42

2129 Kata
Sore ini terasa begitu melelahkan bagi Dokter spesialis ortopedi itu. Setelah setengah hari berada di poli dan siangnya melakukan visite ke puluhan kamar pasien, Dion nampak kelelahan. Laki-laki itu merebahkan bahu di kursi kerjanya sedangkan jas putih sudah ia lepas dan ia gantungkan di belakangnya. Melakukan segala pekerjaannya beberapa waktu terakhir, rasanya datar sekali. Seperti tidak ada semangat. Tidak ada yang membuatnya ingin cepat-cepat menyelesaikan tugasnya seperti biasa. Dulu waktunya begitu cepat berlalu dan begitu menyenangkannya jika sore telah tiba. Waktu yang selalu diharapkannya, ketika waktunya bisa main dan bercanda dengan Erland, meskipun memang tidak setiap sore. Menjadikan obat lelahnya dari seharian bekerja penuh waktu. Waktu yang juga selalu Erland tunggu-tunggu. Kini Dion merasakan hari-harinya begitu membosankan, terasa lebih panjang dan sangat melelahkan. Ia juga menyadari, sepertinya dalam menghadapi dan memeriksa pasien selalu ia lakukan seperlunya, jarang sekali ada perbincangan apalagi candaan dengan mereka. Ia hanya akan memeriksa pasiennya seperti dokter-dokter pada umumnya, menasehati dan memberikan resep obat. Begitulah kira-kira yang ia lakukan selama beberapa waktu ini. Perubahan ini ternyata juga dirasakan oleh teman-teman sejawatnya, Barra apalagi. Ia merasakan ada hal aneh yang membuat sahabatnya itu bersikap lain. Pernah suatu hari perawat yang biasanya membantu pekerjaan Dion pun bertanya secara serius pada Barra. Kira-kira ada masalah apa dengan Dokter muda itu. Mengingat Barra adalah satu-satunya sahabat terdekat yang dimiliki Dion. Namun ternyata Barra sendiri tidak pernah tahu apa yang Dion pendam selama ini. Banyak yang merindukan sosok Dion, dokter yang dikenal dengan senyum ramahnya, telatennya dalam memeriksa pasien sampai caranya berpenampilan yang selalu nampak fresh dengan rambut yang disisir rapi berkat minyak rambutnya. Mungkin jika dilihat dari segi penampilannya ia tidak berubah, secara fisik ia masih tetap menarik seperti dulu. Hanya saja senyum itu sedikit berkurang. Biasanya setelah tugasnya selesai, ia pasti akan buru-buru pulang, entah itu ke apartemen atau ke rumah Kayana. Mampir membelikan mainan atau sekedar makanan kecil untuk Erland. Itu sudah hampir menjadi sebuah kebiasaan. Namun ternyata tidak bisa berangsur lama. Karena sesuatu hal, menjadikan hal itu berubah terbalik. Dion rindu hari-hari itu. Kini, Dion menjadi lebih sering terlambat pulang dari rumah sakit. Menghabiskan banyak waktu diruangannya, bukan karena pekerjaannya yang belum selesai, tetapi baginya pulang cepat atau lambat tidak ada bedanya. Ia tetap sama-sama merasa bosan dimana pun berada. Dalam ruangannya, ia membuka laptop dan membuka materi seminar beberapa waktu lalu dalam power pointnya. Hanya sekedar dibuka, sama sekali tidak fokus memahaminya. Dalam pikirannya masih seputar Erland dan Kayana. Ternyata sesakit ini menahan perasaan dan rindu. Ketika hidupnya terasa lengkap dengan kehadiran dua orang spesial itu. Yang dia kira bahwa Tuhan megirimkan mereka untuknya. Kini melamun adalah hal yang paling digemari oleh Dion. Berdiam diri dengan pikiran yang pergi entah kemana. Sampai-sampai suara ketukan pintu di