41

2387 Kata
“Kamu Udah kenyang kan sekarang, Shas?” Kayana memakai lagi seatbeltnya, gadis di sampingnya juga melakukan hal yang sama seraya mengangguk dan tersenyum dengan riangnya. Setelah memenuhi permintaan Shasy yang sedari tadi lapar, ia merasa sudah lega keluar dari restoran. Saatnya mereka melanjutkan perjalanan menuju rengganis. Hanya perlu beberapa hitungan menit untuk sampai disana. Karena itu Kayana lebih suka melaju dengan kecepatan sedang. Ia memang tidak punya keberanian untuk kebut-kebutan di jalanan. Ia memilih berangkat lebih awal ketimbang harus mengejar waktu. Itu lebih aman menurutnya. Di dalam mobil, Kayana dan Shasy masih saling bercerita dengan asyiknya. Beruntung bagi dia memiliki orang-orang baik di sekelilingnya. Dari mereka, ia mendapatkan dukungan yang luar biasa dan setidaknya karena mereka juga ia bisa dengan lega bercerita. Kayana bukanlah tipe orang yang pandai menyembunyikan perasaan dan masalah yang sedang ia hadapi, jadi sekalinya ia mengganggp orang itu nyaman maka ia akan berbagi cerita tentang apa yang ia rasakan. Karena saking senangnya, perjalanan ke rengganis jadi terasa begitu cepat. Hingga sampai disana pun mereka berdua masih dengan canda tawa, seperti tidak ada habisnya. Sejak Dion merekomendasikan rengganis pada Kayana untuk menjadi suplier bunga di tokonya, tempat ini seperti menjadi rumah ke dua setelah red flo. Dalam satu minggu mungkin hanya dua atau tiga hari saja ia tidak kesana. Permintaan bunga yang datang ke red flo, membuat Kayana jadi lebih sering datang juga ke rengganis. Saat berada disini, Kayana selalu mendapatkan perlakuan baik dari pemilik rengganis, bahkan ia sudah dianggap seperti anak sendiri. “Wah, ada tamu agung rupanya. Ayo, Mbak Kay, silahkan masuk.” Abah Surya, yaitu pemilik dari rengganis yang dari tadi sudah menunggu kedatangan Kayana. Bapak itu nampak sangat bahagia melihat Kayana yang datang dengan Shasy. “Terima kasih, Bah. Abah sehat?” Ia pun kemudian masuk ke pendapa depan setelah dipersilahkan masuk oleh pemiliknya. Lalu duduk di kursi kayu yang panjang dengan pliturannya yang mengkilap. “Alhamdulillah, abah sehat. Semua pesanan Mba Kay sudah disiapkan sama anak buah abah, jadi tinggal dimasukkan mobil saja. Oh ya, Mba Kay sama adik ini mau minum apa? Biar dibuatkan.” “Nggak usah repot-repot, Bah. Kay nggak bisa lama-lama disini, sudah ditunggu EO di hotel.” “Nggak mau ngeteh dulu sebentar sambari ngobrol-ngobrol, Mba Kay?” “Lain kali saja, Abah.” “Baik, sebentar ya. Biar abah panggil anak buah abah, sekalian dibantu bawa ke mobil.” Laki-laki tambun itu pun memanggil anak buahnya untuk segera memasukkan pesanan Kayana ke dalam mobil. Kayana tersenyum menyusul Surya menuju mobilnya. Ada tiga orang karyawan yang dengan semangatnya mengusung bunga-bunga itu. “Gimana kabar Dion, Mba Kay? Sudah lama dia nggak kesini.” Surya dengan tiba-tiba menanyakan Dion, membuat hati Kayana bergetar setiap kali mendengar nama itu. Dengan membuang putung rokoknya ke tempat sampah setelah hisapan terakhirnya, ia menunggu jawaban Kayana. Jadi ingat, ketika Barra menceritakan Abah Surya yang tidak mau berhenti merokok. “Mas Dion baik, Bah. Mungkin sedang sibuk di rumah sakit.” “Lho, kok mungkin? Memangnya Mba Kay sendiri jarang ketemu ya?” “Hm, sedang jarang, Bah. Kami sama-sama sibuk, jarang sekali ada waktu untuk bertemu.” Kayana sedang berbohong kali ini, ia begitu sadar. Namun itu akan lebih baik ketimbang harus jujur dengan apa yang terjadi. Sebab ia tidak bisa menceritakan semuanya pada sembarang orang. Alasan berbohong ini juga agar ia tidak berlama-lama disini, karena masih ada satu acara lagi setelahnya. Sebenarnya kebohongan ini membuatnya tidak nyaman, tapi apa yang akan ia jawab jika bukan itu. “Mba Kay, sesibuk apa pun pekerjaan kalian, pesan abah berilah ruang dan waktu untuk