GM-31-Cold man to warm man

1433 คำ
Meski rasa ingin tinggal lebih lama di rumah sahabatnya, Tri sadar kalau ia harus pulang sebelum matahari sore menyingsing dan tenggelam di ufuk barat. Dan yang paling membuatnya tidak bisa mengulur waktu lebih lama yaitu, karena tingkah aneh Sian. Pria itu bersikap tidak seperti biasanya. Sejak mereka makan siang bersama lalu saat Tri akan berpamitan pulang. Sian bertingkah seolah ada sesuatu yang terjadi sebelumnya. Entah apa. Tri tidak paham. Apa ia telah melakukan kesalahan tanpa sadar. Lalu Sian bersikap lebih dingin padanya. Tapi, ... Tidak! Pria itu tidak bersikap dingin seperti biasa yang ia lakukan. Tri bisa merasakan kalau sikap pria itu lebih ke pada ... Aneh? Ya. Aneh. Sejak beberapa waktu yang lalu, pria itu sering mencuri - curi pandang ke arahnya. Tri bisa melihat itu lewat ujung matanya. Lalu, Sian akan membuang pandangan saat Tri menatapnya balik. Entah apa maksudnya. "Nak Tri pulangnya dijemput?" tanya bu Amina seraya melepaskan pelukan mereka. Entah kenapa, Tri merasa pelukan dari ibu sahabatnya ini terasa hangat dan menenangkan. Untuk itu, hampir setiap kali ia datang atau saat ia akan pulang, Tri menyempatkan diri untuk memeluk bu Amina. "Tri nanti telepon pak supir di rumah minta dijemput, bu." Bu Amina nampak mengangguk pelan. Tapi, Sian, pria itu tidak bisa menahan diri lebih lama untuk memastikan dugaannya benar atau tidak. Maka dari itu, Sian membuka suara sebelum gadis yang ia perhatikan sejak tadi. "Biar aku yang antar." Semua orang yang ada di sana sontak mengalihakan tatapan pada Sian. Baik bu Amina, Kana serta Kuna. Ketiganya menatap ke arah sian dengan aneh. Tidak biasanya pria itu mau mengatarkan Tri begitu saja. Kecuali memang urgent. Tapi sekarang, Sian menawarkan diri secara cuma - cuma. Padahal Tri bisa saja minta dijemput supir keluarganya di rumah. "Bagus itu. Kalau abang yang nganterin nak Tri. Hari sudah semakin sore. Takutnya akan menghabiskan waktu kalau minta dijemput sama supir." Semuanya mengangguk setuju dengan usulan bu Amina. Sian bergegeas mengambil helmnya. Lalu mengajak gadis itu berpamitan. "Kami berangkat ya, Bu, Na, dek Na." Tri berpamitan pada bu Amina, Kana dan Kuna. Saat ingin menaiki motor matic itu, Tri teringat akan sesuatu. Helm. Ya, helm yang Sian pinjamkan padanya waktu itu. Ia lupa membawanya. Tri ingin mengatakan kalau helm itu tertinggal di rumahnya. Tapi gadis itu nampak ragu. Sampai akhirnya Sian yang bertanya lebih dulu. "Kenapa?" tanya Sian saat melihat Tri yang nampak ingin mengatakan sesuatu namun ragu. "Hmm itu... Helm yang waktu itu. Tri lupa buag ngembaliinnya." Gadis itu berujar dengn terbata lalu menggigit bibir bagian bawahnya dengan gugup. "Aah itu. Gapapa, nanti kita beli di jalan." Simpul Sian lalu meminta gadis itu untuk segera naik dan mengambil posisi duduk di belakangnya. Tri mengangguk patuh dan berpamitan sekali lagi pada keluarga Sian. Motor yang dikendarai Sian perlahan menghilang ditelan kejauhan. Bergabung dengan kendaraan lain membela jalanan kota Argon yang nampak lebih ramai. Di dalam kepala Sian, ia tak henti - hentinya