luar sana tidak membuat Dion sadar dari lamunannya. Karena merasa tidak mendapatkan respon, seseorang langsung membuka pintu yang lupa tak dikunci. “Di, lo nggak kenapa-napa kan?” Barra yang muncul dari balik pintu merasa sedikit khawatir dengan sahabatnya. Melihat raut wajah Dion yang kusut, rasanya ikut tidak nyaman. “Eh lo, Bar? Udah selesai visitenya? Hoaheem,” Dion kelihatan lelah, menutup mulutnya menahan untuk tidak menguap dan sedikit memijat tengkuknya. “Udah barusan dari VVIP dapat pasien ngamuk. Lo kenapa kayak capek banget, Bro?” “Nggak sih, kurang tidur aja kayaknya.” “Ada kerjaan apa sih memangnya? Sampai kurang tidur gitu?” “Nggak ada kerjaan apa-apa sih. Cuma akhir-akhir ini gue sering banget susah tidur, Bar.” “Ada masalah apa?” “Ehm, nggak ada masalah apa-apa juga kok.”’ “Apa sih yang lo sembunyikan dari gue, Di. Betah banget lo nyimpen masalah sendiri?” “Apaan sih lo, Bar. Gue baik-baik aja dan nggak ada masalah apa pun juga.” “Bener?” “Iya.” “Yakin?” “Iya, lo tenang aja deh!”’ “Lalu kenapa semua orang di rumah sakit yang kenal sama lo, mulai dari pasien, tukang parkir sampai kepala rumah sakit nanyain perubahan lo ke gue? Gue bingung banget jawabnya tahu nggak sih? Semua orang ngerasa lo bukan Dion yang mereka kenal dulu. Nggak mungkin kan lo berubah tanpa ada alasan. Dan gue sebagai sahabat lo ngerasa bodoh banget, sama sekali nggak tahu apa yang lagi lo alamin sampai-sampai gue sendiri ngerasa nggak bisa jadi sahabat yang baik. Nggak bisa jadi sahabat yang mampu jadi tempat lo bercerita. Gue yang kebangetan nggak bisa memahami lo atau lo yang keterlaluan nggak percaya sama gue? Nggak ngerti gue sebenarnya ada apa? Lo masih mau anggap gue sebagai sahabat nggak sih, Bro?” Tanpa sadar, Barra masih enggan duduk menyejajarkan dirinya dengan Dion. Ia masih berdiri tepat di depan meja kerja Dion. Entah menunggu apa untuk Dion menjawab segerombolan pertanyaan Barra. Yang pasti ia masih terdiam, tidak ada keinginan menyanggah sahabatnya itu. Ia hanya meletakkan kedua telapak tangannya di kepala, lalu memijitnya. Ada rasa pening yang hinggap disana. “Ma.. maaf, Bro, gue jadi emosi gini. Lo ingat persis kan berapa lama kita sahabatan? Lo masih sungkan aja cerita ke gue? Oke, Di, gue tahu gue emang nggak selamanya bisa bantu lo, nggak selamanya bisa kasih lo solusi dari semua masalah-masalah lo, tapi yang harus lo tahu gue bisa kasih lo dukungan sebisa gue. Kalau pun lo butuh apa pun gue bisa usahain, semampu gue.” “Gue Cuma nggak tahu apa yang seharusnya gue lakukan, Bar.”’ “Tentang?” “Tentang hidup gue ke depannya.” “Gue belum paham. Oke lo bisa cerita dari awal.” “Percuma, Bar. Gue sendiri juga nggak tahu apa yang harus gue ceritain ke lo.” “Hei, benar apa yang mereka bilang, perubahan lo drastis banget, Di.” “Kayaknya gue udah frustasi deh, Bar.” “Apa ada hubungannya sama Kayana?” Barra bertanya dengan lirih dan hati-hati, takut pertanyaan ini membuatnya tersinggung. Ditariknya kursi yang ada di meja depan, ia duduki dan kali ini ingin sekali ia mendengar langsung dari bibir Dion tentang apa yang dia alami hingga membuatnya frustasi. “Semua tentang Kayana dan Erland, Bar. Hidup gue yang baru saja indah, sekarang semuanya Cuma bisa gue rindu. Mereka