saling bertemu. Jangan biarkan sebuah hubungan kaku dan pecah hanya karena keegoisan kalian masing-masing. Sebuah hubungan akan lebih baik jika saling membutuhkan, saling mengerti dan memberikan dukungan. Meskipun sibuk yang luar biasa, jika kalian sama-sama mempunyai rasa rindu pasti ada waktu untuk bertemu. Waktu yang pastinya bisa diatur dengan santai dan berkualitas. Maaf lho ini, bukannya Abah mau ikut campur. Kalian orang-orang baik, Abah tahu persis itu, karenanya Abah pengen yang terbaik untuk kalian. Apalagi jika sesegera mungkin menikah, perjalanan yang indah jika saling mencintai, abah ikut senang” “Iya, Bah. Terima kasih nasihat dan doanya, Kay senang sekali dengan Abah yang peduli dan perhatian pada kami. Doakan yang terbaik untuk kami, Bah. Semoga kami baik-baik saja.”’ “Pasti, Mba Kay, selalu abah doakan. Yang penting saling menjaga kepercayaan kalau mau awet hubungannya.” Tapi ini lain, Bah. Bukan itu masalahnya, untuk saling percaya mungkin kami lebih dari bisa. Menjaga waktu untuk saling bertemu juga kami rasa, kami sanggup-sanggup saja. Tetapi melawan restu, bukankah itu sulit? Bukankah itu sakit? Dan aku sendiri tidak akan sanggup, aku memilih untuk mundur dan menyerah. Kayana sibuk menjelaskan dalam hati, untuk siapa? Untuk abah jika abah bisa membaca batinnya. Perbincangan tidak berlangsung lama, mereka harus segera pamit setelah semua pesanan masuk ke dalam mobil. Itu salah satu cara Kayana agar tidak terlalu banyak membahas tentang hubungannya dengan Dion. Untuk kali ini, ia sedang tidak ingin terfokus dengan kisah asmaranya. Moodnya sedang baik, ia tidak ingin merusaknya dengan hal-hal yang kurang menyenangkan. Jarak antara rengganis dan Hotel U yang dituju memakan waktu sekitar setengah jam. Dan beberapa menit yang lalu, salah seorang team EO sudah mengirimi pesan agar tepat waktu sampai disana. Tidak masalah bagi Kayana, karena ia masih punya waktu yang longgar. Bagi Kayana pekerjaan sebagai tukang bunga, begitulah ia menyebutnya sendiri adalah pekerjaan yang menyenangkan. Kecintaannya dengan bunga membuat aktifitasnya bukan hanya pekerjaan, melainkan hobi yang bisa selalu tersalurkan. Beruntung ia membuka usaha dibidang ini dan Dion lah pencetusnya. Dion. Ya masih selalu tentang Dion yang menjadi sebab ia bisa kesana-kesini dengan mengusung bunga-bunga cantik. Bisa bertemu dan berinteraksi dengan banyak relasi, kerjasama dengan team dan melakukan negosiasi. Sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Sungguh ini adalah hal yang luar biasa dengannya. Kayana mengambil ponsel dari dalam tas begitu sampai di loby sebuah hotel U. Berniat untuk menghubungi nomor melalui pesan yang tadi sempat masuk di aplikasi hijaunya. “Halo, Kak. Saya sudah sampai di loby. Bisa kirim teamnya untuk mengambil barang di mobil saya.” “Baik, Bu Kay. Saya dan rekan saya segera kesitu.” Kayana dan Shasy menunggu sambil duduk di sofa lobi yang cukup luas. Keduanya sibuk dengan ponselnya masing-masing. Tanpa mengobrol dan saling sapa meskipun duduk dengan bersandingan. Entah ada angin apa, tiba-tiba seorang lelaki duduk di sofa yang sama, yang berada di hadapan Kayana. Memperhatikan Kayana dengan senyum yang manis, namun ia belum sadar bahwa ada seseorang yang tidak berkedip ketika melihat perempuan di depannya. Dari ujung kaki hingga ujung rambut tanpa terlewati. Ternyata Shasy lebih dulu sadar akan kehadiran lelaki itu. Ia tahu betul lekaki yang sengaja melayangkan tatapan tajam pada Kayana itu siapa. Dipegangnya pundak owner red flo itu dengan lembut, seolah memberikan kode. Kayana lalu menoleh, mengabaikan ponselnya dan menatap Shasy yang memainkan kepalanya, menggelengkan ke arah depan, agar Kayana mengikuti arah gelengan kepalanya. Dan ketika Kayana menemukan isyarat Shasy, ia pun kaget dan terkejut melihat siapa yang ada di depannya. Seketika moodnya rusak, bagaimana mungkin ia bertemu dengan laki-laki itu. Ingin rasanya ia pergi dan menghilang dari tempat itu, namun ia sadar bahwa ia punya kepentingan disana. Dan menunggu team EO terasa sangat lama karena kehadiran laki-laki ini. “Siang, Kay. Sepertinya kita memang berjodoh ya, nggak sengaja ketemu disini. Hm, atau kita memang sudah ditakdirkan untuk saling datang kesini ya?” ucap lelaki yang mengenakan jas warna navy dengan kemeja garis-garis kecil berwana biru muda di dalamnya. “Basi.” Kayana tiba-tiba berubah menjadi perempuan jutek dan galak dengan lelaki yang ada di depannya. Lelaki itu tersenyum kecut, merapikan jasnya dan memajukan posisi duduknya agar semakin dekat jarak matanya dengan mata si perempuan pujaannya itu. “Apa salahku, Kay, kamu jadi galak begitu denganku. Oh iya, ada acara apa disini?” tanyanya masih dengan nada dan suara yang lembut. “Bukan urusan anda, Tuan Aksa.” Tegasnya kata-kata yang keluar dari mulut Kayana. Aksa, laki-laki yang sudah membuatnya kesal dan marah. Yang dengan tanpa malu mengucapkan kata cinta padanya di depan karyawan-karyawannya. Dan bagaimana mungkin sekarang ia malah harus berhadapan lagi dengan lelaki menyebalkan itu. “Ya, mungkin saat ini belum menjadi urusanku. Tapi suatu saat nanti, semua yang menjadi aktivitas bahkan kebiasaan kamu akan menjadi urusanku.” “Apa maksud anda, Tuan? Jadi diam-diam Tuan mengikuti saya sampai ke hotel ini? Jangan macam-macam, Tuan. Saya bisa laporkan anda ke kantor polisi.” “Jangan GR dulu dong, Kay. Maaf aku sama sekali tidak mengikutimu, untuk apa? Bahkan aku sendiri juga kaget melihat ada perempuan cantik disini.” “Lalu kenapa Tuan sampai sini dan bisa kebetulan bertemu dengan saya kalau tidak membuntuti saya?” “Ha ha ha, Kay-Kay. Dengarkan aku ya, hotel ini milik Kakakku dan aku bisa dengan leluasa datang kesini. Jadi tidak mungkin aku mengikuti bahkan membuntutimu.” Kayana terdiam, merasa malu sudah menuduh Aksa seperti itu. Namun hatinya masih panas, merasa tidak nyaman bertemu dengan laki-laki itu. Untung saja orang yang ia tunggu pun datang. Itu tandanya Kayana tidak perlu repot-repot meladeni Aksa. “Maaf Bu Kay, lama menunggu ya?” “Oh, belum lama kok, Kak. Baik kalau gitu kita bisa langsung ke mobil untuk mengambil bunganya.” “Mari, Bu Kay.” Kayana berdiri, membuang muka di depan Aksa, namun tangan lembut itu kini sudah digenggam dengan sengaja oleh lelaki itu. Dan hal itu membuat Kayana menjadi terhalang untuk maju dan jalan keluar. Dengan terpaksa ia pun duduk kembali. “Tolong lepaskan, saya tidak punya waktu untuk anda.” “Ayo lah, Kay. Kita ngobrol dulu.” “Apakah anda ini tidak bisa melihat kalau saya ada perlu dengan mereka?” ucapnya sambil menunjuk tiga orang team dari EO yang sudah siap untuk keluar loby. “Aku tahu tapi aku tidak peduli karena ini juga tidak ada urusannya denganku, Kay.” “Tapi anda mengajak bicara saya yang saat ini sedang ditunggu mereka, anda paham kan?” “Tinggal katakan pada mereka untuk menunggumu, Kay. Mudah bukan?” “Ya Tuhan,” Kayana mulai kesal dengan Aksa yang memliki sifat suka memaksakan kehendak orang lain itu, “Shas, kamu antar mereka ke mobil ya. Ini kuncinya, saya segera menyusul setelah ini.” Kayana menyerahkan kunci mobil ditangannya, Shasy hanya menggangguk meski sebenarnya tidak rela meninggalkan bosnya berdua dengan Aksa di tempat itu. Namun karena profesionalisme dalam sebuah pekerjaan, maka ia menurut saja. Membiarkan bosnya disana tanpa ia temani. “Nah, bagus lah. Akhirnya kamu mau juga menemaniku mengobrol disini. Kamu bilang, biasanya kamu tidak pernah ikut mengantarkan barang sampai ke lokasi. Tetapi sekarang kenapa kamu repot-repot datang kesini untuk mengantarnya sendiri, Kayana? Sespesial apa EO ini sampai kamu rela datang sendiri dan kenapa tidak berlaku padaku? Atau memang kamu hanya berbohong padaku, kalau sebenarnya kamu akan selalu ikut mengantarkan pesanan bungamu sampai di tempat? Dan hanya padaku aturan itu tidak berlaku? Sebegitunya kamu bersikap tidak adil padaku, Kay?” “Maaf Tuan ini jangan sembarangan bicara ya. Saya kira penjelasan saya tidak penting untuk anda. Jadi tolong lepaskan tangan saya atau saya akan berteriak dan anda akan malu disini.” Kali ini Aksa menurut dan jurus jitu Kayana sangat tepat. Aksa pasti tidak akan mempermalukan dirinya sendiri dengan perbuatannya yang begitu konyol itu. Dengan cepat ia melepaskan tangan putih dan mulus milik Kayana. Kayana sedikit merintih, memegang pergelangannya yang merah akibat genggaman erat Aksa tadi. Ada sedikit penyesalan dari diri Aksa karena sudah membuat tangan Kayana memerah. “Maafkan aku, Kay. Aku nggak bermaksud ingin menyakitimu, Demi Tuhan.” “Jangan bawa-bawa nama Tuhan hanya untuk menutupi niat burukmu itu, Tuan.” “Aku tidak mempunyai niat buruk padamu, Kay. Aku hanya ingin sebentar saja mengobrol dengan kamu, dan kurasa hanya dengan cara menarik tanganmu, kamu mau tetap tinggal sejenak duduk disini. Hanya itu.” “Tapi itu sangat menyakiti saya, kenyataannya tangan saya sakit karena anda, Tuan Aksa, paham anda?” “Baik lah, aku mohon maaf. Tapi kumohon, beri aku waktu untuk bicara padamu.” “Mau bicara apa? Semua sudah cukup dan saya sudah menjawab semua yang anda ucapkan kemarin. Apa itu belum cukup?” “Belum, kamu belum tahu kalau aku benar-benar tertarik dengan kamu pada pandangan yang pertama. Ku mohon terima lah aku, kita bisa membesarkan anakmu sama-sama, Kay.” “Cukup, saya tidak butuh itu. Saya bisa membesarkan anak saya sendiri. Jangan juga sok perhatian dengan anak saya. Saya rasa sudah cukup, tolong jangan ganggu saya, Tuan. Saya sudah ditunggu relasi saya.” “Aku tidak menggangumu, Kay.” “Lalu apa ini, Tuan?” “Aku hanya ingin memperjuangkan cintaku demi mendapatkan kamu. Aku ingin menikahimu.” “Tuan Aksa, bagaimana anda bisa yakin dengan perasaan anda yang anda anggap itu cinta, sedangkan bertemu dengan saya saja baru berapa kali? Sesingkat itu dan anda anggap itu cinta? Sepertiny anda harus benar-benar paham dengan diri anda sendiri.” “Aku sudah cukup paham dengan diriku sendiri dan dengan berbagai rasa dalam hatiku. Ini memang cinta, rasa ketertarikan pada dirimu yang dengan tujuan ingin memilikimu seutuhnya, perempuan paling cantik yang pernah aku temui.” “Stop, Tuan, stop, jangan buat saya semakin tidak nyaman. Tolong berhenti untuk mengulang-ulang pernyataan anda. Saya merasa terganggu dan jangan paksa saya untuk menerima anda.” “Itu berarti kamu juga jangan memaksaku untuk berhenti mencintaimu.” “Anda ini apa-apaan sih? Itu semua tidak akan mempengaruhi saya, saya akan tetap pada pendirian saya, saya tidak bisa menerima cinta singkat anda. Saya rasa anda salah orang mengungkapkan rasa itu.” “Dan aku juga akan tetap pada pendirianku, mengejar cintamu.”’ “Dasar lelaki gila, suka memaksa. Maaf, saya harus pergi.” Kayana pun berdiri, cepat-cepat ia ingin menyingkir dari laki-laki itu, namun baru saja melangkah beberapa saja Aksa memanggilnya lagi. “Kay, mohon dengarkan aku lagi.” Kayana menoleh dengan muka sengit, “Sekali lagi anda memanggil saya, saya akan teriak” ancamnya untuk yang kedua kalinya. Aksa menyerah, memukulkan tangannya pada sofa dengan sangat kasar. Dan membiarkan Kayana melenggang keluar dari loby. “Baik, Kay. Saat ini kamu bisa saja lolos dariku. Tapi lihat saja nanti akan aku bikin kamu bertekuk lutut di depanku untuk mengejar cintaku. Bukan Aksa namanya jika tidak bisa mendapatkan cintamu.” Dengan wajah yang berapi-api, Aksa lalu berdiri dan masuk ke dalam hotel menuju rungan kakaknya. Masih dengan kesal dan marahnya, sesekali ia mengacak rambutnya secara asal. Aksa frustasi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN