxias Kyklos yang juga berarti Lingkaran s**u. Mereka menganggap kabut putih itu sebagai s**u yang membentang di busur langit.” Mahesa berhenti untuk mengambil nafas sejenak sembari melihat Asha yang terlihat tidak sabar akan kelanjutan cerita dari lelaki itu. “Terakhir, dalam mitologi Yunani, tumpahan s**u yang mengalir di langit itu mitosnya milik Dewi Hera waktu menyusui Herakles atau yang sekarang lebih akrab disebut Herkules.” Selesai, Mahesa lagi-lagi menengguk air mineralnya berusaha membasahi tenggorokannya yang kering lalu kembali menatap langit diikuti dengan Asha. Telunjuk laki-laki tersebut kemudian terangkat mengarah ke sebuah rasi bintang paling terang dan lebar yang terletak di arah barat daya. “Nah, tempat yang paling terang itu diisi sama konstelasi bintang Sagitarius dan Scorpius. Bima sakti juga melewati 29 konstelasi bintang lainnya, lo bisa ketiduran kalau gue sebut satu persatu,” celetukan Mahesa membuat Asha membulatkan mata layaknya anak kucing, lalu detik berikutnya ia tertawa. “Kak Mahesa selalu pinter dalam berbagai bidang ya, pantes banyak yang suka,” ujar gadis itu sembari tersenyum kagum. Mahesa memang seperti orang yang mengetahui semua hal di dunia ini, mungkin di kehidupan sebelumnya lelaki tersebut berperan menjadi sebuah buku ensiklopedia. Mahesa ikut tersenyum, banyak yang menyukainya namun jika tidak ada yang ia sukai ya sama saja, hidupnya tetap abu-abu seolah memang hatinya tak mengizinkan siapapun untuk masuk dan mengganti warna abu-abu di diri Mahesa menjadi pelangi yang indah. “Lo tau kan lagu yang gue nyanyiin tadi khusus buat lo?” Asha menoleh, ternyata dugaannya tadi benar, ia tidak tahan untuk tak kembali menampilkan senyuman selebar mungkin. Menurut Mahesa, Asha memang selalu cantik, gadis tersebut selalu terlihat indah di setiap waktu. Bangun tidur, menangis, ketiduran, marah, tertawa, Asha terlalu sempurna untuk disebut manusia, agaknya Dewi Apordhite merasa cemburu melihat kecantikan Asha sehingga menurunkan gadis ini ke bumi. Belum genap satu bulan Mahesa dan Asha saling kenal. Walaupun perkenalan pertama mereka tidak berlangsung baik, namun semakin kesini hubungan keduanya semakin dekat, Asha yang sudah mulai mengerti sifat Mahesa dan Mahesa yang selalu bisa membuat Asha menampilkan semburat merah di pipinya. “Tetap seperti ini ya, jangan pergi dan jangan beri senyuman tulus lo buat yang lain. Cukup buat gue aja,” ujar lelaki itu menatap lekat netra coklat milik seseorang yang sedang merona di depannya. “Iya Asha janji, kakak juga janji ya?” Mahesa hanya tersenyum tak menjawab perkataan Asha. Hening menyelimuti keduanya, deburan ombak semakin keras namun tak berhasil membuat kedua netra yang saling menatap itu mengalihkan atensinya. Lelaki tersebut kemudian mendekatkan tubuhnya ke arah yang lebih muda, deru nafas dari masing-masing mulai terdengar karena Mahesa terus berusaha mengikis jarak diantara keduanya, semakin dekat hingga Asha lebih memilih untuk menutup mata daripada menatap mata elang milik Mahesa. Cup. Tepat setelah Asha menutup mata, sebuah benda kenyal dan lembab menyentuh bibirnya yang dingin akibat angin malam. Mahesa masih menatap Asha yang memejamkan matanya seolah tak keberatan atas apa yang lelaki itu lakukan. Selanjutnya, Mahesa sedikit menggigit bibir bawah Asha membuat gadis itu membuka mulutnya dan membiarkan lidah Mahesa masuk lebih dalam, saling bertukar pagut dan mencari kehangatan. Malam itu, ditengah dinginnya angin serta deburan ombak, Asha berjanji, namun Mahesa tidak. *** Pagi ini cukup heboh karena banyak mahasiswa yang bangun terlambat hingga menyebabkan mereka mau tidak mau mengulur jam pulang yang nantinya akan berakibat pada bertambahnya biaya bus yang mereka sewa saat ini. “Ayo udah sadar semua belum? Nggak usah mandi, lanjut tidur di bus aja!” seru Banyu dengan wajah khas bangun tidur dan rambut yang masih acak-acakan. Ia harus berterimakasih kepada Mahesa karena jika tak mendapat pukulan keras dari lelaki itu, mungkin Banyu masih tidur sampai sekarang. Mahesa sendiri sudah terlihat rapi karena ia bangun pagi-pagi sekali. Bukan pagi, tapi lebih tepatnya ia tidak bisa tidur karena memikirkan kejadian kemarin, Mahesa tidak mengerti kenapa dirinya mencium Asha, tetapi diwaktu yang sama lelaki itu juga menyesal kenapa ia tidak mencium Asha dari dulu, bibir lembut gadis itu ternyata benar-benar memabukkan. Lain dengan Mahesa lain pula dengan Asha yang baru saja bangun dari tidurnya, matanya masih menyipit sedangkan rambutnya ia cepol sederhana. Bisa-bisanya gadis itu tidur dengan nyenyak setelah ciuman kemarin, bahkan Mahesa saja harus menghabiskan satu botol Hatten Winnes agar pikirannya tidak terus-menerus memutar kejadian yang sama. Mahesa kemudian berjalan mendekati Asha yang terlihat sedang mengantri untuk memasuki bus, lelaki itu berdiri tepat dibelakangnya, menepuk pelan pundak Asha sehingga membuat gadis itu langsung menoleh. “Eh, pagi kak Mahesa!” sapa Asha dengan senyumannya yang manis, tidak adanya canggung di wajah Asha membuat Mahesa sedikit bingung. Apakah Asha lupa? “Lo tau nggak, apa fakta yang baru gue ketahui dari lo?” tanya Mahesa sembari memiringkan kepalanya ke samping. “Apa?” sang junior balik bertanya. Lelaki itu melihat keadaan sekitar lalu mencondongkan tubuhnya dan membisikkan kalimat yang detik berikutnya langsung berhasil merubah Asha menjadi sebuah patung, “Bibir lo manis, gue jadi candu.” Jadi, hal yang Asha anggap mimpi itu ternyata benar adanya. Wajah Asha seketika memerah, ia tidak tau apa yang harus ia lakukan sekarang, haruskah Asha meminta maaf? Tapi Mahesa yang lebih dulu menciumnya, atau haruskah Asha berterimakasih karena akhirnya Mahesa mau menciumnya? Tidak, itu akan terlihat sangat buruk. Dengan cepat Asha langsung berlari ke dalam bus, duduk di samping Brian dan Maya lalu menutupi seluruh wajahnya dengan jaket berusaha sekuat tenaga menghilangkan semburat merah di pipinya atau Brian akan curiga. “Lo kenapa sih, Sha?” “Brian, lo mending diem aja daripada nanti gue gaplok!"
อ่านฟรีสำหรับผู้ใช้งานใหม่
สแกนเพื่อดาวน์โหลดแอป
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    ผู้เขียน
  • chap_listสารบัญ
  • likeเพิ่ม