Cerita Oleh mingfa
author-avatar

mingfa

TENTANGquote
berajal bersama_sama mengetahui cerita Sakya Sutta.mari teman_teman berajal bersama_sama.untuk menambah pengetahuan dan cerita kita
bc
?️Sakya Sutta?️(Kisah Samannaphala)
Diperbarui pada Nov 24, 2021, 03:42
Sāmaññaphala Buah Kehidupan Tanpa Rumah --------------------------- Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Rājagaha, di hutan-mangga Jīvaka Komārabhacca, bersama dengan dua ratus lima puluh bhikkhu. Pada saat itu Raja Ajātasattu Vedehiputta dari Magadha, naik ke teras atas istananya, sedang duduk di sana dikelilingi oleh para menteri, pada hari Uposatha tanggal lima belas, bulan purnama di bulan keempat, yang disebut Komudi. Dan Raja Ajātasattu, pada hari Uposatha itu, mengucapkan kata-kata berikut ini: ‘Sungguh indah, teman-teman, malam purnama ini! Sungguh menarik malam purnama ini! Sungguh menggembirakan malam purnama ini! Tidak dapatkah kita hari ini mengunjungi petapa atau Brahmana, mengunjungi siapa saja yang memberikan kedamaian di hati kita?’ Kemudian satu menteri berkata kepada Raja Ajātasattu: ‘Baginda, ada Pūraṇa Kassapa, yang memiliki banyak pengikut, guru dari banyak orang, yang terkenal, termashyur, pendiri satu sekte, dihormati oleh banyak orang, telah lama menjadi petapa, sejak lama ia telahmeninggalkan rumah, tua dan terhormat. Sudilah Baginda mengunjungi Pūraṇa Kassapa ini. Ia akan memberikan kedamaian di hati Baginda.’ Mendengar kata-kata ini Raja Ajātasattu berdiam diri. Menteri lainnya berkata: ‘Baginda, ada Makkhali Gosāla, yang memiliki banyak pengikut … Ia akan memberikan kedamaian di hati Baginda.’ Mendengar kata-kata ini Raja Ajātasattu berdiam diri. Menteri lainnya berkata: ‘Baginda, ada Ajita Kesakambalī … ’ Mendengar kata-kata ini Raja Ajātasattu berdiam diri. Menteri lainnya berkata: ‘Baginda, ada Pakudha Kaccāyana … ’ Mendengar kata-kata ini Raja Ajātasattu berdiam diri. Menteri lainnya berkata: ‘Baginda, ada Sañjaya Belaṭṭhaputta … ’ Mendengar kata-kata ini Raja Ajātasattu berdiam diri. Menteri lainnya berkata: ‘Baginda, ada Nigaṇṭha Nātaputta, yang memiliki banyak pengikut, guru dari banyak orang, yang terkenal, … tua dan terhormat. Sudilah Baginda mengunjungi Nigaṇṭha Nātaputta ini. Ia akan memberikan kedamaian di hati Baginda.’ Mendengar kata-kata ini Raja Ajātasattu berdiam diri. Selama itu Jīvaka Komārabaccha hanya duduk diam di dekat Raja Ajātasatttu. Raja berkata kepadanya: ‘Engkau, sahabat Jīvaka, mengapa engkau diam?’ ‘Baginda, ada Sang Bhagavā ini, Sang Arahant, Buddha yang telah mencapai penerangan sempurna sedang berdiam di hutan mangga milikku disertai oleh dua ratus lima puluh bhikkhu. Dan sehubungan dngan Sang Bhagavā Gotama ini, berita baik telah beredar bahwa: “Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, Buddha yang telah mencapai penerangan sempurna, memiliki kebijaksanaan dan perilaku yang sempurna, telah menempuh Sang Jalan dengan sempurna, Pengenal seluruh alam, Penjinak manusia yang harus dijinakkan yang tiada bandingnya, Guru para dewa dan manusia, Yang Tercerahkan dan Yang Suci.” Sudilah Baginda mengunjungi Sang Bhagavā. Beliau akan memberikan kedamaian di hati Baginda.’ ‘Kalau begitu, Jīvaka, siapkan gajah tunggangan.’ ‘Baik, Baginda’, Jīvaka berkata, dan ia menyiapkan lima ratus gajah betina, dan gajah jantan kerajaan untuk Sang Raja. Kemudian ia melaporkan: ‘Baginda, gajah –gajah tunggangan telah siap. Sekarang saatnya kita melakukan apa yang Baginda inginkan.’ Dan Raja Ajātasattu, setelah menempatkan istri-istrinya masing-masing di satu dari lima ratus gajah betina, ia menaiki gajah jantan kerajaan dan bergerak dalam barisan, disertai barisan pembawa obor, dari Rājagaha menuju hutan mangga Jīvaka. Dan ketika Raja Ajātasattu mendekati hutan mangga ia merasa takut dan ngeri, dan bulu badannya berdiri. Dan karena merasa takut dan bulu badannya berdiri, Raja berkata kepada Jīvaka: ‘Sahabat Jīvaka, apakah engkau menipu aku? Apakah engkau membohongi aku? Engkau tidak membawaku kepada musuh, kan? Bagaimanakah ini, dari dua ratus lima puluh bhikkhu, tidak ada suara bersin, batuk atau teriakan yang terdengar?’ ‘Jangan takut, Baginda, aku tidak menipu engkau, tidak membohongi engkau atau membawamu kepada musuh. Mendekatlah, Baginda, mendekatlah. Ada pelita yang menyala di paviliun bundar.’ Maka Raja Ajātasattu, menunggang gajahnya sejauh yang dimungkinkan tanah di sana, kemudian turun dari gajah dan melanjutkan dengan berjalan kaki menuju pintu paviliun bundar. Kemudian ia berkata: ‘Jīvaka, di manakah Sang Bhagavā?’ ‘Itu adalah Sang Bhagavā, Baginda. Itu adalah Sang Bhagavā yang sedang duduk bersandar di tiang tengah dengan para bhikkhu di hadapanNya.’ Kemudian Raja Ajātasattu mendatangi Sang Bhagavā dan berdiri di satu sisi; dan sambil berdiri di sana di satu sisi Sang Raja memperhatikan bagaimana para bhikkhu tetap diam bagaikan sebuah danau jernih, dan ia berseru: ‘Seandainya Pangeran Udāyabhadda memiliki ketenangan demikian seperti para bhikkhu ini!’ ‘Apakah pikiranmu terarah pada putra tercintamu, Baginda?’ ‘Bhagavā, Pangeran Udàyabhadda sangat kusayangi. Andai saja ia memiliki ketenangan yang sama seperti para bhikkhu ini!’