pelengkap hidup gue Bar, mereka yang saat ini gue cinta, yang pengen gue jaga. Tapi keadaan membuat kami jauh, mama gue menolak Kayana. Dan disaat gue berani memperjuangkan mereka. Kayana orang baik, bar. Saking baiknya dia nggak mau menjadikan gue anak yang durhaka, dia memilih mundur dalam perjuangan yang belum sempat gue lakuin. Dia nggak mau gue melawan mama gue. Gue ngerasa berada pada posisi yang sama-sama sulit memilih. Mama gue sangat penting untuk hidup gue, sedangkan Kayana adalah perempuan spesial pelengkap hidup gue, Bar. Gue nggak yakin bakalan ketemu dengan cinta lain kalau gue gagal bersatu dengan Kayana.” “Itu kan yang gue sempat tanyain ke lo di awal lo cerita tentang Kayana? Gue udah sempat mengkhawatirkan ini, Di. Yang gue ragu adalah restu orang tua lo.” “Lo benar, Bar. Mama gue yang susahnya minta ampun, gengsinya luar biasa. Beda kalo sama papa, dia justru senang, dukung gue banget. Karena papa gue hafal banget siapa Kayana, papa gue juga tahu banget gimana rasa sayangnya orang tua Julio terhadap Kayana. Sampai sekarang pun mereka begitu sayang dan peduli dengan dia. Itu berarti Kayana memang punya image yang baik kan di keluarga besar gue? Cuma mama gue nih yang hatinya ketutup entah apa. Heran banget gue.” “Mama memang orang tua yang paling peka dan selektif dengan anaknya, Bro. Ya rasa itu mungkin wajar, wajar banget. Orang tua mana sih yang nggak pengen anaknya bahagia, sukses, punya kehidupan yang sempurna, punya pasangan yang baik. Cuma mungkin mama lo terlalu mikirin egonya dibanding kebahagiaan anaknya. Karena menurut mereka, semua yang mereka pikirkan, yang mereka mau sampai yang mereka impikan itu adalah yang terbaik. Padahal itu juga belum tentu baik juga kan?” “Itu yang saat ini lagi gue pikirkan, Bro. Gimana caranya bikin mama gue jadi sadar, kalau status sosial itu nggak penting. Apa sih yang membuat mama gue jadi kayak gini?” “Sabar ya, Bro. Mungkin saat ini yang bisa lo lakuin hanyalah doa, kalau usaha lo udah maksimal.” “Gue juga ngerasa belum berusaha secara maksimal, Bar. Karena Kayana juga nggak mau membuka hati barang sedikit pun buat gue. Seditaknya dia masih mau berada disamping gue, melihat perjuangan gue dan menemani gue. Karena bagi gue ada atau tidak ada restu dari mama, gue akan tetap mencintai dia, Bar.” “Yah, gue tahu gimana dalamnya rasa cinta lo ke Kayana. Selama gue kenal sama lo, baru Kayana yang bisa bikin lo frustasi kayak gini. Mau banyak pilihan di luar sana juga nggak ada yang buat lo jatuh hati. Lah, sekarang sekalinya lo nemu cinta malah udah begini aja jalannya. Padahal jujur nih, gue senang banget lihat lo semangat tiap kali ngomongin Kayana. Karena gue tau, Kayana memang tipe lo banget.” “Iya, Bro, gue salut banget sama Kayana. Dulu yang gue kenal dia dimanja-manja sama Julio, sekarang keadaannya berubah. Kayana adalah wanita manja dimasalalu dan berubah menjadi wanita tangguh yang memesona sekarang. Nggak mudah, Bro, berada di posisi dia. Kalau seandainya aku yang jadi dia, belum tentu bakalan sekuat itu.” “Itu juga karena dukungan lo juga, Bro.” “Gue Cuma dikit, Bar. Yang jadi penyemangat utama dia adalah Erland dan mamanya. Gue yakin, sekarang dia berjuang mati-matian juga demi mereka.” “Kayana