Akhirnya kedua orang tua Emma memutuskan untuk membawa Emma pulang selama masa pemulihan.
Kelima pelaku pelecehan terhadap Mika dan Emma, berhasil ditangkap setelah pengusutan oleh pihak kepolisian.
Emma masuk kedalam mobil orang tuanya, masih dengan tatapan kosong. Ingin sekali Angga memeluk dan menciumnya untuk yang terakhir kali, namun hal itu tidak baik untuk Emma.
"Pulanglah kapan saja kamu mau, mama sama papa tidak melarang kamu bertemu dengan istrimu, kami hanya ingin menjaga Emma dari hal yang membuat dia kembali mengingat trauma itu. Kamu bebas membawanya kembali kalau kondisi Emma sudah membaik." ucap mama Angga.
"Iya ma... Angga ngerti kok." ucap Angga.
"Pulang sesering mungkin, bantu mama sama papa mulihin kondisi Emma juga ya." pinta papa Emma.
"Iya pa..." jawab Angga.
Kemudian mobil itu meluncur pelan, sementara Emma tak bereaksi apapun, dia meringkuk di jok belakang, dengan masih menyimpan ketakukan terbesarnya.
Satu jam perjalanan mereka tiba dirumah. Adik Emma sangat senang melihat kakaknya pulang. Namun mama Emma buru-buru menahan Adel saat hendak memeluk Emma.
"Mah... Kan Adel cuma mau pingin meluk mbak Emma." protes Adel.
"Adel... Sementara kamu nggak boleh nyentuh kakak kamu dulu ya, kondisi mbak Emma lagi sakit parah, di sentuh sedikit saja akan nangis dan kesakitan, kamu nggak boleh nyentuh dia ya." pesan mama Emma lirih.
"Mahh... Emang mbak Emma sakit apa? Kenapa kulitnya jadi sangat sensitif seperti itu." tanya Adel.
"Kakak kamu, sakit yang nggak boleh di sentuh, pokoknya sementara Adel jangan sentuh mbak dulu ya." ucap papa Emma.
"Oh iya pa..." ucap Adel.
Dia membantu mama nya membawa kan barang-barang Emma. Dan mengantarkannya kembali ke kamar yang sudah lama ia tinggalkan.
"Mbak Emma istirahat ya, kalau butuh apa-apa panggil Adel aja." ucap Adel, kemudian gadis kecil itu menutup pintu membiarkan kakaknya sendiri.
Emma duduk di tempat tidurnya, kemudian merebahkan diri. Tanpa sengaja dia terlelap karena efek dari obat yang dia minum.
Namun tidak lama, kejadian buruk itu terus terulang dalam mimpinya, bagaimana mereka bertiga melecehkan dirinya, senyum dan tawa mereka, cengkraman dan remasan mereka.
Membuat Emma terbangun, dia menggigil ketakutan. Melihat kesekeliling, lalu duduk dan mencoba menahan serangan kantuknya. Dan hal itu terjadi berhari-hari, dia mengalami gangguan kecemasan saat tidur.
Akhirnya Emma tidak tidur selama berhari-hari yang membuat berat badannya turun drastis.
Kedua orang tuanya sangat bingung, mereka ingin menenangkan putrinya, namun mendekat dan menyentuhnya saja harus mereka hindari.
Sementara itu di lain tempat. Sore ini malam Minggu, pulang kerja, Angga bersiap meluncur ke rumah Emma. Dia juga menyiapkan Hadian dan kue ulang tahun untuk Emma karena hari ini adalah ulang tahunnya.
Tiap hari dia menelpon, namun tak ada jawaban dari Emma. Dia takut kejadian itu membuat kesehatan mental Emma terganggu.
"Kangen banget sama kamu sayang." ucap Angga. Dia menyiapkan semuanya kemudian berangkat sore itu juga.
Belum begitu larut malam saat Angga sampai di kota dingin Malang, di rumah yang biasanya di Liputo kehangatan dan keceriaan itu kini berasa rumah tak berpenghuni sepi sekali.
Sementara kedua orang tua Emma terlihat murung di ruang tamu. Mereka berdua baru menyadari kedatangan Angga setelah mengucap salam berkali-kali.
"Angga... Masuk-masuk." ucap papa Emma.