like
bc
?️Sakya Sutta?️(Mahagovinda)
Diperbarui pada Nov 19, 2021, 00:40
Kehidupan Lampau Gotama Demikianlah Yang Kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha, di Puncak Hering. Dan ketika malam hampir berakhir, Gandhabba Pañcasikha, menerangi seluruh Puncak Hering dengan cahaya terang, mendekati Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, berdiri di satu sisi dan berkata: ‘Bhagavā, aku ingin melaporkan kepadaMu apa yang kulihat dan kuamati sendiri secara langsung ketika aku berada di hadapan para Dewa Tiga-Puluh-Tiga.’ ‘Katakanlah, Pañcasikha’, Sang Bhagavā berkata. ‘Bhagavā, di masa lalu, telah lama yang lalu, pada hari Uposatha tanggal lima belas di akhir musim hujan Tiga-Puluh-Tiga Dewa berkumpul dan bergembira karena para dewa berkembang, dan asura mengalami kemunduran (seperti Sutta 18, paragraf 12). Kemudian Sakka mengucapkan syair berikut ini: ‘Para Dewa Tiga-Puluh-Tiga bergembira, pemimpin mereka juga, Memuji Sang Tathāgata, dan kebenaran Dhamma, Melihat datangnya para dewa-baru, indah dan agung Yang telah menjalani kehidupan suci, sekarang terlahir kembali dengan baik. Mengalahkan yang lainnya dalam hal kemasyhuran dan kemegahan, Murid-murid Sang Bijaksana Yang Maha Kuasa menonjol. Melihat ini, para Dewa Tiga-Puluh-Tiga bergembira, pemimpin mereka juga, Memuji Sang Tathāgata, dan kebenaran Dhamma.” Mendengar kata-kata ini, para Dewa Tiga-Puluh-Tiga lebih gembira dan bahagia lagi, dipenuhi sukacita dan berkata: “Alam para dewa sedang tumbuh berkembang, alam asura sedang mengalami kemunduran!” [Pañcasikha melanjutkan:] ‘Kemudian Sakka, melihat kepuasan mereka, berkata kepada para Dewa Tiga-Puluh-Tiga: “Maukah kalian, tuan-tuan, mendengarkan delapan pernyataan benar sebagai pujian terhadap Sang Bhagavā?” dan setelah menerima persetujuan mereka, ia menyatakan: ‘“Bagaimana menurut kalian, para Dewa Tiga-Puluh-Tiga? Sehubungan dengan cara Sang Bhagavā berusaha demi kesejahteraan banyak makhluk, demi kebahagiaan banyak makhluk, demi belas kasihNya kepada dunia, demi kesejahteraan dan kebahagiaan para dewa dan manusia—kita tidak akan menemukan guru lain yang memiliki kualitas-kualitas tersebut, apakah di masa lampau ataupun di masa depan, selain Sang Bhagavā. ‘“Dinyatakan dengan baik sekali, sungguh, Ajaran Sang Bhagavā ini, terlihat di sini dan saat ini, tanpa batas waktu, mengundang untuk diselidiki, mengarah menuju kemajuan, untuk dipahami oleh para bijaksana untuk dirinya sendiri—dan kita tidak akan menemukan pembabar lain dari ajaran demikian yang mengarah pada kemajuan, apakah di masa lampau ataupun di masa depan, selain Sang Bhagavā. ‘“Sang Bhagavā telah menjelaskan dengan baik apa yang benar dan apa yang salah, apa yang tercela dan apa yang tidak tercela, apa yang harus dilatih dan apa yang tidak perlu dilatih, apa yang hina dan apa yang mulia, dan apa yang busuk, indah atau campuran dalam hal kualitas. Dan kita tidak akan menemukan pembabar lain dari ajaran demikian … selain Sang Bhagavā. ‘“Dan lagi, Sang Bhagavā telah menjelaskan dengan baik kepada para siswaNya mengenai Jalan Menuju Nibbāna, dan semuanya bergabung, Nibbāna dan Sang Jalan, bagaikan air dari Sungai Gangga dan Yamuna bergabung dan mengalir bersama. Dan kita tidak akan menemukan pembabar lain dari Jalan menuju Nibbāna … selain Sang Bhagavā. ‘“Dan Sang Bhagavā telah mendapatkan pengikut, baik para pelajar dan mereka yang, setelah menjalani kehidupan, telah menghapuskan kekotoran-kekotoran, dan Sang Bhagavā menetap bersama dengan mereka, semuanya bergembira akan satu hal ini. Dan kita tidak akan menemukan guru lain … selain Sang Bhagavā. ‘“Persembahan yang diberikan kepada Sang Bhagavā adalah jasa yang baik, kemashyuranNya kokoh, sedemikian sehingga, aku pikir, para Khattiya akan terus-menerus terikat denganNya, meskipun Sang Bhagavā menerima persembahan-makanan dari mereka tanpa kesombongan. Dan kita tidak akan menemukan guru lain yang melakukan hal ini … selain Sang Bhagavā. ‘“Dan Sang Bhagavā melakukan apa yang Beliau katakan, dan mengatakan apa yang Beliau lakukan. Dan kita tidak akan menemukan guru lain yang berbuat demikian, dalam setiap aspek ajaran … selain Sang Bhagavā. ‘“Sang Bhagavā telah melampaui keragu-raguan, melampaui ‘bagaimana’ dan ‘mengapa’, Beliau telah mencapai tujuanNya sehubungan dengan cita-citaNya dan kehidupan suci yang tertinggi. Dan kita tidak akan menemukan guru lain yang telah berbuat demikian, apakah di masa lampau ataupun di masa sekarang, selain Sang Bhagavā.” ‘Dan ketika Sakka telah menyatakan delapan pernyataan jujur sebagai pujian kepada Sang Bhagavā, para Dewa Tiga-Puluh-Tiga bahkan menjadi lebih senang dan bersukacita, dipenuhi kegembiraan dan kebahagiaan mendengar pujian kepada Sang Bhagavā. ‘Kemudian sekelompok dewa berseru: “Oh, seandainya empat Buddha yang mencapai penerangan sempurna muncul di dunia ini dan mengajarkan Dhamma seperti Sang Bhagavā! Demi manfaat dan kebahagiaan banyak makhluk, demi belas kasih kepada dunia, demi manfaat dan kebahagiaan para dewa dan manusia!” Dan beberapa berkata: “Tidak perlu
