Dia tidak bisa jika hanya berdiam diri terlalu lama di rumah, harus dengan banyak aktifitas agar tidak terfokus pada semua tentang Dion. Untung saja, red flo semakin hari semakin ramai, banyak para pengunjung baru yang datang karena awlanya begitu tertarik dengan iklan yang diunggahnya di media sosial. Kayana memang selalu mengutamakan kualitas, karyawan yang ramah-ramah, cekatan dan pintar. Kualitas bunga yag bermacam, selalu fresh, harga juga masih terbilang lebih murah dibandingkan florist lain. Itu yang membuat para pembeli memilih red flo menjadi florist langganan.
Kayana ada agenda di luar hari ini, yaitu mengambil bunga ke rengganis dan mengantarnya ke hotel. Kayana sudah ada kontrak dengan event organizer yang tempo hari datang ke red flo. Masih ada waktu sekitar dua jam lagi, baru Kayana akan jalan ke rengganis dulu. Dan dua jam masih cukup untuk Kayana merangkai buket, menyelesaikan beberapa orderan yang masuk kemarin dan tadi pagi.
Dengan style femininenya, Kayana selalu tampil cantik dan kalem. Rambut blonde sebahu, lipstik mate warna nude, blush on tipis dengan bedak natural membuat owner red flo ini menjadi terlihat lebih muda dari umurnya.
Tangan lincah Kayana begitu luwes menghias bunga-bunga menjadi buket. Bukan dari bakat yang membuatnya menjadi bisa, tapi awalnya karena terbiasa dan terhimpit oleh keadaan. Hanya dengan waktu kurang lebih empat puluh lima menit, sebuah hasil karya yang cantik dan maksimal. Dengan sangat bangga ia perlihatkan pada Shasy yang saat itu tengah menyelesaikan satu buketnya juga. Tadi mereka membuatnya dengan waktu yang bersamaan dan Kayana bisa dengan lebih dulu selesai.
“Tara, sudah rapi dan cantik. Gimana nih Shas, cantik atau cantik parah?” pamer Kayana pada Shasy, sambil mengangkat buketnya dengan nuansa biru putih.
“Parah banget ini sih.”
“Ayo dong, Shas jangan kalah sama saya bikinnya.”
“Ya ampun Bu Kay, kalau nanti saya lebih pintar dari Bu Kay bisa-bisa nanti saya buka florist sendiri. Bu Kay siap-siap Shasy saingi ya!”
“Ha ha ha, jangan dong!”
“Ya namanya juga owner, jadi harus lebih menguasai dong Bu.”
Mereka berdua terkekeh. Namun semahir apa pun Kayana menyembunyikan kesedihan, tetap saja Shasy bisa melihat ada yang beda dengan bosnya itu. Tertawa pun seperti ada yang dibuat-buat. Shasy memandang dengan heran dan penasaran. Ada senyum getir di bibir berwarna nude itu. Ingin sekali rasanya melihat Kayana ceria seperti pada awal bertemu dulu. Kayana yang penuh dengan semangat, ceria, tawa dan lincah. Shasy semakin bersemangat menghias buketnya, sesegera mungkin ia ingin cepat selesai, lalu ingin mencari cara agar Kayana sedikit terbebas dengan beban hidupnya. Nah yah, beberapa detik kemudian buketnya selesai juga dan ia pastikan ini tidak kalah cantiknya dengan hasil karya Kayana tadi.
“Wa, akhirnya selesai juga, nggak begitu lama kan jaraknya sama Bu kay tadi?”
“Iya deh iya, pokoknya kamu karyawan andalan saya deh, Shas. Kalau gitu kamu siap-siap dulu, bentar lagi kita jalan ya.”
“Oke, Bu Kay, tinggal nyamber tas aja udah cukup kan? Berangkat Sekarang aja yuk, Bu.”
“Semangat banget sih tumben?”
“He he, sambil kita mampir kemULGana gitu biar fresh, ya Bu! Sekali-kali lah.”
“Dih, gaya banget deh. Emang mau mampir kemana? Makan siang aja ya kalau gitu.”
“Nah, cocok.”
Shasy berlogat medok seperti logat jawa ketika mengucap kata cocok. Gadis ini memang selalu bisa membuat Kayana tertawa karena tingkahnya. Lalu Shasy menyimak apa yang Kayana bicarakan, ngalor ngidul seputar acara hari ini. Tanpa berkomentar apa pun selain kata ya. Menjadi karyawan yang baik, itu yang selalu Shasy inginkan. Karena itu sebisa mungkin ia selalu patuh dengan Kayana. Juga selalu siap apa pun yang Kayana perintahkan asalkan masih di jam kerja. Meski pun selama ini, Kayana juga tidak sesuka itu memerintah karyawannya. Ia lebih senang bekerja secara team, pekerjaan selalu ingin ia selesaikan secara bersama-sama. Meskipun Kayana adalah ownernya tetapi ia tidak ingin sok-sokan menjadi seorang bos.
Shasy memanfaatkan waktu menunggu Kayana dengan iseng-iseng mengunggah gambar di media sosial. Dengan bahasa iklan yang menarik dan dengan bahasa periklanan yang mengikuti jaman. Hanya dengan beberapa menit saja, gambar-gambar yang Kayana buat cukup menarik pelanggan. Itu sebabnya, Shasy sedari tadi tertawa sendiri tanpa peduli dengan orang-orang yang ada disekelilingnya. Kayana yang saat itu baru saja keluar dari ruangannya untuk mengambil tas dan merapikan dandanannya, terlihat mengerutkan dahi tanda keheranan melihat Shasy yang tersenyum-senyum sendiri.
“Tuh kan dia senyum-senyum sendiri. Kalau senyum bagi-bagi dong Shas, pelit banget sih?” ucap Kayana menghampiri Shasy di meja kasir.
“Hi hi hi, nggak gratis lho Bu Kay.”
“Gampang, nanti saya beliin teh botol, cukup kan?”
“Cukup, asal beliinnya satu truk biar bisa dijual lagi.”
Benar saja, Kayana bisa dengan mudahnya tertawa karena Shasy.
Kayana menyempatkan diri untuk berpamitan pada kedua karyawannya yang lain sebelum akhirnya mobil milik Kayana melesat jauh. Mobil yang begitu penuh kenangan, barang itu dibeli oleh Julio dengan hasil menabungnya selama tiga tahun belakang. Yang digadang-gadang oleh Julio sebagai kado ulang tahun pernikahan mereka. Mobil yang tidak akan pernah Kayana ganti, karena begitu berharganya kendaraan itu. Kayana jadi teringat sewaktu Julio menyuruhnya untuk latihan bisa menyopir mobil sendiri, katanya jika suatu saat nanti Julio tidak bisa mengantarnya, Kayana bisa kemana-mana sendiri. Suatu hal yang jika lebih peka adalah sebuah firasat. Namun waktu itu hanyalah ia anggap obrolan yang biasa saja. Meski pun di moment-moment biasanya Julio tidak pernah tega membiarkan istrinya melakukan hal apa pun sendirian.
Di dalam mobil dan di tengah perjalanan, Shashy sering sekali menoleh ke arah bosnya. Memperhatikan cara ia menyopir dan raut wajahnya hingga sering sekali memegang tengkuknya. Ada rasa khawatir yang Shasy rasakan melihat pemandangan itu, khawatir kalau saja Kayana lelah.
“Bu Kay capek?” ia pun memecah kesunyian disela-sela perjalanan, menjadi obrolan pertama mereka.
“Kalau capek sih nggak begitu, Shas. Cuma leher kok rasanya pegel banget. Coba deh kamu bisa nyetir mobil ya, udah padti kamu yang nyetir.”
“Hm, iya ya Bu, maaf ya Shasy belum bisa mengemudi mobil tadi ,Bu Kay sehat kan tapi?”
“Sehat kok, emang saya kelihatan sakit ya?”
“Nggak gitu sih, Bu. Cuma ada yang beda aja menurut Shasy, maaf ya Bu kalau Shasy lancang.”
“Nggak kok, Shas. Biasa aja, aku sehat.”
“Tapi Shasy lihat ada yang Bu Kay sembunyikan, kayak sedang menahan sesuatu tapi entah apa itu.”
“Enggak ada, Shas. Beneran deh.”
“Bu Kay yakin nggak mau cerita?”
“Ya, begini lah Shas, seperti yang kamu tahu keadaan saya.”
“Masih tentang Bu Mei ya?”
“Iya, dan lebih tepatnya sedang ada masalah yang baru lagi.”
“Apa Bu?”
“Soal Aksa.”
Kayana lalu membuang pandangan ke arah depan dengan begitu kesal. Mengendarai mobil dengan laju yang tidak terlalu tinggi. Memang selain permasalahan dengan Mei yang belum juga selesai, cukup membuatnya sering sakit kepala ditambah lagi dengan Aksa yang kehadirannya sedikit mengganggu. Shasy mengerti, yang saat ini tengah dialami oleh Kayana bukanlah hal yang biasa. Banyak pikiran, hati dan psikis yang harus dikorbankan karena hal ini.
“Maaf ya, Bu. Nggak bermaksud untuk menguping pembicaraan Bu Kay dengan Pak Aksa kemarin. Tapi dengan jarak yang cukup dekat sangat memungkinkan untuk Shasy mendengar dengan jelas obrolan itu.”
“Ya, saya nggak mau menyalahkan kamu. Bukan kamu yang salah, tapi tempatnya yang tidak tepat untuk dia membicarakan tentang perasaannya.”
“Bu Kay jangan terlalu berat memikirkan ini, malah nggak usah dipikirin aja sekalian. Daripada bikin pusing, mending mikirin Erland sama red flo aja.”
“Pengennya sih gitu, Shas. Tapi ya tetap aja rasanya terusik kan? Ujung-ujungnya bikin sakit kepala.”
“Iya sih ya, Bu.”
“Saya memang tipe orang pemikir, Shas. Ada masalah sedikit aja rasanya udah penuh kepalanya. Apalagi yang susah dipecahkan, jadi pikirannya kemana-mana. Takut nanti begini, nanti begitu. Susah, Shas.”
“Shasy belum begitu paham tentang kisah-kisah kayak gitu, Bu. Jadi bisanya Cuma berperan sebagai pendengar aja, he he he. Tapi yang Shasy tahu Cuma satu, semakin kita menganggap masalah itu sulit, semakin sulit juga yang kita hadapi. Jadi sesulit apa pun masalahnya, anggap aja itu mudah, yakin kalau Tuhan lebih mudah membantu kita.”
“Hm, kamu ngutip kalimat dari mana? Kok bisa tepat gitu?”
Kayana menoleh Shasy yang begitu bersemangatnya bicara hal yang tidak biasanya. Dengan senyum yang menggoda, melihat tingkah Shasy bak motivator membuatnya terhibur.
“Hi hi hi, dari mana ya, Shasy lupa deh. Dari ustadz siapa ya, ah, nggak tahu ah Bu Kay. Yang jelas intinya begitu, makanya kalau pas ada masalah gitu dibawa mudah aja Bu Kay. Terus nongkrong aja di depan, sambil menikmati cokelat panas buatan Briyan. Beuh.. ilang pasti rasa pusingnya.”
“Eh, eh, kok jadi ngomongin Briyan sih? Hm, saya tahu nih. Kalian pacaran ya?”
Sangat mungkin Shasy salah tingkah saat itu, diliriknya gadis yang duduk disebelahnya. Pipinya yang memerah dan tiba-tiba saja gagu ketika ingin menjawab pertanyaan Kayana.
“Em, ki-ki-kita nggak..”
“Tuh kan, jadi salah tingkah gitu. Hayo ngaku! Diam-diam kalian ternyata pacaran ya?”
“Hih, kita nggak pacaran, Bu Kayana Evelin.” Shasy mencoba sedemikian lancarnya menjawab setelah tadi sempat gagal karena gagu yang dadakan.
“Terus apa? Kok tiba-tiba kamu ngomongin Briyan.”
“Bukan Briannya Bu Kay, tapi-“’
“Tapi apa?” belum juga ia selesai menjelaskan, Kayana sudah memotongnya. Terlihat puas sekali Kayana bisa menggoda Shasy, si gadis lucu dan imut.
“Makanya dengerin penjelasan Shasy dulu dong, Bu. Maksudnya yang Shasy omongin itu kan cokelat panasnya.”
“Oh, jadi bukan yang bikin nih?”
“Bukan Bu Kay, cokelatnya.”
“Terus kenapa harus cokelat panas bikinan Briyan? Hum?” godanya lagi, kali ini Kayana menyenggol centil bahu Shasy yang saat itu mengenakan kaos lengan pendek berkerah warna merah maron, kaos seragam karyawan red flo. Yang disenggol pun kaget, memanyunkan bibirnya menggaruk kepala secara acak tanda makin salah tingkah. “Hm, kepala kalau gatal nggak usah digaruk, nanti dikira Satpol PP lho, Shas, yang sukanya garuk-garuk.”
“Bu Kay nih, godain Shasy terus.”
“Lho, siapa yang godain? Kan saya Cuma nanya, kamu tinggal jawab yang benar. Tapi malah jawabnya dari tadi muter-muter penuh dengan teka-teki.”
“Bukan Shasy yang muter-muter, tapi pertanyaannya tuh yang berkode kurang jelas.”
“Ha ha ha, Shasy, Shasy, makin lucu tahu nggak sih kamu tuh? Ya udah coba jelasin, kenapa harus cokelat panas buatan Briyan?”
“Bukan harus buatan Briyan sih Bu. Ya udah Shasy ralat deh. Jadi kalau pengen menghilangkan rasa pusing karena masalah, coba deh Bu Kay menikmati suasana sore di cofee shop dengan cokelat panas, dijamin habis itu langsung fresh. Gitu Bu Kay.”
“Hum, jadi minum cokelat panasnya meskipun di cofe shop lain juga sama gitu? Pemilik cofee shop malah nongkrongnya di tempat lain gitu?”
“Bu Kay, nggak gitu konsepnya, Ya Tuhan kok jadi pelik gini sih Cuma gara-gara Briyan, eh, maksudnya cokelat panas.”
“Tuh kan, jadi latah terus. Ini jadi makin jelas nih kayaknya, bikin saya curiga aja. Pantesan semangat banget tiap kali saya suruh ke depan minta kopi, ternyata ada-ada ya.” Kayana terkekeh, dan Shasy justru semakin ngambek.
“Bu Kay kalau terus-terusan memberondong Shasy dengan pertanyaan dan pernyataan yang belum jelas gini, Shasy bisa-bisa nggak mau lagi deh disuruh ke cofee shop depan.”
“Eh, apa tadi? Kayak ada yang bilang berondong sama belum jelas deh? Maksudnya apa sih, Shas? Jadi hubungan kamu sama si berondong ganteng itu belum jelas? Ya kamu jual mahal mungkin, ah, padahal jelas-jelas si Briyan naksir lho sama kamu.”
“Bu Kay, apaan sih? Siapa juga yang bilang kayak gitu.”
“Ya kamu ngomongnya menjurus sih?”
“Bu Kayana aja yang suka nyambung-nyambungin, padahal kan nggak nyambung. Kebetulan aja ngomong gitu, jadi Bu Kay berfantasi aneh.”
“Nggak ada yang kebetulan, Shas, semuanya udah di atur sama Tuhan, jadi mungkin kamu tadi sedang di atur buat jujur sama saya kalau kalian pacaran. Hm, nggak sopan lho kalau kalian nggak minta ijin sama saya. Ha ha ha.”
“Lho, jadi harus pake ijin atasan dulu Bu Kay?”
Kayana semakin geli melihat ekspresi Shasy yang terlihat panik dan takut.
“Lho iya, makanya ijin dulu sama saya. Ayok ngaku sekarang!”
“Enggak Bu Kay, Shasy nggak pacaran sama Briyan, beneran deh.”
“Terus apa? Cuma saling suka gitu? Atau dalam tahap pendekatan, hm, kalau nggak sebenarnya Briyan udah nembak kamu tapi kamu menolak? Atau kamu belum kasih jawaban nih?”
“Ya Tuhan, ah tahu ah, capek ngejelasinnya. Terserah Bu Kay aja.”
“Bener nih terserah saya?”
“Iya, udah terserah Bu Kay.”
“Oke, kalau gitu nanti saya mau kasih tahu Briyan. Yang intinya, kamu juga suka sama dia, kamu jadi sering sebut nama dia, terus memuji cokelat panas buatan dia. Oke deal?”
“Eh, eh, bukan gitu maksud terserahnya, Bu Kay.”
“Hi hi hi, ya kan terserah saya. Apa aja dong berarti. Tenang aja, rahasia kamu terjamin selama saya yang pegang. Seperti kamu pegang juga rahasia saya. Gimana? Briyan anak baik kok, saya setuju kalau kamu sama dia.”
“Nggak mau komentar lagi deh, takut salah ngomong.”
“Yes, berarti kamu setuju.”
“Bu Kay, Shasy lapar.”
Kayana terkekeh untuk yang kesekian kalinya. Sepertinya Shasy memang benar-benar lapar, suara kerucukan dari dalam perutnya terdengar jelas di telinga Kayana.
“Ah, kamu. Kayaknya ini akal-akalan kamu deh, biar nggak bahas ini terlalu panjang.”
“Hiks, hiks, suwer deh, Bu Kay. Shasy lapar banget, mau pingsan jadinya.”