“Santai lah, Di. Bangun dong, Lo! Semangat kayak Dion yang gue kenal dulu. Bukan yang gampang nyerah kayak gini.”
Barra menepuk pundak sahabatnya itu kemudian mengangkat tangannya yang mengepal tanda memberikan semangat.
“Kayak yang gue bilang tadi, Bro, gue kehilangan banyak semangat.”
“Jangan ka-“
Belum selesai berbicara, telepon ruangan Dion berdering, dengan terpaksa Barra pun terdiam. Menyimak siapa yang menelepon di seberang sana.
“Halo, dengan Dokter Dion.” Jawabnya dengan tegas.
“Dok, mohon ke IGD, ada pasien kecelakaan.”’ Suara seseorang disana kedengaran gugup dan takut.
“Oh, baik.” Menutup teleponnya dan berdiri.
Dion menyambar jas putihnya, memakai dengan cepat. Barra pun mengerti, ia bisa mendengar info dari suara dalam telepon tadi.
“Gue ikut!” pinta Barra yang memang sudah tidak ada jadwal poli atau pun visit.
“Oke, lo udah free kan?”
Barra mengagguk, ia lalu mengekor kemana Dion berlajan. Keluar dari ruangan poli, menyusuri ruang tunggu yang lumayan begitu luas dengan sisi-sisi keramik warna putih dan kursi tunggu yang berjejer rapi. Melewati ruang pelayanan dan pendaftaran hingga sampai pada ruangan Instalasi Gawat Darurat. Sudah ada tiga orang yang menunggu di depan ruang IGD yang sepertinya adalah anggota dari pasien yang ada di dalam. Sepintas, Dion melihat satu diantara mereka, seseorang yang tidak begitu asing baginya. Namun siapa, dia masih sambil mengingat-ingatnya.
Satu orang pasien terbaring lemas dalam ranjang, mengenakan kemeja dan celana formal warna hitam. Penampilannya sudah tidak rapi lagi, ada bercak darah di baju bagian depan, di kepalanya mengucur darah segar yang oleh perawat sudah berusaha ditangani. Celana sebelah kiri digunting dengan terpaksa, karena ada sakit yang cukup serius disana.
Beberapa suster dan dokter jaga siap berada disana. Mereka menunggu Dion untuk menentukan tindakan apa selanjutnya. Pintu terbuka, Dion yang datang dengan Barra membuat para tenaga medis disana merasa lega. Yang mereka tunggu akhirnya sampai juga.
“Dok.” Sapa mereka dengan mengangguk.
“Lakalantas?” tanya Dion ketika baru saja melihat kondisi seseorang yang tergeletak disana. Ia lalu mengeluarkan stetoskop di saku jas, kemudian memakainya.
“Iya, Dok. Tunggal.”
“Tensinya berapa, sus?”
“90/60 mmHg, Dok.”
Dion pun memakai stetoskopnya dan mulai memeriksa pasiennya, lalu mengangguk-angguk.
“Darah di kepalanya masih keluar terus dari tadi?”
“Iya, Dok. Kaki kiri juga patah.”
”Pasangkan traski dulu sebelum operasi, Sus!” perintahnya, mereka mengangguk kemudian seorang suster menyiapkan apa yang Dion butuhkan. “Maaf, Bapak bisa dengar suara saya?” Dion mencoba mendekat dan menanyakannya pada pasien itu, seorang bapak-bapak berumur kira-kira 45 tahun. Yang ditanya hanya mengangguk, ada sedikit rasa lega karena pasien itu masih sadar dan bisa diajak berkomunikasi. “Ada alergi obat tidak, Pak?” lanjutnya.
“Tidak ada, Dok.”
“Ada riwayat sakit sebelumnya, Pak?”
“Ada, Dok. Batu ginjal dan asam lambung.”
“Baik, Bapak. Kami akan melakukan tindakan operasi pemasangan pen pada tulang kaki Bapak yang patah! Mohon yang tenang, kami team bedah akan melakukan yang terbaik untuk Bapak.” Dion berucap dan berusha untuk membuatnya lebih tenang, “Sus, bisa tolong panggilkan salah satu anggota keluarganya kesini?”
“Baik, Dok.”
Dion meninggalkan pasiennya, kemudian melepas sarung tangan dan membersihkannya di wastafel. Setelahnya ia duduk di meja periksa, sedangkan Barra berdiri di sampingnya. Menunggu seseorang untuk menghadap mereka.
Dari balik pintu, seorang laki-laki masuk dengan gugup dan khawatir. Laki-laki itu yang tadi sempat membuat Dion bertanya-tanya. Seperti tidak asing namun juga tidak saling kenal. Ia mempersilahkan seseorang itu duduk di depannya, lalu memakai masker dan bersiap untuk menjelaskan semua hal tentang pasiennya.
“Permisi, Dok.” Ucapnya seraya duduk di kursi.
“Silahkan, Bapak keluarga daru pasien ini?”
“Betul, Dok, saya Aksa adik dari pasien kecelakaan yang bernama Rio.”
Dion semakin penasaran, nama itu pun tidak asing. Siapa dan ia mulai mengingat-ingat dimana ia pernah bertemu.
“Baik, Pak Aksa.”
Seketika ia teringat dia adalah laki-laki yang sedang ingin ia cari informasinya, seseorang yang mengejar Kayana hingga sangat terobsesi.