like
bc
?️Sakya Sutta?️(Kemegahan Agung)
Diperbarui pada Nov 15, 2021, 09:44
Mahāsudassana (DN 17) Kemegahan Agung (SuttaPitaka DN 17 : 17) --------------------------- Pelepasan keduniawian seorang raja Demikianlah Yang Kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Kusinārā di hutan-sālmilik orang-orangMalla menjelang Nibbāna akhirNya di bawah pohon-sālkembar. Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi dan berkata: ‘Bhagavā, sudilah Bhagavā tidak wafat di kota kecil yang menyedihkan dan dengan ranting pohon berserakan ini, di tengah hutan, di tempat yang jauh dari mana-mana! Bhagavā, ada kota-kota besar lainnya seperti Campā, Rājagaha, Sāvatthi, Sāketa, Kosambi atau Vārāṇasī. Di tempat-tempat itu, ada para Khattiya, Brahmana dan perumah tangga kaya yang penuh pengabdian kepada Sang Tathāgata dan mereka akan melakukan pemakaman yang layak untuk Sang Tathāgata.’ ‘Ānanda, jangan menyebut tempat ini kota kecil yang menyedihkan dan dengan ranting pohon berserakan ini, di tengah hutan, di tempat yang jauh dari mana-mana! Suatu ketika, Ānanda, Raja Mahāsudassana adalah seorang raja pemutar-roda, raja yang adil dan jujur, yang telah menaklukkan wilayah di empat penjuru dan memastikan keamanan wilayahnya. Dan Raja Mahāsudassana ini membangun Kusinārā ini, dengan nama Kusāvatī, sebagai ibukota kerajaannya. Dan luasnya dua belas yojana dari timur ke barat, dan tujuh yojana dari utara ke selatan. Kusāvatī adalah negeri yang kaya, makmur dan berpenduduk banyak, ramai oleh penduduk dan memiliki banyak persediaan makanan. Bagaikan kota dewa Āḷakamandā yang kaya … (seperti Sutta 16, paragraf 5.18), demikian pula kota kerajaan Kusāvatī. Dan kota Kusāvatī tidak pernah sepi dari sepuluh suara siang dan malam: suara gajah, kuda, kereta, genderang-bernada, genderang-samping, kecapi, nyanyian, simbal dan gong, dan teriakan, “Makan, minum dan bergembiralah” sebagai yang kesepuluh. Ibu kota Kusāvatī dikelilingi oleh tujuh tembok. Satu dari emas, satu perak, satu beryl, satu kristal, satu dari batu delima, satu dari jamrud, dan satu dari berbagai jenis permata. Dan gerbang-gerbang Kusāvatī berwarna empat: satu emas, satu perak, satu beryl, satu Kristal. Dan di depan tiap-tiap gerbang terdapat tujuh pilar, setinggi tiga atau empat manusia. Satu dari emas, satu perak, satu beryl, satu kristal, satu dari ruby, satu dari jamrud, dan satu dari berbagai jenis permata. ‘Kusāvatī dikelilingi oleh tujuh baris pohon palem, dari bahan yang sama. Pohon emas, berbatang emas dengan daun dan buah perak, pohon perak berbatang perak, dengan daun dan buah emas, pohon beryl berbatang beryl, dengan daun dan buah kristal, pohon kristal berbatang kristal, dengan daun dan buah beryl. Pohon ruby berbatang ruby, dengan daun dan buah jamrud, pohon jamrud berbatang jamrud, dengan daun dan buah ruby, sedangkan pohon dari berbagai jenis permata adalah sama sehubungan dengan batang, daun dan buah. Suara dedaunan yang ditiup angin menimbulkan bunyi yang merdu, menyenangkan, indah dan memabukkan, bagaikan suara dari lima jenis alat musik yang dimainkan dalam sebuah konser oleh para pemain ahli dan terlatih. Dan Ānanda, mereka yang menyukai hura-hura dan para pemabuk di Kusāvatī terpuaskan keinginannya oleh suara dari dedaunan yang tertiup angin. ‘Raja Mahāsudassana memiliki tujuh pusaka dan empat ciri. Apakah tujuh itu? Suatu ketika, pada hari Uposatha tanggal lima belas, ketika Raja telah membasuh kepalanya dan naik ke teras atas istananya untuk menjalankan hari Uposatha, Pusaka-Roda surgawi muncul di hadapannya, berjari-jari seribu, lengkap dengan lingkaran, sumbu dan segala hiasannya. Melihatnya, Raja Mahāsudassana berpikir: “Aku telah mendengar bahwa seorang Raja Khattiya yang sah ketika melihat roda seperti ini pada hari Uposatha tanggal lima belas, maka ia akan menjadi seorang Raja Pemutar-Roda. Semoga aku menjadi raja demikian!” ‘Kemudian, bangkit dari duduknya, menutupi satu bahunya dengan jubahnya, Raja mengambil kendi emas dengan tangan kirinya, memercikkan air ke roda itu dengan tangan kanannya, dan berkata: “Semoga Pusaka-Roda mulia berputar, semoga Pusaka-Roda mulia menaklukkan!” Roda itu bergerak ke timur, dan Raja Mahāsudassana mengikuti bersama empat barisan bala tentaranya. Dan di negeri manapun Roda itu berhenti, Raja menetap di sana bersama empat barisan bala tentaranya. ‘Dan raja-raja di wilayah timur datang menghadapnya dan berkata: “Selamat datang, Baginda, selamat datang! Kami adalah milikmu, Baginda, perintahlah kami, Baginda!” Dan Sang Raja berkata: “Jangan membunuh. Jangan mengambil apa yang tidak diberikan. Jangan melakukan hubungan seksual yang salah. Jangan berbohong. Jangan meminum minuman keras. Makanlah secukupnya.” Dan mereka yang menemuinya di wilayah timur menjadi taklukannya. Dan ketika Roda itu menyelam ke laut timur, keluar dari air dan berbelok ke selatan, dan Raja Mahāsudassana mengikuti bersama empat barisan bala tentaranya Dan raja-raja … menjadi taklukannya. Setelah menyelam ke dalam laut selatan, Roda itu berbelok