"Kamu masuk pagi? Itu... Sama sekali nggak mau ngomong sejak pulang kerumah, nggak pernah tidur malam, selalu histeris dan menangis begitu tak sengaja ketiduran, jadi kurus banget Ngga istri kamu... Mama sama papa bingung, dia cuma berdiam diri di kamar, kalau nggak duduk di meja makan, tanpa menyentuh makanan sedikitpun. Apa kita perlu membawanya ke terapis?" tanya mama Angga.
"Nggak mau makan dan nggak tidur ma? Emma juga nggak pernah mengangkat telpon dari saya. Kalau memang itu yang terbaik, nggak papa kita bawa ke terapis, untuk menenangkan dia." jawab Angga.
"Kamu sapa dia gih, kayanya tadi mama lihat sedang ada di meja makan di tungguin Adel." ucap Mama Emma.
"Baik ma..." jawab Angga.
Angga meluruskan kakinya menuju ruang makan, begitu melihat kedatangan Angga, Adel langsung menghambur untuk menyambutnya.
Setelah bersalaman dan mencium tangan Abang iparnya, Adel mulai bercerita.
"Mbak Emma nggak mau makan mas, kalau terus-terusan kaya gini dia bisa sakit." Adel mengadu.
"Bentar ya coba mas Angga sapa mbak pelan-pelan." ucap Angga.
Adel mengangguk, dia melihat Angga meletakkan bungkusan yang tadi ia bawa diatas meja, lalu mengeluarkan kue dari dalam box nya, menyalakan lilin dan mulai mengajak Emma berbicara.
Adel mendekat dengan takut-takut namun juga kangen sama kakaknya, dia merindukan reaksi kakaknya yang selalu berbinar menatap kue ulang tahun.
"Selamat ulang tahun sayang... Maaf untuk satu tahun kebersamaan kita yang hanya menorehkan luka buat kamu, maaf aku belum bisa ngasih hadiah apapun buat kamu, selamat ulang tahun, semoga apapun yang kamu semogakan, apapun yang kamu impikan selama ini segera terwujud." ucap Angga.
Emma masih menatap kosong ke permukaan meja. Sama sekali tak ada respon.
Sementara Angga menatap pilu pada sosok yang ada di depannya, mata yang cekung menghitam, kulit pucat dan badan yang menyisakan kulit pembungkus tulang saja.
Dia mengulurkan tangannya untuk menyisipkan anak rambut Emma kebelakang telinganya.
Emma langsung kaget dan berjengit. Saat Emma hendak kabur dan mencoba berdiri, Angga menahan tangan Emma, kemudian merengkuhnya, dia memeluk istrinya dari belakang.
Namun diluar dugaan Emma yang ketakutan justru berusaha memberontak. Angga berusaha menahan Emma dengan lembut.
"Sayang ... Ini aku, kamu nggak ngenalin aku?" bisik Angga dengan sabar. Dia berusaha menjaga ingatan Emma untuk berhenti di hari dimana dirinya dilecehkan.
"Ingat... Kita masih punya mimpi buat masa depan kita?" lanjut Angga.
"Mbak Emma... Jangan kaya gini Adel takut." Adel meraih tangan Emma dan menggenggamnya perlahan.
Emma yang semakin ketakukan, merasakan kontak fisik dari adik dam suaminya serta merta mengambil pisau buah lali menusuk ke perut Angga sambil berteriak.
Adel kaget dan langsung memanggil mamanya. Sementara Angga terjatuh di lantai.
Emma masih menggenggam pisau itu dengan tangannya. Sambil berdiri menatap Angga.
"Maaaaaaaa..... Mamaaaaaaaa." pekik Adel.
"Mamaaaaaaa mbak Emma maaa. Mas Angga maaaa...." teriak Adel histeris melihat kaos putih Angga kini berlumuran darah.
Kedua orang tua Emma langsung berlarian ke ruang makan, mereka sangat syok melihat apa yang terjadi.
"Emma... Sudah nak cukup... Lihat siapa yang kamu lukai, lihat dia suami kamu, letakkan pisau itu, Emma... Sayang dengerin mama... Kamu sadar sayang, lihatlah siapa yang kamu sudah kamu lukai." ucap mamanya sembari memeluk Adel.
"Pa... Tolongin Angga pa." lanjut mama nya.