“Jadi begini, ada pendarahan di kepala bagian depan yang sampai saat ini masih saja keluar. Kemudian kaki di bagian kiri terjadi patah tulang, itu harus segera di operasi. Namun saat ini kami beum dapat melakukannya dalam waktu yang cepat karena kami tidak mungkin melakukan tindakan bedah apabila pasien masih pendarahan. Sebelum itu, kami harus melakukan transfusi darah karena HB pasien menurun.”
“Lalu, tindakan yang dokter lakukan saat ini apa, Dok?”
“Kami tengah mengupayakan agar pendarahan pada kepala segera berhenti, Pak, karena itu kami juga sudah memberikan obat pada pasien kami.”
“Kemungkinan berapa lama efek dari obat itu untuk menghentikan pendarahannya?”
“Normalnya sekitar empat jam, pak.”
“Setelah itu bisa langsung dilakukan operasi, Dok?”
“Belum, Pak. Kami harus meminta pasien untuk puasa dulu maksimal enam jam. Baru setelah itu kami berani melakukan tindakan operasi atau bedah.”
“Baik, Dok. Mohon lakukan yang terbaik untuk kakak saya.”
“Insyaallah, kami akan melakukan tugas kami dengan semaksimal mungkin. Apa masih ada yang mau ditanyakan?”
“Sudah, Dok, mungkin itu dulu. Kalau begitu saya permisi.”
“Ya, silahkan, Pak.”
“terima kasih sebelumnya, tolong kalau ada apa-apa langsung menghubungi saya saja.”
“Sama-sama.”
Dion dan Barra saling bertatapan melihat laki-laki itu keluar dari ruang IGD.
“Itu?” sekarang Barra yang lebih penasaran.
“Iya, nggak salah lagi, Bar.”
“Jadi orang yang saat ini sedang kita cari infonya, ada di depan mata kita?”
“Ya, lo bener, Bar. Dia adalah laki-laki yang ngejar-ngejar Kayana sampai detik ini.”
“Bisa kebetulan gini ya, Di?”
“Iya, ya. Ya syukurlah kita tinggal mencari info lebih lanjut.”
“Dok, sepertinya kita membutuhkan dua pendonor darah untuk pasien Rio.” Salah seorang suster menghampiri dua dokter itu yang tengah berbincang.
“Baik, Sus. Suster coba cek di PMI.”
“Sudah kami cek, Dok. Dan kantong darah disana sedang kosong untuk golongan darah A minus.”
“Kalau gitu, Suster kasih tahu pihak keluarga. Siapa tahu ada dari mereka yang berjenis golongan darah sama.”
“Baik, Dok.”
“Oh, ya Suster, tolong tetap dipantau ya. Kalau ada apa-apa langsung hubungi saya di nomor ponsel saja ya. Saya mau keluar sebentar.”
“Baik, Dokter.”
Kedua dokter muda itu keluar dari IGD langsung menuju tempat parkir. Mereka ingin mencari cafe terdekat untuk menikmati kopi di sore hari. Sepertinya mereka butuh tempat untuk sekedar melepas penat, terutama Dion.
“Untung tadi gue belum pulang ya, Bar.”
“Iya juga ya, untung sekarang lo punya hobi menyepi di kantor. Ha ha ha, jadi bisa ketemu kan lo sama si cowok tengil itu.”
“Yoi, masih beruntung gue ternyata.”
“Bisa jadi itu cowok yang bakalan jadi penanggungjawab pasien tadi dong, Di? Coba nanti gue tanya di bagian administrasi, kalau emang iya, coba gue tanya identitasnya.”
“Mantap, Bro, makasih ya!”
***
Antrian pasien di poli ortopedi sudah sepi, jadwal visitie untuk hari ini diganti sore nanti. Dion ada jadwal operasi satu jam kedepan nanti. Pasien sore kemarin sudah siap untuk tindakan bedahnya.
Seorang perawat datang menghampiri Dion yang tengah bersiap-siap untuk menuju ruang bedah.
“Sudah siap, Dokter?”
“Sudah, Sus. Gimana keadaan pasiennya, sudah stabil kan?”
“Sudah, Dok. Tadi malam pendarahan berhenti dan tadi pagi sudah kami minta untuk puasa sebelum tindakan.”
“Baiklah, semua peralatan dan ruang bedah sudah siap?”
“Sudah semua, Dokter. Sekarang pasien sudah berada di ruang perawatan untuk persiapan. Dokter kami tunggu disana.”
“Baik, Sus. Saya segera menyusul.”
Dion pun segera berjalan menuju ruang operasi, sebelumnya ia masuk ke ruang ganti. Mengganti bajunya dengan baju operasi, lengkap dengan sarung tangan dan masker.
Demi pekerjaannya yang dulu ia pernah bersumpah, berjuang, bekerja keras menolong pasien dengan ikhlas tanpa memandang siapa pun mereka. Dion tidak lagi mengingat siapa yang akan ia tolong, yang ia tahu bahwa semua mempunyai hak sehat yang sama. Dan kewajibannya adalah menolongnya. Pasien yang akan ia hadapi adalah kakak dari Aksa, laki-laki yang telah mengganggu Kayana. Memang ia sedang berurusan dengan Aksa, namun tidak dengan pasiennya itu.
Ia bertekad untuk melakukan pertolongan terbaik, sebab ini adalah panggilan jiwa. Menyelamatkan dan dapat membuat pasiennya sembuh adalah suatu kebanggaan juga kebahagiaan. Dengan niat yang baik, dengan awalan doanya dan para team bedah semuanya. Operasi itu mereka mulai.