like
bc
?️Sakya Sutta?️(Kisah Mahanidana)
Diperbarui pada Nov 14, 2021, 05:51
Demikianlah Yang Kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di tengah-tengah penduduk Kuru. Terdapat sebuah pemukiman pasar yang bernama Kammāsadhamma. Dan Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā, memberi hormat, duduk di satu sisi, dan berkata: “Sungguh indah, Bhagavā, sungguh menakjubkan betapa dalamnya asal-mula yang bergantungan ini, dan betapa dalamnya ia terlihat! Namun bagiku terlihat sejernih-jernihnya!” ‘Jangan berkata begitu, Ānanda, jangan berkata begitu! Asal-mula yang bergantungan ini dalam dan terlihat dalam. Tanpa memahami, tanpa menembus ajaran ini maka generasi ini bagaikan segumpal benang kusut, tertutup oleh tanaman hama, kusut bagaikan rumput kasar, tidak mampu melewati alam sengsara, alam menderita, kehancuran dan lingkaran kelahiran-dan-kematian. ‘Jika, Ānanda, engkau ditanya: “Apakah penuaan-dan-kematian memiliki kondisi untuk keberadaannya?” Engkau harus menjawab; “Ya.” Jika ditanya: “Apakah yang mengkondisikan penuaan-dan-kematian?” Engkau harus menjawab: “penuaan-dan-kematian dikondisikan oleh kelahiran.” … “Apakah yang mengkondisikan kelahiran?” … “Penjelmaan mengkondisikan kelahiran.” … “Kemelekatan mengkondisikan penjelmaan.” … “Ketagihan mengkondisikan kemelekatan.” “Perasaan mengkondisikan ketagihan.” … “Kontak mengkondisikan perasaan.” “Batin-dan-jasmani mengkondisikan kontak.” … “Kesadaran mengkondisikan batin-dan-jasmani.” … Jika ditanya: “Apakah kesadaran memiliki kondisi atas keberadaannya?” Engkau harus menjawab: “Ya.” Jika ditanya: “Apakah yang mengkondisikan kesadaran?” Engkau harus menjawab: “Batin-dan-jasmani mengkondisikan kesadaran.” ‘Demikianlah Ānanda, batin-dan-jasmani mengkondisikan kesadaran dan kesadaran mengkondisikan batin-dan-jasmani, batin-dan-jasmani mengkondisikan kontak, kontak mengkondisikan perasaan, perasaan mengkondisikan ketagihan, ketagihan mengkondisikan kemelekatan, kemelekatan mengkondisikan penjelmaan, penjelmaan mengkondisikan kelahiran, kelahiran mengkondisikan penuaan-dan-kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan dan kesusahan. Demikianlah keseluruhan kumpulan penderitaan ini terjadi. ‘Aku mengatakan: “Kelahiran mengkondisikan penuaan-dan-kematian”, dan ini adalah cara untuk memahaminya. Jika, Ānanda, tidak ada kelahiran sama sekali, di manapun, siapa pun, manusia atau bukan manusia: dewa, gandhabba …, yakkha …, hantu …, manusia …, binatang berkaki empat …, burung-burung …, reptil, jika tidak ada kelahiran sama sekali dari semua makhluk ini, maka, dengan tidak adanya kelahiran, lenyapnya kelahiran, dapatkah penuaan-dan-kematian muncul?’ ‘Tidak, Bhagavā.’ ‘Oleh karena itu Ānanda, ini adalah akar, penyebab, asal-mula, kondisi bagi penuaan-dan-kematian—yaitu kelahiran. ‘Aku mengatakan: “Penjelmaan mengkondisikan kelahiran.” … Jika sama sekali tidak ada penjelmaan di alam kenikmatan-indria, di alam berbentuk atau di alam tanpa bentuk … dapatkah kelahiran muncul?’ ‘Tidak, Bhagavā.’ ‘Oleh karena itu ini adalah kondisi bagi kelahiran—yaitu penjelmaan. ‘“Kemelekatan mengkondisikan penjelmaan.” … Jika sama sekali tidak ada kemelekatan: kemelekatan terhadap indria-indria , kemelekatan terhadap pandangan-pandangan, kemelekatan terhadap upacara dan ritual, terhadap kepercayaan akan diri … dapatkah penjelmaan muncul? ‘“Ketagihan mengkondisikan kemelekatan.” … Jika sama sekali tidak ada ketagihan: terhadap pemandangan-pemandangan, suara-suara, bau-bauan, rasa-rasa kecapan, objek-objek sentuhan, objek-objek pikiran … dapatkah kemelekatan muncul? ‘“Perasaan mengkondisikan ketagihan.” … Jika sama sekali tidak ada perasaan: perasaan yang muncul dari kontak-mata, kontak-telinga, kontak-hidung, kontak-lidah, kontak-badan, kontak-pikiran—dengan tidak adanya semua perasaan, dengan lenyapnya perasaan, dapatkah ketagihan muncul? ‘Tidak, Bhagavā.’ ‘Oleh karena itu, Ānanda, ini adalah akar, penyebab, asal-mula, kondisi bagi ketagihan—yaitu perasaan. ‘Dan demikianlah, Ānanda, perasaan mengkondisikan ketagihan, ketagihan mengkondisikan pencarian, pencarian mengkondisikan perolehan, perolehan mengkondisikan pengambilan-keputusan, pengambilan-keputusan mengkondisikan nafsu-keinginan, nafsu-keinginan mengkondisikan keterikatan, keterikatan mengkondisikan peruntukan, peruntukan mengkondisikan ketamakan, ketamakan mengkondisikan penjagaan kepemilikan, dan karena penjagaan kepemilikan maka muncullah pengambilan tongkat dan pedang, pertengkaran, perselisihan, perdebatan, percekcokan, caci-maki, kebohongan dan kejahatan tidak terampil lainnya. ‘Aku mengatakan: “Semua kondisi buruk yang tidak terampil ini muncul karena penjagaan kepemilikan.” Karena jika sama sekali tidak ada penjagaan kepemilikan … apakah ada mengambil tongkat atau pedang …?’ ‘Tidak, Bhagavā.’ ‘Oleh karena itu, Ānanda, menjaga kepemilikan adalah akar, penyebab, asal-mula, kondisi bagi semua kondisi buruk yang tidak terampil. ‘Aku mengatakan: “Ketamakan mengkondisikan penjagaan kepemilikan …” ‘“Peruntukan mengkondisikan keserakahan, … keterikatan mengkondisikan peruntukan,