Papa Emma yang masih syok hanya mampu membatu. Setelah mendengar panggilan istrinya untuk yang ketiga kalinya baru dia tersadar dan segera memapah Angga.
Saat papa Emma hendak membawanya untuk mendapatkan perawatan medis, Angga masih sempat mendekati Emma dan mengatakan dirinya tidak apa-apa.
"Aku nggak papa sayang, maaf aku terlalu memaksakan diri, aku jangan sama kamu." bisik Angga.
Seketika Emma menjatuhkan pisaunya. Dia mulai menangis tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.
Tidak selang berapa lama, gadis itu terjatuh dan pingsan.
"Pa... Emma pingsan." ucap Angga dia langsung menghampiri Emma tanpa mempedulikan lukannya.
Dia mengajar tubuh Emma da menidurkan di atas tempat tidur di kamarnya.
Setelah itu dia berusaha menahan laju darah dari lukannya dengan menekan perutnya kuat-kuat.
Semakin tidak karuan hati mama Emma melihat hal itu.
"Panggil dokter sekarang pa." ucap mama Emma.
Papa Emma yang sejak tadi speechless langsung mengubungi dokter terbaik kenalannya. Tidak membutuhkan waktu lama, dokter Ryan datang untuk memeriksa luka Angga.
"Lukanya tidak dalam, sudah saya jahit dan saya kasih obat penghilang rasa sakit dan obat luka untuk Angga, sementara Emma. Emosinya sangat tidak stabil, jadi jangan memaksakan diri untuk menyentuh nya saat ini ya." jelas dokter.
"Iya dok makasih." ucap mereka.
"Saya sarankan membawa Emma ke rumah sakit kejiwaan ya, dia membutuhkan pengobatan untuk kesehatan mentalnya, trauma itu begitu dalam melukainya." ucap dokter Ryan yang selalu menjadi sasaran curhat papa Emma.
"Kami pasti akan melakukan yang terbaik untuk Emma apapun itu." ucap Papa Emma.
Setelah cukup lama mereka berdiskusi, akhirnya dokter Ryan pulang. Sementara mama Emma menyiapkan kamar untuk Angga tidur malam ini.
"Angga sekarang terserah kamu nak, Emma tidak mungkin lagi menjalankan tugasnya sebagai seorang istri dengan baik, dia tidak bisa lagi seperti dulu, terserah kalau kamu mau mengembalikan Emma kepada kami, kalau kamu mau meninggalkan dia dan menikah lagi, kamu sama sekali tidak salah, karena istri kamu tidak mungkin lagi untuk kamu sentuh." ucap mama Emma.
"Mama kamu benar Ngga, kami berlapang d**a seandainya kamu hendak mengembalikan Emma kepada kami." tambah papa Emma dengan raut wajah sedih.
"Pah...mama, apapun yang terjadi sama Emma, Angga nggak akan ninggalin dia, sampai kapanpun. Jadi jangan bilang seperti ini pa.. ma... Mari kita usahakan yang terbaik buat Emma, jangan minta Angga buat ceraikan Emma ma... Angga sayang banget sama dia, apapun yang terjadi Angga akan tetap bersama dia ma... Pa." ucap Angga.
"Jangan minta Angga buat ninggalin Emma pa.. Angga janji, akan nemenin dia selamanya."ulang Angga.
"Makasih... Angga, makasih..." ucap Mama Angga.
"Tapi seandainya kamu ingin pergi, lakukan sekarang, jangan nanti-nanti saat kami dan Emma sangat percaya kepadamu Angga." kata Papanya
"Enggak pa... Nggak ada alasan buat aku ninggalin Emma." tegas Angga.
"Papa bisa pegang kata-kata Angga pa, percaya sama Angga, kali ini Angga janji akan jagain Emma dengan lebih baik." ucap Angga.
"Makasih Angga... Papa percaya sama kamu, yaudah mama sudah siapin tempat tidur buat kamu. Kamu istirahat ya." ucap papa Angga.
Sementara itu, saat kedua orang tua juga adik Emma sudah tidur, Angga pindah ke sofa di depan kamar Emma. Dis duduk sebentar, namun karena rasa sakit di perutnya belum berkurang dia berbaring disana dan menghadap ke tembok.
