Prolog
“Aakkhhh.”
Suara rintihan yang hanya sayup-sayup terdengar itu nyatanya mampu mengusik tidur lelap sesosok pria muda diatas ranjang. Perlahan ia mengumpulkan kesadarannya, mengerjabkan kelopak mata yang terasa berat, serta menguceknya perlahan.
Dingin. Sunyi. Asing. Hanya tiga kata itu yang bisa ia gambarkan begitu netranya terbuka. Ini bukan ranjangnya. Ranjangnya tidak memiliki tiang kelambu di setiap sudutnya. Ini bukanlah kamarnya. Kamarnya berwarna abu-abu, sedangkan tembok di kamar ini berwarna putih.
Arka nama pria itu. Ia berusaha mengingat bagaimana sampai berakhir di tempat asing ini. Namun, saat hendak mengangkat tubuh agar pandangannya lebih jelas, ia merasakan sesuatu yang asing. Ragu, Arka mengangkat selimut yang menutupi tubuhnya dan ia langsung terkesiap begitu melihat keadaannya.
“Sial! Apa yang terjadi semalam?” Gumamnya bingung.
Atensi Arka kembali mengamati sekitar. Pandangannnya kemudian terhenti disisi lain ranjang tempatnya tidur semalam. Tidak hanya spreinya tampak kusut, bercak merah diatasnya membuat kepala Arka semakin pusing. Sekilas, bayangan kejadian semalam saat ia merangsek masuk kedalam ruangan ini terlintas dalam benaknya.
Sreett.
Saat ia masih mencoba menccocokkan puzzle memorinya, suara pintu bergeser mengalihkan perhatiannya. Keterkejutan Arka semakin bertambah saat ia melihat sosok yang beberapa bulan ini seringkali beradu mulut dengannya.
“Mbak Zee?” Tanya Arka lebih seperti mengkonfirmasi.
“Cepat bangun dan pergi dari sini!” Perintah wanita bernama Zee itu datar dan dingin.
Wanita itu lalu kembali mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk kecil ditangannya. Saat ia berjalan menuju meja rias tak jauh dari ranjang, langkahnya tampak tertatih dan itu seperti sebuah petunjuk besar untuk Arka.
“Mm-Mbak, apa yang sudah terjadi?” Tanya Arka ragu.
Zee mengangkat sebelah alisnya, “Tidak ingat?”
Arka menggeleng pelan. Ia baru bisa menebak, tetapi belum yakin akan kebenarannya. Karena itulah ia membutuhkan konfirmasi langsung dari Zee.
“Tidak perlu diingat kalau begitu,” sahut Zee tenang dan tanpa emosi.
“Aku sepertinya melakukan kesalahan sama Mbak,” pancing Arka.
Zee menghela napasnya panjang, “Seperti yang kamu bilang, kesalahan. Tidak perlu dibesar-besarkan. Jadi, cepat pakai pakaianmu dan pulanglah!”
“Aku akan tanggung jawab, Mbak. Gak usah takut aku kabur, ini salahku yang gak bisa jaga diri,” pria itu tak ingin mengindahkan usiran Zee.
Arka yakin sekarang. Ingatannya semakin jelas. Namun, semua telah terjadi dan yang bisa ia lakukan hanyalah bertanggung jawab atas kecerobohannya semalam. Ingin memutar waktu pun mustahil terjadi.
Sayangnya, niat Arka tersebut justru membuat Zee kesal, “Gak perlu!” Seru wanita itu tak acuh.
“Aku udah ambil kegadisannya Mbak Zee ‘kan? Walaupun aku ngelakuinnya gak sadar, tetap saja aku salah,” kukuh Arka.
Zee memusatkan perhatiannya pada pria itu, “Oke, gini aja! Kita lupain semua ini pernah terjadi. Aku juga salah, harusnya aku lebih keras nolak kamu. Gimana?”
Arka berdecak, “Gak bisa gitu, Mbak! Kalau Mbak kenapa-kenapa, gak mungkin aku gak tanggung jawab. Aku bukan cowok berengsek, Mbak!”
“Itu cuma sekali, Ka. Gak bakalan terjadi apa-apa. Lagipula nanti aku juga akan ke apotek beli obat biar yang kamu khawatirin gak terjadi,” terang Zee.
“Kalau Mbak tetap hamil?” Arka masih belum setuju.
“Kita bicarakan itu lagi nanti kalau memang sudah terjadi. Tapi aku yakin aku gak bakalan hamil,” putus Zee. “Dan selama aku gak kenapa-kenapa, aku harap kita tetap seperti sebelumnya. Gak perlu sok kenal kalau ketemu.”
Arka menghirup napasnya dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan kasar, “Terserah, Mbak! Yang pasti aku udah nawarin buat tanggung jawab.”
Arka meraih celananya yang tergeletak dibawah ranjang lalu mengenakannya sementara tubuhnya masih tertutup selimut. Tanpa banyak basa-basi, pria itu mengucapkan permisi pada pemilik unit apartemen ini dan segera meninggalkan Zee sendirian.
Lalu, bagaimana ini semua bisa terjadi?
---o0o---