like
bc
?️Sakya Sutta?️(Maha Vaga) /Tentang Silsilah
Diperbarui pada Nov 13, 2021, 21:10
Mahāpadāna (DN 14) Khotbah Panjang Tentang Silsilah (SuttaPitaka DN 14 : 14) --------------------------- Demikianlah Yang Kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthi, di taman Anāthapiṇḍika di hutan Jeta, dalam kawasan gubuk Kareri. Dan di antara sejumlah bhikkhu yang berkumpul di sana setelah makan, setelah menerima makanan, duduk di paviliun Kareri, terjadi suatu diskusi serius tentang kehidupan lampau, mereka berkata: ‘Beginilah terjadinya di masa lampau’, atau ‘Begitulah terjadinya di masa lampau.’ Dan Sang Bhagavā, dengan indria telinga dewa yang melampaui kekuatan manusia, mendengar apa yang sedang mereka bicarakan. Setelah bangkit dari dudukNya, Beliau datang ke paviliun Kareri, duduk di tempat yang telah disediakan, dan berkata: ‘Para bhikkhu, apakah pembicaraan kalian ketika kalian berkumpul? Diskusi apakah yang terhenti karenaKu?’ Dan mereka menceritakan kepada Beliau. ‘Baiklah, para bhikkhu, apakah kalian mau mendengarkan ceramah mengenai kehidupan lampau?’ ‘Bhagavā, sekarang adalah waktunya untuk itu! Yang Sempurna menempuh Sang Jalan, sekarang adalah waktunya untuk itu! Jika Bhagavā membabarkan khotbah tentang kehidupan lampau, para bhikkhu akan mendengarkan dan mengingatnya!’ ‘Baiklah, para bhikkhu, dengarkanlah, perhatikanlah dengan baik, dan Aku akan berbicara.’ ‘Baik, Bhagavā’, para bhikkhu menjawab, dan Sang Bhagavā berkata: ‘Para bhikkhu, sembilan puluh satu kappa yang lalu, Sang Bhagavā, Sang Arahant, Buddha Vipassī yang telah mencapai penerangan sempurna muncul di dunia. Tiga puluh satu kappa yang lalu, Buddha Sikhī muncul; pada kappa yang sama muncul Buddha Vessabhū, dan dalam kappa yang menguntungkan saat ini para Buddha Kakusandha, Konāgamana dan Kassapa muncul di dunia. Dan, para bhikkhu, dalam kappa yang menguntungkan ini, Aku juga muncul di dunia ini sebagai seorang Buddha yang mencapai penerangan sempurna. ‘Buddha Vipassī terlahir dari kasta Khattiya, dan dibesarkan dalam keluarga Khattiya; Buddha Sikhi juga demikian; Buddha Vessabhū juga demikian; Buddha Kakusandha terlahir dari Kasta Brahmana, dan dibesarkan dalam keluarga Brahmana; Buddha Konāgamana juga demikian; Buddha Kassapa juga demikian;dan Aku, para bhikkhu, yang adalah seorang Arahant dan Buddha yang mencapai penerangan empurna, terlahir dari kasta Khattiya, dan dibesarkan dalam keluarga Khattiya. ‘Buddha Vipassī berasal dari marga Kondañña; Buddha Sikhī juga demikian; Buddha Vesabhū juga demikian; Buddha Kakusandha berasal dari marga Kassapa; Buddha Konāgamana juga demikian; Buddha Kassapa juga demikian; Aku yang sekarang adalah seorang Arahant dan Buddha yang mencapai penerangan sempurna, berasal dari marga Gotama. ‘Pada masa Buddha Vipassī, umur kehidupan manusia adalah delapan puluh ribu tahun; pada masa Buddha Sikhī, tujuh puluh ribu; pada masa Buddha Vessabhū, enam puluh ribu; pada masa Buddha Kakusandha, empat puluh ribu; pada masa Buddha Konāgamana, tiga puluh ribu; pada masa Buddha Kassapa, dua puluh ribu. Pada masaKu, umur kehidupan sangat singkat, terbatas, dan cepat dilalui; jarang sekali bagi siapapun yang hidup sampai seratus tahun. ‘Buddha Vipassī mencapai penerangan sempurna di bawah pohon bunga-trompet; Buddha Sikhī di bawah pohon-mangga-putih; Buddha Vessabhū di bawah pohon–sāl; Buddha Kakusandha di bawah pohon-akasia; Buddha Konāgamana di bawah pohon banyan; dan Aku mencapai Penerangan Sempurna di bawah pohon-assattha. ‘Buddha Vipassī memiliki sepasang siswa-utama Khaṇḍa dan Tissa; Buddha Sikhī memiliki Abhibhū dan Sambhava; Buddha Vessabhū memiliki Soṇa dan Uttara; Buddha Kakusandha memiliki Vidhūra dan Sañjīva; Buddha Konāgamana memiliki Bhiyyosa dan Uttara; Buddha Kassapa memiliki Tisa dan Bhāradvāja; Aku sendiri sekarang memiliki sepasang siswa-utama Sāriputta dan Moggallāna. ‘Buddha Vipassī memiliki tiga kelompok siswa: satu terdiri dari enam juta delapan ratus ribu, satu terdiri dari seratus ribu dan satu terdiri dari delapan puluh ribu bhikkhu, dan dari ketiga kelompok ini semuanya adalah Arahant; Buddha Sikhī memiliki tiga kelompok siswa: satu terdiri dari seratus ribu, satu terdiri dari delapan puluh ribu, dan satu terdiri dari tujuh puluh ribu bhikkhu—semuanya Arahant; Buddha Vessabhū memiliki tiga kelompok: satu terdiri dari delapan puluh ribu, satu terdiri dari tujuh puluh ribu, dan satu terdiri dari enam puluh ribu bhikkhu—semuanya Arahant; Buddha Kakusandha memiliki satu kelompok: empat puluh ribu bhikkhu—semuanya Arahant; Buddha Konāgamana memiliki satu kelompok: tiga puluh ribu bhikkhu—semuanya Arahant; Buddha Kassapa memiliki satu kelompok: dua puluh ribu bhikkhu—semuanya Arahant; Aku, para bhikkhu, memiliki satu kelompok, seribu dua ratus lima puluh bhikkhu, dan satu kelompok ini hanya terdiri dari para Arahant saja. ‘Pelayan pribadi Buddha Vipassī adalah bhikkhu Asoka; Buddha Sikhī adalah Khemankara; Buddha Vessabhū adalah Upasannaka; Buddha Kakusandha adalah Vuḍḍhija; Buddha Konāgamana adalah Sotthija; Buddha Kassapa adalah Sabbamitta;
like
bc
?️Sakya Pitaka?️(Kisah Soreyya)
Diperbarui pada Nov 11, 2021, 08:18
Na taṃ mata pita kayira anne va pi ca nataka sammapahinim Kisah Soreyya Bukan dengan pertolongan ibu, ayah, ataupun sanak keluarga, namun pikiran yang diarahkan dengan baik, yang akan membantu dan mengangkat derajat seseorang. ---------------------------------- Suatu hari Soreyya beserta seorang teman dan beberapa pembantu pergi dengan sebuah kereta yang mewah untuk membersihkan diri (mandi). Pada saat itu, Mahakaccayana Thera sedang mengatur jubahnya di pinggir luar kota, karena ia akan memasuki kota Soreyya untuk berpindapatta. Pemuda Soreyya melihat sinar keemasan* dari Mahakaccayana Thera, berpikir: “Bagaimana apabila Mahakaccayana Thera menjadi istriku, atau bagaimana apabila warna kulit istriku seperti itu.” Karena muncul keinginan seperti itu, kelaminnya berubah menjadi seorang wanita. Dengan sangat malu, ia turun dari kereta dan berlari, pada jalan menuju ke arah Taxila. Pembantunya kehilangan dia, mencarinya, tetapi tidak dapat menemukannya. Soreyya, sekarang seorang wanita, memberikan cincinnya sebagai ongkos kepada beberapa orang yang bepergian ke Taxila, dengan harapan agar ia diizinkan ikut dalam kereta mereka. Setelah tiba di Taxila, teman-teman Soreyya berkata kepada seorang pemuda kaya di Taxila, tentang perempuan yang datang bersama mereka. Pemuda kaya itu melihat Soreyya yang begitu cantik dan seumur dengannya, menikahi Soreyya. Perkawinan itu membuahkan dua anak laki-laki, dan ada juga dua anak laki-laki dari perkawinan Soreyya pada waktu masih sebagai pria. Suatu hari, seorang anak orang kaya dari kota Soreyya datang di Taxila dengan lima ratus kereta. Perempuan Soreyya mengenalinya sebagai seseorang yang telah diutus oleh teman lamanya. Laki-laki dari kota Soreyya itu merasa senang bahwa ia diundang oleh seorang perempuan yang tidak dikenalnya. Ia berbicara dengan Soreyya bahwa ia tidak mengenalnya, dan bertanya kepada Soreyya apakah Soreyya mengetahui dirinya. Soreyya menjawab bahwa ia tahu tentang dirinya dan menanyakan kesehatan keluarganya dan beberapa orang-orang di kota Soreyya. Laki-laki dari kota Soreyya berbicara tentang anak orang kaya yang hilang secara misterius ketika pergi ke luar kota untuk mandi. Soreyya mengungkapkan identitas dirinya dan menghubungkan semua apa yang telah terjadi, tentang pikiran salahnya kepada Mahakaccaya Thera, tentang perubahan kelamin, dan perkawinannya dengan orang kaya di Taxila. Laki-laki dari kota Soreyya menasehatinya untuk meminta maaf kepada Mahakaccayana Thera. Mahakaccayana Thera diundang ke rumah perempuan Soreyya dan menerima dana makanan darinya. Sesudah bersantap perempuan Soreyya dibawa menghadap Mahakaccayana Thera, dan laki-laki dari kota Soreyya berbicara kepada Mahakaccayana Thera bahwa perempuan ini pada waktu dulu adalah seorang anak laki-laki orang kaya di kota Soreyya. Ia kemudian menjelaskan kepada Mahakaccayana Thera bagaimana Soreyya menjadi perempuan karena berpikiran jelek pada saat menghormati Mahakaccayana Thera. Perempuan Soreyya dengan hormat meminta maaf kepada Mahakaccayana Thera. Mahakaccayana Thera berkata, “Bangunlah, saya memaafkanmu.” Segera setelah kata-kata itu diucapkan, perempuan tersebut berubah kelamin menjadi seorang laki-laki. Soreyya kemudian merenungkan bagaimana dengan satu keberadaan diri dan dengan satu keberadaan tubuh jasmani ia berubah kelamin, bagaimana anak-anak telah dilahirkannya. Merasa sangat cemas dan jijik terhadap segala hal itu, ia memutuskan untuk meninggalkan hidup berumah tangga, dan memasuki Pasamuan Sangha dibawah bimbingan Mahakaccayana Thera. Sesudah itu ia sering ditanyai, “Siapa yang kamu cintai, dua anak laki-laki pada saat ia sebagai seorang laki-laki, atau dua anak lain pada saat ia menjadi seorang istri?” Terhadap hal itu ia menjawab bahwa cinta kepada mereka yang dilahirkan dari rahimnya adalah lebih besar. Pertanyaan ini seringkali muncul, ia merasa sangat terganggu dan malu. Kemudian ia menyendiri dan dengan rajin, merenungkan penghancuran dan proses tubuh jasmani. Tidak terlalu lama kemudian, ia mencapai kesucian arahat, bersamaan dengan pandangan terang analitis. Ketika pertanyaan lama ditanyakan kepadanya, ia menjawab bahwa ia telah tidak mempunyai lagi kesayangan pada sesuatu yang khusus. Bhikkhu-bhikkhu yang lain mendengarnya berpikir bahwa ia pasti berkata tidak benar. Pada saat dilapori dua jawaban berbeda Soreyya itu, Sang Buddha berkata, “Anakku berkata benar, ia telah berbicara benar. Jawabannya sekarang lain karena ia sekarang telah mencapai tingkat kesucian arahat, sehingga ia tidak lagi menyayangi sesuatu yang khusus. Dengan pikiran terarah benar, anak-Ku telah membuat dirinya berada pada suatu kehidupan baik, yang diberikan oleh ayah maupun ibu.” Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 43 berikut: Bukan dengan pertolongan ibu, ayah, ataupun sanak keluarga; namun pikiran yang diarahkan dengan baik, yang akan membantu dan mengangkat derajat seseorang. Banyak bhikkhu mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
like
bc
Sakya Sutta ( Kisah Culapanthaka)
Diperbarui pada Nov 11, 2021, 07:48
Uṭṭhānen' appamādena saṃyamena damena cadipam kayiratha medhavi yam ogho nabhikirati Kisah Culapanthaka .APPAMADA VAGGA - Kisah Culapanthaka Dengan usaha yang tekun, semangat, disiplin, dan pengendalian diri, hendaklah orang bijaksana, membuat pulau bagi dirinya sendiri, yang tidak dapat ditenggelamkan oleh banjir. ---------------------------------- Bendahara Kerajaan di Rajagaha, mempunyai dua orang cucu laki-laki bernama Mahapanthaka dan Culapanthaka. Mahapanthaka, yang tertua, selalu menemani kakeknya mendengarkan khotbah Dhamma. Kemudian Mahapanthaka bergabung menjadi murid Sang Buddha. Culapanthaka mengikuti jejak kakaknya menjadi bhikkhu pula. Tetapi, karena pada kehidupannya yang lampau, pada masa keberadaan Buddha Kassapa, Culapanthaka telah menggoda seorang bhikkhu yang sangat bodoh, maka dia dilahirkan sebagai orang dungu pada kehidupannya saat ini. Dia tidak mampu mengingat, meskipun hanya satu syair dalam empat bulan. Mahapanthaka sangat kecewa dengan adiknya dan mengatakan bahwa adiknya tidak berguna. Suatu waktu, Jivaka datang ke vihara mengundang Sang Buddha dan para bhikkhu yang ada, untuk berkunjung makan siang di rumahnya. Mahapanthaka, yang diberi tugas untuk memberitahu para bhikkhu tentang undangan makan siang tersebut, mencoret Culapanthaka dari daftar undangan. Ketika Culapanthaka mengetahui hal itu, dia merasa sangat kecewa dan memutuskan untuk kembali hidup sebagai seorang perumah tangga. Mengetahui keinginan tersebut, Sang Buddha membawanya dan menyuruhnya duduk di depan Gandhakuti. Kemudian Beliau memberikan selembar kain bersih kepada Culapanthaka, dan menyuruhnya untuk duduk menghadap ke timur dan menggosok-gosok kain itu. Pada waktu bersamaan, dia harus mengulang kata “Rajoharanam”, yang berarti “kotor”. Sang Buddha kemudian pergi ke tempat kediaman Jivaka, menemani para bhikkhu. Culapanthaka mulai menggosok selembar kain tersebut, sambil mengucapkan “Rajoharanam”. Berulang kali kain itu digosok, dan berulang kali pula kata-kata rajoharanam meluncur dari mulutnya. Berulang dan berulang kali. Karena terus menerus digosok, kain tersebut menjadi kotor. Melihat perubahan yang terjadi pada kain tersebut, Culapanthaka tercenung. Ia segera menyadari ketidakkekalan segala sesuatu yang berkondisi. Dari rumah Jivaka, Sang Buddha dengan kekuatan supranaturalnya, mengetahui kemajuan Culapanthaka. Beliau dengan kekuatan supranaturalnya menemui Culapanthaka, sehingga seolah-olah Beliau tampak duduk di depan Culapanthaka, dan berkata: “Tidak hanya selembar kain yang dikotori oleh debu; dalam diri seseorang ada debu hawa nafsu (raga), debu keinginan jahat (dosa), dan debu ketidaktahuan (moha), seperti ketidaktahuan akan empat kesunyataan mulia. Hanya dengan menghapuskan hal-hal tersebut, seseorang dapat mencapai tujuannya dan mencapai arahat.” Culapanthaka mendengarkan pesan tersebut dan meneruskan bermeditasi. Dalam waktu yang singkat mata batinnya terbuka, dan ia mencapai tingkat kesucian arahat, bersamaan dengan memiliki “Pandangan Terang Analitis”. Maka Culapanthaka tidak lagi menjadi orang dungu. Di rumah Jivaka, para umat menuang air sebagai tanda telah melakukan perbuatan dana, tetapi Sang Buddha menutup mangkoknya dengan tangan dan berkata bahwa masih ada bhikkhu yang ada di vihara. Semuanya mengatakan bahwa tidak ada bhikkhu yang tertinggal. Sang Buddha menjawab bahwa masih ada satu orang bhikkhu yang tertinggal dan memerintahkan untuk menjemput Culapanthaka di vihara. Ketika pembawa pesan dari rumah Jivaka tiba di vihara, dia menemukan tidak hanya satu orang, tetapi ada seribu orang bhikkhu yang serupa. Mereka semua diciptakan oleh Culapanthaka, yang sekarang telah memiliki kekuatan supranatural. Utusan tersebut kagum, dan dia pulang kembali dan melaporkan hal ini kepada Jivaka. Utusan itu kembali diutus ke vihara untuk kedua kalinya, dan diperintahkan untuk mengatakan bahwa Sang Buddha mengundang bhikkhu yang bernama Culapanthaka. Tetapi ketika dia menyampaikan pesan tersebut, seribu suara menjawab, “Saya adalah Culapanthaka.” Dengan bingung, dia kembali ke rumah Jivaka untuk kedua kalinya. Untuk ketiga kalinya dia diperintahkan untuk menarik bhikkhu yang dilihatnya pertama kali mengatakan bahwa dia adalah Culapanthaka. Dengan cepat dia memegangnya dan semua bhikkhu yang lain menghilang, dan Culapanthaka menemani utusan tersebut ke rumah Jivaka. Setelah makan siang, seperti yang diperintahkan oleh Sang Buddha, Culapanthaka menyampaikan khotbah Dhamma, khotbah tentang keyakinan dan keberanian, mengaum bagaikan raungan seekor singa muda. Ketika masalah Culapanthaka dibicarakan di antara para bhikkhu, Sang Buddha berkata bahwa seseorang yang rajin dan tetap pada perjuangannya, akan mencapai tingkat kesucian arahat. Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 25 berikut ini: Dengan usaha yang tekun, semangat, disiplin, dan pengendalian diri, hendaklah orang bijaksana, membuat pulau bagi dirinya sendiri, yang tidak dapat ditenggelamkan oleh banjir. -----------------------
