Sian masuk ke kamar seraya membawa sebotol minuman dingin yang sudah berkurang setengah. Kedatangannya di kamar itu ternyat a disambut oleh seorang pria pucat dengan bola mata bulat yang hitam.
"Aku benar, kan? Di luar ada gadis yang waktu itu kau antar pulang," ujar Arsen seraya mendekati Sian yang mengambil posisi duduk di kursi yang menghadap meja belajarnya.
Meletakkan botol minuman itu di atas nakas. Lalu kembali memfokuskan pandangan pada benda berbentuk kotak. Layarnya yang menyala menampilkan page tulisan yang sedang ia kerjakan.
Skripsi?
Bukan. Skripsinya sudah hampir rampung setelah ia menyelesaikan penelitiannya di lab. kampus.
Halaman yang dipenuhi dengan tulisan itu merupakan isi dari novel yang sedang ia tulis kembali. Maksudnya, novel itu belum selesai. Lalu Sian mencoba menyelesaikannya.
"Rasanya wajah gadis itu mirip dengn seseorang yang pernah ku lihat di foto. Apa kau juga berpikir begitu?" Arsen kembali berkomentar seraya mendaratkan pantatnya di bibir kasur. Sementara yang dijak bicara hanya diam. Mencoba berpura - pura tidak mendengar celotehan tidak penting yang Arsen lontarkan barusan.
Selain karena topik yang dibicarakan Arsen tidak menarik. Sian juga tidak ingin fokusnya terganggu karena kalimat tidak penting yang dibicarakan oleh arwah pengganggu itu.
Namun, saat Arsen mengatakan sesuatu yang membuatnya berpikir ulang. Sian mengurungkan niatnya untuk tidak menanggapi si arwah annoying, Arsen.
"Gimana? ... Kamu juga menyadari itu, kan? Kalau gadis yang sering ke sini adalah orang yang sama dengan gadis kecil yang ada di foto usang yang kau simp-,?" Arsen mendadak diam sebelum berhasil menyelesaikan kalimat panjangnya itu.
Matilah dia! Arsen bergumam seraya menelan saliva dengan susah payah.
Tapi, ia kan memang sudah mati? Pikirnya lagi seraya menatap Sian dengan tatapan penuh penyesalan.
"Aku tidak bermaksud menyentuh-," Sian buru - buru membuka laci kecil yang ada di sisi tengah meja belajarnya.
Arsen lagi - lagi tak mampu menyelesaikan kalimat yang ingin ia sampaikan. Pasalnya, Sian selalu saja menunjukkan respon yang tidak dapat diduga - duga sebelumnya.
Sian tidak bisa menahan diri untuk tidak segera mencari kzberadaan foto itu. Foto yang diambil saat ia masih berstatus siswa sekolah menengah atas. Foto yang ia simpan sudah hampir lima tahun lamanya.
Seringkali ia bertanya - tanya, kenapa ia bisa begitu peduli pada orang asing yang merepotkan seperti Tri. Kenapa ada sebuah perasaan khawatir saat tahu kalau gadis itu sendirian di luar sana.
Kenapa ia tidak bisa benar - benar mengabaikan gadis merepotkan itu? Kenapa?
Lalu, saat foto itu berada di tangannya. Ia jadi tahu kenapa.
"Lo bener." Sian berujar seraya menatap sosok gadis kecil yang ada di dalam foto itu.
"Mereka mirip." Arsen nampak ternganga melihat respon Sian saat ini. Ia tidak menyangka, kalau apa yang ada di kepalanya sama dengan apa yang Sian pikirkan. Hanya saja pria itu nampak berpura - pura tidak begitu peduli.
"Jadi, kamu gak sadar kalau selama ini, si gadis agresif yang mengejar - ngejar kamu itu, gadis kecil yang ada di dalam foto itu?" tanya Arsen menkonfirmasi kalau dugaannya selama ini benar atau sebaliknya.
"Enggak." Sian masih menggenggam foto itu, namun ia menghentikan aktivitas yang semula ingin ia lakukan.
Pria itu memilih bangkit dari kursi dan melangkah meninggalkan kamar.
Bergegas mencari seseorang yang saat ini memenuhi isi kepalanya.
Apa benar mereka orang yang sama?
Atau, ia hanya begitu merindukan gadis kecil itu. Hingga berpikir kalau Tri adalah gadis kecil di masa lalunya dulu?
Begitu banyak rangkaian pertanyaan yang memenuhi kepalanya saat ini. Sampai pada saat langkahnya terhenti dan tatapannya terkunci pada sesosok gadis dengan wajah oriental, yang kini tengah tertawa hingga membuat kedua sudut matanya menyipit.
"Jadi, kak Tri dengan polosnya menjawab kalau kakak suka sama abang SMA yang sengaja nabrak kakak waktu kakak kecil?" Kuna bertanya dengan wajah tak percaya yang sudah berapa kali ia tampakkan hari ini karena mendengar cerita dari sahabat kakaknya itu.
"Dan yang paling bar - barnya lagi, Tri bilang kalau abang - abang itu harus tanggung jawab dengan cara foto bareng?" ungkap Kana yang sudah pernah mendengar cerita sahabatnya itu lebih dulu.
"dan nikahin aku saat aku udah dewasa," timpal Tri dengan kekehan renyah.
"Tapi, kalau dipikir - pikir, aku udah gak begitu ingat sama wajahnya. Dan yang paling penting, sekarang aku sukanya sama bang Sian."
Kana dan Kuna hanya menggeleng - gelengkan kepala dengan kompak. "Dasar labil!" cibir kedunya seray ikut terkekeh.
Sementara di balik dinding pembatas antara ruang tamu dan dapur, tengah berdiri seorang pria yang menatap gadis yang kini menyadari keberadaannya.
"Bang Sian? Kebetulan banget. Tri mau balikin almet abang yang waktu itu Tri pakai." Tri berujar seraya meraih paper bag yang ada di sampingnya. Lalu bangkit dari kursi seraya membawa paperbag itu bersamanya.
"Ini." Sian masih bungkam saat gadis dengan tubuh mungil dan wajah sumringah itu menyodorkan paperbag berisi almet kampusnya.
"Abang kenapa?" tanya Kana seraya menatap ekspresi wajah abangnya yang aneh.
Sian hanya menggelengkan kepala. Seoalah berkata kalau ia baik - baik saja.
Ya. Raganya baik - baik saja. Namun pikiran dan jiwa Sian seolah sudah melayang ke mana - mana.
Tatapan bola mata kecokelatan dari gadis yang ada di hadapannya ini seakan melemparkannya jauh ke masa lalu.
Menemui seseorang yang ada di sana. Seorang gadis kecil yang pernah menghangatkan hatinya dengan perhatian dari gadis kecil itu.
Padahal, mereka hanya orang asing yang tak sengaja dipertemukan lewat kejadian yang tidak mengenakkan.
Tapi, siapa sangka. Kalau semesta sudah memainkan konspirasinya dengan izin Sang Pencipta kehidupan. Bukan karena kebetulan atau ketidaksengajaan. Tetapi karena takdir yang telah ditetapkan oleh-Nya.
Bahkan sehelai daun yang jatuh, sudah ditentukan dan dicatat di dalam kitab yang terjaga. Begitu pula dengan pertemuan dua insan manusia.
***
"Abang abis nangis?" tanya gadis kecil dengan rambut hitam legamnya yang dikuncir kuda dengan rapi.
Remaja sekolah menengah atas itu hanya menggeleng seraya tersenyum tipis.
"Enggak," jawabnya singkat.
"Abang jangan sedih. Nanti Tli ikutan sedih juga. Apa luka abang sakit banget ya?" Gadis kecil itu menatap remaja lelaki yang ada di hadapanya dengan iba.
"saya sedih karena liat kamu terbaring di sini karena saya." Tri, gadis kecil itu menggelengkan kepala dengan cepat.
"Tli gapapa kok. Jadi, abang jangan sedih lagi ya," pinta gadis kecil itu seraya menodongkan jari kelingkingnya yang kecil di hadapan Sian yang duduk menghadap ranjang di mana gadis kecil itu duduk.
"Janji!" pintanya pada remaja lelaki itu dengan wajah yang menggemaskan.
Remaja lelaki itu mengangguk seraya tersenyum. Sebenarnya, hari ini hari di mana ia kehilangan sang Ayah.
"jangan angguk - angguk aja! Janji dulu!" desak gadis kecil itu yanh kemudian dibalas oleh remaja lelaki dengan bola mata berair itu dengan menautkan kelingking besarnya pada jari kelingkil mungil yang sedari tadi setia menunggunya.
Untuk pertama kalinya, ia merasakan kehangat dari orang asing dan terlebih dari seorang gadis kecil.
Entah normal atau tidak, namun yang pasti lelaki itu merasakan debaran yang berasal dari organ tubuhnya yang terletak di dalam rongga d**a sebelah kiri.
Ya. Jantungnya berdebar karena seorang gadis kecil yang baru ditemuinya.
***