emang wanita hebat yang pantas lo perjuangin, Bro. Saran gue sekarang lo jangan kayak gini dong, semangat. Justru lo harus banyak-banyak belajar tegar dari Kayana. Jangan Cuma gara-gara gini aja lo jadi orang asing sekarang. Kalau lo masih pengen berjuang ya tunjukkan perjuangan lo.” “Sebenarnya bukan Cuma ini aja yang gue pikirkan, Bro, ada satu masalah yang menurut gue ini justru bakalan panjang.” “Tuh kan, ada masalah banyak gini lo nggak cerita ke gue? Bener-bener deh nih orang. Hm, apa lagi sih ini?” “Ada laki-laki lain yang saat ini ngedeketin Kayana.” “Serius lo?” “Iya, serius banget gue.” “Siapa?” “Namanya Aksa, dia pemilik hotel Noe yang tempo hari datang ke florist buat nyari tanaman hias.” “Terus, Kayana suka juga?” “Menurut pengakuannya sih, Kayana nggak suka. Dia justru marah karena merasa diusik oleh orang asing, mana mungkin dia menerima cinta orang yang baru dia kenal.” “Terus yang bikin lo ngerasa bahwa masalah ini bakalan panjang itu gimana?” “Jadi dia terobsesi sama Kayana, sampai-sampai dia bakalan melakukan segala cara biar bisa dapatin Kayana.” “Udah gila tuh orang ya?” “Makanya yang justru gue pikirin itu, Bar. Gue nggak tenang dan nggak bakalan tega Kayana jatuh pada orang yang salah, apalagi dengan Aksa yang sejak dari awal gue udah curiga dia punya niat nggak baik sama Kayana. Untuk sekarang oke, Bar, gue mungkin nggak apa-apa kalau sampai nggak bisa nikahin dia. Tapi gue bakalan ngerasa bersalah seandainya Aksa benar-beanr bisa dapatin Kayana dengan cara yang nggak bisa kita nalar. Karena gue yakin, nggak akan mudah dapatin cinta Kayana. Dia bukan tipe orang yang mudah jatuh cinta.” “Maksud lo, cara yang nggak nalar itu, main dukun gitu, Bro?” “Yah, kemungkinan. Bisa jadi juga kan? Lalu apa kalau nggak dengan cara itu?” “Ya nggak tahu juga sih. Cuma hari ini masih aja orang yang punya cara kayak gitu.” “Masih banyak kali, Bro, orang yang imannya lemah juga bakalan mudah kena hasutan setan.” “Hih, jangan sampai lah, Di. Kasihan banget gue sama Kayana. Pasti dia juga nggak bakalan nyaman dengan keadaan dia sekarang. Terus rencana lo apa setelah ini?” “Gimana ya, gue sebenarnya pengen banget ada di sampingnya terus biar bisa jaga dia. Tapi dia sedang nggak mau kalau gue sering-sering kesana, Bar. Hampir dua minggu aku nggak ketemu sama Erland. Demi Tuhan gue jenuh banget. Kangen banget gue sama ponakan gue.” “Hm, sabar bro. Ternyata masalah lo berat juga, pantesan lo kayak mayat hidup tahu nggak. Hidup tapi nggak ada napasnya.” “Nah, persisnya kayak gitu deh pokoknya. Hidup gue tu kayak datar aja gitu, jadi mau selesai target apa pun juga kalau nggak ada hal yang bikin gue semangat, itu sama aja nggak ada gunanya. Mau buat siapa?” “Ya tapi jangan sampai frustasi gitu lah, Bar. Hidup lo juga tetap harus berjalan.” “Entahlah, bro. Gue udah kehilangan semangat kali ini. Gue butuh waktu buat menerima semuanya. Bar, lo bisa bantu gue nggak?” “Apa? Kalau gue bisa pasti gue bantu.” “Gue pengen nyari profilnya Aksa, sebenarnya latar belakang laki-laki itu gimana sih?” “Bisa, kita bisa nyari info tentang dia. Nanti coba gue cari-cari info lewat teman-teman gue.” “Thanks, Bro. Gue butuh itu banget.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN