“Ma, Erland boleh masuk?”
Erland masuk ke dalam kamar Kayana dan terdengar mengagetkannya.
“Eh, anak Mama. Boleh dong, sini masuk sayang.”
Lucunya anak kecil ini, masuk dan meloncat ke ranjang. Lalu duduk bersila memandangi mamanya yang tengah merapikan baju. Kayana terlihat begitu sibuk, memilah-milah baju yang telah disetrika Bibi Ana tadi pagi. Menumpuknya rapi di almari pakaiannya.
“Ma, Erland kangen sama Om Dion.” Rengeknya pada Kayana, wajahnya dilipat, cemberut dan kedua tangannya menepuk-nepuk bantal yang tadi sempat dia ambil di belakang ia duduk.
“Oh ya?” ada rasa terkejut saat mendengar pengakuan Erland. Namun berusaha ia sembunyikan dan terlihat sesantai mungkin.
“Iya, Om Dion kok udah lama nggak kesini sih, Ma?” tangannya masih menepuk-nepuk bantal yang dibalut dengan sarung bantal bermotif senada dengan spreinya.
“Kata Erland kemarin, kalau Om Dion nggak kesini berarti sibuk kan omnya? Inget kan Om Dion pernah bilang kayak gitu?”
“Tapi ini udah lama banget lho, Ma. Nggak biasanya Om Dion begini.”
“Ya sabar sayang, mungkin Om Dion pasiennya banyak, Er.”
“Ma, emangnya Erland nakal ya, kok Om Dion udah nggak kayak dulu.”
“Eh, Erland anak baik kok, nggak pernah nakal. Cuma kan Om Dion kerja, sayang.”
Andai saja Erland tahu, Dion pun sangat merindukan saat-saat kebersamaan dengannya. Yang selalu ingin melihat wajah Erland, juga ingin menemaninya tumbuh besar.
“Tapi dulu meskipun kerja, Om Dion juga tetap kesini, Ma. Apa Om Dion udah nggak mau kesini lagi?”
“Ya nggak gitu, Er. Begini sayang, kesibukan Om Dion setiap hari kan nggak sama. Kadang sibuk, kadang banyak pasien, kadang ada acara lain atau Om Dion capek. Jadi nggak bisa sering kesini.”
“Tapi kan Erland kesepian kalau nggak ada Om Dion yang ngajakin main.”
“Sabar ya, besok pasti Om Dion kesini.”
“Kapan dong, Ma?”
“Ya nanti kalau Om Dion udah nggak sibuk.”
“Erland udah nggak punya papa, sekarang punya Om Dion, tapi jarang ketemu. Kenapa sih semua jadi pergi dari Erland? Terus Erland mainnya sama siapa? Apa benar kalau Erland nakal, sampai-sampai Tuhan ambil papa dari Erland, dan sekarang Tuhan menyuruh Om Dion buat jauh sama Erland.”
Ya, Erland selalu punya pemikiran yang tak terduga.
“Stsss, Erland sayang anak Mama. Erland nggak boleh bilang kayak gitu. Erland punya papa kok, tapi papanya harus istirahat lebih dulu, bobok dekat Tuhan. Dan Om Dion juga nggak pergi, tapi Cuma karena Om Dion sibuk aja. Erland jangan bilang gitu ya? Dan Erland harus ingat, Erland nggak pernah nakal, Erland anak pintar, baik dan bisa jaga Mama. Jadi bukan itu alasannya Tuhan melakukan ini semua, Er.”
“Lalu apa alasannya, Ma? Erland Cuma mau ketemu sama Om Dion sekarang, karena ketemu papa nggak mungkin bisa kan, Ma?”
“Sayang, alasannya Cuma satu karena Om Dion sibuk. Erland kan anak pintar, pasti bisa ngerti keadaannya kan? Sabar ya, pasti besok bisa ketemu lagi secepatnya. Ditunggu aja, ya.”
“Tapi kenyataannya Erland nggak bisa ketemu Om Dion terus nggak kayak dulu, Ma. Dulu setiap hari Om Dion kesini kan?”
Kayana hanya bisa menahan tangis, sedih rasanya melihat Erland kecewa seperti ini. Dan bukan hanya dia, tapi Kayana sendiri juga sebenarnya rindu dengan kebersamaan mereka seperti dulu. Sampai saat ini untuk menjawab pertanyaan Erland, Kayana harus lebih hati-hati dan sabar, sebab jiwa anak kecil memang tidak mudah puas dengan jawaban yang didapatnya.
“Erland sayang sama Om Dion?”
“Sayang sekali, Ma.”
“Sesayang apa?”
“Seperti Erland sayang sama papa.”
Kayana merinding, ternyata Erland memiliki rasa yang sama seperti rasa sayangnya ke Julio. Dan apa yang pernah ia ungkapkan tempo hari yang lalu adalah jujur dari hatinya.
“Erland sayang banget?”
“Iya, Ma. Sayang banget, Ma, apa bisa kalau Om Dion jadi papanya Erland?”
Kayana hanya diam, tidak bisa menjawab apa-apa. Ia peluk anak laki-lakinya erat-erat dan berusaha menahan tangisnya.
“Sayang, kita jalan yuk ke taman sambil beli es krim, ajak bibi dan oma.” Bujuk Kayana agar Erland lupa akan pertanyaanya.
“Mama belum jawab pertanyaan Erland.”
Namun cara Kayana kali ini gagal total, bahkan Erland akan menyerang mamanya dengan pertanyaan yang sama jika belum juga menemukan jawabannya. Dan susahnya, Kayana belum mempunyai jawaban yang cukup tepat untuk dimengerti anak kecil seusia Erland. Seandainya saja laki-laki kecil ini tahu, mamanya hampir menyerah untuk memberikannya alasan.
“Sayang, bisa atau tidak itu kehendak Tuhan. Hanya Tuhan yang tahu bagaimana baiknya nanti. Yang terpenting Om Dion akan selalu menyayangi Erland sampai kapan pun.”
“Erland mau berdoa sama Tuhan, Erland mau minta Om Dion biar jadi papanya Erland. Biar Erland bisa ketemu terus, main terus dan digendong terus. Ma, Tuhan pasti mengabulkan doa Erland kan?”
Ditatapnya wajah polos Erland yang penuh dengan harapan. Air matanya menetes, perih sekali mendengar curahan hati dan permintaan anak lelakinya.
Hatinya sakit, perih, rasanya hanya satu alasan yang menjadi keadaan begitu pelik saat ini. Namun bagi Kayana sangat tidak mungkin memberitahu Erland tentang hal ini, tentang Mei, tentang status sosial dan tentangnya pula.
Ada banyak hal yang bisa Kayana lakukan berdua saja untuk membuat Erland lupa dengan pertanyaannya. Namun entah bocah kecil itu sulit sekali untuk dibujuk, dirayu dengan hal yang kelihatannya menyenangkan, bahkan.
Kayana mengangguk-angguk untuk merespon Erland tentang keyakinannya bahwa Tuhan pasti mengabulkan doanya. Bahwa Tuhan tidak akan membuatnya kecewa.
Diusapnya rambut Erland yang wangi, lalu meletakkan kedua telapak tangannya di pipi. Tidak diduga, matanya yang bulat kini memerah dan berlinangan air mata. Bagaimana seorang anak kecil bisa dengan peka merasakan perubahan pada hubungan mama dan omnya.
Akhirnya, Kayana dan Erland hanya menghabiskan sorenya di kamar. Duduk di pangkuan mama sambil menikmati langit yang mulai memerah dari balik jendela. Tanpa punya keinginan untuk sekedar membeli es krim kesukaannya, tanpa mengindahkan tawaran mamanya, Erland memilih berdiam diri dalam dekapan Kayana, hingga ia terlelap.
Kayana tahu, tidak mudah untuk mencari solusi atas apa yang dirasakan Erland. Juga tidak mudah menukar rasa sedih dan kecewanya dengan sebuah ajakan jalan-jalan. Baginya bahagia memang tidak semudah itu tercipta hanya dengan menikmati es krim cokelat kesukaannya. Seperti layaknya anak kecil yang akan diam dari tangisnya ketika ditawari permen atay es krim.
Di tatapnya wajah Erland yang sudah tertidur pulas. Memikirkan Rindu dengan Dion membuatnya cukup lelah. Kayana tidak ingin menciptakan citra buruk pada Dion di mata Erland. Karena Dion memang selalu punya kesan yang baik untuknya, bahkan ia selalu menganggap bahwa Dion adalah seseorang yang serba bisa. Jika memang nanti ia benar-benar tidak bisa memiliki Dion sebagai papanya, setidaknya bukan karena Dion laki-laki yang tidak baik. Namun memang Tuhan berkehendak lain.
Bagaimana Kayana bisa tertawa lagi, jika alasan ia bisa tertawa karena Erland bahagia. Sedangkan saat ini Erland tengah kecewa. Dan sebenarnya ia sama sekali tidak ingin melibatkan Erland dalam keadaan ini. Namun memang dari awal Erland lah yang justru lebih dekat dengan om kesayangannya itu.
Kayana membopong Erland menuju ranjang dan membaringkannya, mengambil selimut dan menutupinya. Seharusnya, diumur yang masih dini Erland belum akan sanggup menjalani kehidupan seperti ini. Dengan rasa kehilangan lagi. Kebahagiaan yang sangat sederhana pun harus terganti dengan kekecewaan.
Namun entah bagaiaman rasa kecewa itu ia diskripsikan, apa yang menjadi alasannyaa kecewa, Kayana juga belum tahu persis. Dan sepertinya bagi Erland masih sangat bingung bagaimana cara menjelaskannya pada orang-orang yang ada di sekelilingnya.
Bisa jadi ia kecewa dengan Dion yang sudah tidak peduli dengan Erland atau karena kesibukannya yang membuat Dion tidak ada waktu untuk datang ke rumah. Atau ada kemungkinan bahwa Erland berpikir dirinya nakal, sehingga Dion malas bertemu.
Tetapi di antara beberapa alasan itu tidak ada satu pun yang tepat.
Bukan.
Bukan itu alasannya. Sekali lagi ini karena Tante Mei. Dan jika hal ini ia ceritakan pada Erland, bukan akan membuatnya menghentikan pertanyaannya, melainkan dia akan mempunyai banyak pertanyaan-pertanyaan baru. Disamping itu, sangat tidak tepat jika seorang anak kecil tahu semua yang orang dewasa permasalahkan.
Sekali lagi, ini tidak pantas. Dunia anak-anak adalah bermain dan bahagia. Namun entah mengapa menciptakan kebahagiaan bagi Erland harus melalui benerapa rintangan.
Dulu yang hanya satu gendongan saja, Erland bisa dengan mudahnya tertawa. Ketika dengan Julio atau pun dengan Dion, mereka berdua sama-sama punya nilai chemistry yang bagus untuk Erland. Namun sekarang hal sederhana itu terasa sulit ia dapatkan.
Erland, laki-laki kecil yang penuh dengan harapan, penuh dengan impian dan keinginan yang sangat sederhana.