memikirkan bagaimana caranya untuk memastikan kalau gadis yang diboncengnya saat ini adalah gadis kecil di masa lalunya. Sesekali matanya menatap kaca spion hanya untuk melihat wajah gadis itu meski sebentar. Tri, gadis itu merasa kalau Sian sering memperhatikannya lewat kaca kecil itu. Karena penasaran, gadis itu membuka suara. Mencoba bertanya apa yang salah pada dirinya hari ini. Hingga membuat Sian menatapnya dengan tatapan aneh seperti itu. "Ada yang mau abang tanyain ke Tri?" Sian terkesiap saat ditanya begitu secara tiba - tiba. Akan tetapi, ia berusaha seolah ia tidak terkejut dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh gadis itu barusan. Sian menganggukan kepala. "Iya. Ada yang mau aku tanyain. Bisa kita mampir sebentar di kafe Uno?" Balas Sian kemudian menawarkan untuk mampir ke kafe yang berada di kawasan pusat kota Argon. Tri mengangguk. "Boleh." Agar tidak menghabiskan waktu terlalu lama. Sian meningkatkan laju kendaraannya. Sehingga mereka tiba di sana dalam waktu yang singkat. *** Saat mereka tiba di sana. Seorang remaja berkaca mata menyambut kedatangan mereka dengan ramah. "Bang Sian apa kabar? Udah lama gak ke sini," tanya remaja lelaki itu seraya menuntun Sian dan gadis yang ada di sampingnya untuk duduk di salh satu kursi yang masih kosong di dekat jendela kafe. "Akhir - akhir ini sibuk di kampus, Bar," balas Sian seraya menarik kursi dan mempersilahkan Tri untuk duduk lebih dulu. Kemudian ia duduk di kursi yang menghadap gadis itu. "Pesan apa, bang?" Tanya Barium pada Sian. "Saya lemon tea aja." Lalu, Sian menatap gadis yang duduk berhadapan dengannya dan bertanya. "Kamu mau minum apa?" Tri nampak berpikir sejenak. Lalu ia meminta untuk disamakan saja dengan apa yang dipesan Sian. "Oke. Dua lemon tea. Ditunggu ya, bang, mba," pinta waiter bernama Barium itu pada kedunya. Lalu berpamitan. "Jadi, aku mau tanya sesuatu sama kamu," ungkap Sian pada gadis di depannya setelah Barium benar - benar menghilang ditelan keramaian pelanggan kafe. Tri mengangguk. Menunggu Sian melanjutkzn kalimatnya. Namun, pria itu merogoh sesuatu dari saku celananya lalu meletakkannya di atas meja. "Apa kamu ingat sama orang yang ada di foto ini?" Sian bertanya seraya menunjuk sosok dirinya yang tengah merangkul gadis kecil dengan kedua sisi rambut dikuncir kuda. Tri tidak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini. Selembar foto usang yang menampilkan figur dirinya waktu kecil dengan seorang cowok yang lebih dewasa darinya. "Ini aku," tunjuk Sian pada sosok pria yang ada di foto itu. Membuat gadis yang ada di hadapannya itu terbelalak kaget. Tri menatap wajah Sian yang ada di hadapannya saat ini lalu wajah cowok yang ada di foto bersamanya itu berulang kali. Ya. Ternyata mereka mirip. Tri ingin sekali memekik girang. Tapi, ia sadar kalau mereka sedang di tempat umum. Tidak boleh bertingkah bar - bar seperti yang sudah - sudah. Ingat! Sian tidak menyukai gadis yang agresif. Gadis itu berulang kali mengingatkan dirinya sendiri untuk jaga image. "Jadi, cowok yang ada di foto ini, itu, bang Sian?!" Gadis itu bertanya dengan keras. Membuat hampir semua pasang mata yang ada di sana terpusat padanya. Karena merasa sudah mengalihkan atensi banyak orang padanya, gadis itu buru - buru membekap mulutnya sendiri seraya meringis. "Maaf, Tri kaget," ucapnya pelan hampir seperti berbisik. Sian tersenyum. Tak menyangka kalau Tri tidak menyadari kalau ia dan gadis itu sudah pernah bertemu sekitar enam tahun yang lalu. "Luka kamu waktu itu, gimana? Apa udah sembuh total?" Sian ingat betul, kalau gadis kecil malang yang tak sengaja ia tabrak saat hujan deras mengguyur jalan kota Argon enam tahun yang lalu. Menyebabkan gadis kecil itu dirawat di Rumah Sakit Umum kota Argon. Tri mengangguk dengan wajah sulringah. "Iya, udah gak sakit lagi." Sian menghela napas lega seraya menatap gadis yang ada di hadapannya itu dengan perasaan bahagia. Karena gadis yang ia sukai di masa lalu kini duduk di hadapannya seraya tersenyum manis. "Kapan - kapan, kita ke Rumah Sakit Umum Argon, yuk!" usul Tri seraya menatap Sian dengan penuh antusias. Layaknya anak kecil yang meminta diajak ke wahana bermain. "Katanya udah gak sakit. Kenapa mau ke Rumah Sakit Umum Argon?" tanya Sian dengan wajah khawatir. Apa jangan - jangan, Tri hanya berbohong soal sakitnya yang sudah sembuh? Seolah mengerti akan ketidakpahaman Sian. Tri membuka suara lagi untuk menjelaskan tujuannya ingin pergi ke sana. "Tri mau ke sana bukan buat berobat. Tri pengen kita ke sana buat nostalgia." Hampir saja Sian berpikir yang tidak - tidak. Gadis aneh yang menggemaskan. Sian membatin seraya terkekeh. Ada - ada saja tingkah gadis yang ada di hadapannya ini. "Untuk apa kita nostalgia ke Rulah Sakit? Mending jalan - jalan ke Jembatan Hati yang ada di ujung kota Argon." Tri tak menyangka kalau Sian bisa berbicara seramah dan sepanjang ini padanya. Lalu, apa tadi? Jalan - jalan ke Jembatan Hati? Apa Tri tidak salah dengar? Atau, apa ia sedang bermimpi? Tolong siapapun, katakan kalau ini benar - benar nyata! Pria dingin yang dulu ia kejar - kejar. Kini bermetamorfosa menjadi Pria yang hangat. Tidakkah ini terlalu tiba - tiba? Ah tidak. Tri bahkan sudah terlalu lama menunggu hari ini tiba. Mulai dari diabaikan. Diberikan tatapan dingin, diperlakukan dengan dingin pula. Sian sudah melakukan semua itu sebelum pria itu menyadari bahwa mereka pernah saling menyemangati di masa lalu. Tri pernah memberikan senyuman hangat dan perhatiannya pada Sian, jauh sebelum ini. Sian, pria itu pernah tersenyum karena seorang gadis kecil yang polos. Hatinya yang saat itu dingin dan terluka seolah menjadi hangat. Sian tak pernah melupakan moment itu. Begitu pun dengan Tri. Tri tidak berubah, ia masih menjadi gadis yang ceria dan juga tegar. Hanya saja, mereka tak begitu sibuk mengingat masa lalu. Mereka sudah tidak hidup di sana. Mereka hidup di masa sekarang. Siapa sangka, bahwa semesta memepertemukan mereka kembali. Tanpa mereka sadari lebih awal. Bahwa simpul kehidupan mereka sudah saling bertautan sejak dulu. ***
อ่านฟรีสำหรับผู้ใช้งานใหม่
สแกนเพื่อดาวน์โหลดแอป
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    ผู้เขียน
  • chap_listสารบัญ
  • likeเพิ่ม