Rupanya dia menangis, bukan karena luka yang dia dapatkan, melainkan firasat terakhir Emma memeluknya sebelum hal sial.itu terjadi.
"Waahhhhhh enakkk, suka banget. Sayang kamu banyak banyak mas." ucap Emma begitu melihat semangkuk bubur tersaji di depannya.
"Yaudah... Di makan, keburu dingin sayang." ucap Angga.
Namun bukannya makan, Emma justru memeluk Angga dari samping, dan menggelayut di lengan nya dengan manja.
"Hmm... Mau disuapin?" tanya Angga.
Emma menggelengkan kepala.
"Enggak aku bisa makan sendiri mas." jawab Emma masih dengan senyumnya yang menggemaskan.
"Terus... Tumben kamu tiba-tiba meluk, biasanya aku yang meluk. Ada apa nih?" tanya Angga.
"Enggak ada apa-apa, lagi kepingin meluk mas aja, kangen rasanya." jawab Emma.
"Hmmm padahal juga tiap malem aku peluk, kamu aja yang molor nggak ngerasain." kata Angga.
Angga masih menangis, dia menyesal kenapa dia membiarkan Emma masuk hari itu. Sesaat kemudian dia mendengar pintu kamar Emma terbuka perlahan, dia langsung berpura-pura tidur.
Rupanya Emma yang mulai tersadar telah melukai Angga berjalan keluar. Sangat pelan.
"Mas ..." ucap Emma dengan nada serak karena selama dia tersadar dari pingsannya di kamar setelah kepulangan dokter Riyan tadi dia terus menangis menyesali tindakannya pada Angga.
"Maaafin aku udah bikin kamu terluka." ucap Emma.
Akhirnya setelah sekian lama Emma bersuara juga.
Emma masih mematung di sana. Dia ingin mencoba menyentuh punggung Angga yang selama ini menjadikan tempat ternyaman baginya untuk bersandar.
Namun tangannya berhenti di udara. Masih ada getar ketakutan saat hendak bersentuhan dengan orang lain.
Angga berbalik perlahan, dan dilihatnya Emma tengah terisak sambil berdiri di dekatnya.
"Sayang..." ucap Angga, dia berusaha duduk walaupun luka nya terasa sakit luar biasa, bahkan darah kembali merembes dari pembalut jahitan di perutnya.
"Jangan nangis, aku nggak papa, kata dokter Ryan tadi aku nggak papa, dan besok udah sembuh." ucap Angga.
"Sini duduk." ucap Angga meminta Emma duduk di sebelahnya.
Emma justru berlari kembali ke kamarnya. Angga berdiri berjalan mengejar Emma.
Emma terisak duduk di tepian ranjang. Tak bisa berkata-kata. Angga mendekat dan duduk di sebelahnya.
"Emma..." panggil Angga.
"Boleh nggak mas pegang tangan kamu?" tanya Angga kemudian.
"Berhenti menangis ya, nggak kuat lihat kamu kaya gini." lanjut Angga.
Emma mencoba menahan tangisnya sekuat yang ia bisa.
"Iya... Jangan nangis lagi ya, semua akan baik-baik saja setelah ini." ucap Angga.
Angga meraih tangan Emma, kemudian mengenggamnya, dia kaget karena tidak ada reaksi emosional dari Emma.
"Sayang... Kamu nggak papa?" tanya Angga.
Emma sendiri masih mencoba merasakan tangan Angga berada di atas tangannya. Kemudian menggelengkan kepala.
"Hahhh..." Angga tersenyum senang, dia memeluk Emma serta merta. Dia mencium kening Emma dan juga mengusap rambut istrinya.
Emma menangis pilu di d**a Angga.
"Maafin aku mas... Aku udah lukai. Kamu kaya gini, maafin aku yang nggak bisa menjaga martabat ku sebagai seorang istri." ucap Emma.
"Kamu nggak salah... Kamu nggak pernah salah di mataku sayang, justru aku yang minta maaf sama kamu karena nggak bisa jagain kamu." ucap Angga.
Akhirnya mereka menumpahkan kerinduan sepanjang malam ini dengan bercerita.
Angga sama sekali tidak menyinggung apapun tentang pekerjaan takut membuat inngatan Emma ke distraksi kembali ke masa itu.
Hingga akhirnya malam ini Emma bisa tidur dalam pelukan suaminya.