like
bc
Sakya Sutta(Kisah Cakkhupala Thera)/Dhammapada null:1/
Diperbarui pada Nov 11, 2021, 06:48
Kisah Cakkhupala Thera (Dhammapada null : 1) 1.YAMAKA VAGGA - Kisah Cakkhupala Thera . (Dhammapada null : 1) 1.YAMAKA VAGGA - . (1) Manopubbaṅgammā dhammā Manoseṭṭhā manomayā Manasā ce paduṭṭhena Bhāsati vā karoti vā Tato naṃ dukkham anveti Cakkaṃ va vahato padaṃ -------------------------------- (1) Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat, maka penderitaan akan mengikutinya, bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya. ---------------------------------- Suatu hari, Cakkhupala Thera berkunjung ke Vihara Jetavana untuk melakukan penghormatan kepada Sang Buddha. Malamnya, saat melakukan meditasi jalan kaki, Sang Thera tanpa sengaja menginjak banyak serangga sehingga mati. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali serombongan bhikkhu yang mendengar kedatangan Sang Thera bermaksud mengunjunginya. Di tengah jalan, di dekat tempat Sang Thera menginap mereka melihat banyak serangga yang mati. “Iiih…, mengapa banyak serangga yang mati di sini?” seru seorang bhikkhu. “Aah, jangan jangan…”, celetuk yang lain. “Jangan-jangan apa?” sergah beberapa bhikkhu. “Jangan-jangan ini perbuatan Sang Thera!” jawabnya. “Kok bisa begitu?” tanya yang lain lagi. “Begini, sebelum Sang Thera berdiam disini, tak ada kejadian seperti ini. Mungkin Sang Thera terganggu oleh serangga-serangga itu. Karena jengkelnya ia membunuhinya.” “Itu berarti ia melanggar vinaya, maka perlu kita laporkan kepada Sang Buddha!” seru beberapa bhikkhu. “Benar, mari kita laporkan kepada Sang Buddha, bahwa Cakkhupala Thera telah melanggar vinaya”, timpal sebagian besar dari bhikkhu tersebut. Alih-alih dari mengunjungi sang thera, para bhikkhu itu berubah haluan, berbondong-bondong menghadap Sang Buddha untuk melaporkan temuan mereka, bahwa “Cakkhupala Thera telah melanggar vinaya!” Mendengar laporan para bhikkhu, Sang Buddha bertanya, “Para bhante, apakah kalian telah melihat sendiri pembunuhan itu?” “Tidak bhante”, jawab mereka serempak. Sang Buddha kemudian menjawab, “Kalian tidak melihatnya, demikian pula Cakkhupala Thera juga tidak melihat serangga-serangga itu, karena matanya buta. Selain itu Cakkhupala Thera telah mencapai kesucian arahat. Ia telah tidak mempunyai kehendak untuk membunuh.” “Bagaimana seorang yang telah mencapai arahat tetapi matanya buta?” tanya beberapa bhikkhu. Maka Sang Buddha menceritakan kisah di bawah ini: Pada kehidupan lampau, Cakkhupala pernah terlahir sebagai seorang tabib yang handal. Suatu ketika datang seorang wanita miskin. “Tuan, tolong sembuhkanlah penyakit mata saya ini. Karena miskin, saya tak bisa membayar pertolongan tuan dengan uang. Tetapi, apabila sembuh, saya berjanji dengan anak-anak saya akan menjadi pembantu tuan”, pinta wanita itu. Permintaan itu disanggupi oleh sang tabib. Perlahan-lahan penyakit mata yang parah itu mulai sembuh. Sebaliknya, wanita itu menjadi ketakutan, apabila penyakit matanya sembuh, ia dan anak-anaknya akan terikat menjadi pembantu tabib itu. Dengan marah-marah ia berbohong kepada sang tabib, bahwa sakit matanya bukannya sembuh, malahan bertambah parah. Setelah diperiksa dengan cermat, sang tabib tahu bahwa wanita miskin itu telah berbohong kepadanya. Tabib itu menjadi tersinggung dan marah, tetapi tidak diperlihatkan kepada wanita itu. “Oh, kalau begitu akan kuganti obatmu”, demikian jawabnya. “Nantikan pembalasanku!” serunya dalam hati. Benar, akhirnya wanita itu menjadi buta total karena pembalasan sang tabib. Sebagai akibat dari perbuatan jahatnya, tabib itu telah kehilangan penglihatannya pada banyak kehidupan selanjutnya. Mengakhiri ceritanya, Sang Buddha kemudian membabarkan syair di bawah ini: Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat, maka penderitaan akan mengikutinya, bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya. Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, di antara para bhikkhu yang hadir ada yang terbuka mata batinnya dan mencapai tingkat kesucian arahat dengan mempunyai kemampuan batin analitis ‘Pandangan Terang’ (pati-sambhida). --------------------- Notes : Ada 4 macam tingkat kesucian : 1. sotapatti (pemasuk arus - hanya akan ada 7 kelahiran lagi baginya, orangnya disebut sotapanna, seorang sotapanna tidak akan jatuh ke alam rendah), 2. sakadagami (hanya akan ada 1 kelahiran lagi baginya sebagai manusia), 3. anagami (tidak akan lahir kembali menjadi manusia, tetapi di alam Suddhavasa), dan 4. arahat (tiada kelahiran lagi baginya di manapun juga).
like