Sesuai dengan janji yang sudah Renata dan juga Lucas sepakati, mereka berangkat menggunakan motor besar milik sang pria.
Sedari tadi Renata hanya diam, wanita itu tak mengatakan satu patah kata pun dari mulutnya. Ada rasa sakit yang bercokol di hatinya, tidak tahu apa penmyebabnya.
“Kenapa, diam? Apa, pelayananmu memang seperti ini?” tanya Lucas sedikit keras, karena suaranya teredam oleh dinginnya angin malam.
Renata mendongakkan sedikit kepalanya, agar air mata yang mulai menghalangi pandangannya tidak jadi keluar. “Nanti, di tempat yang udah kamu sewa, aku bakal kasih sesuai dengan uang yang sudah kamu keluarin.”
“Wah, manisnya. Aku kamu ya?” ucap Lucas mengejek.
Renata menundukkan wajahnya, ia baru menyadari jika Lucas memperhatikan dirinya dari kaca spion. “Hari ini, kamu klienku. Jadi, aku harus berlaku sopan ke kamu.”
“Cih! Gimana kalo kedua adik kamu tahu. Kakak yang mereka bangga-banggain, nyatanya punya kerjaan kayak gini?” sindir Lucas.
Renata mencengkeram bahu kanan sang pria, menekannya sekuat tenaga. “Tutup mulut kamu, kamu juga sama kotornya kayak aku. Kalo kamu orang baik-baik, apa kamu beli aku malam ini!”
Terlalu sibuk menyumpah serapahi Lucas, membuat Renata tidak sadar jika sang pria sudah menghentikan kendaraannya di depan rumah makan gubuk yang tampak sepi.
“Mau turun, nggak?” tawar Lucas.
Renata menatap sekitar, ke arah kanan dan kirinya secara bergantian. “Kamu, serius? Di sini? Di tempat terbuka? Otakmu di mana, nggak waras!” seru Renata tak habis pikir dengan pemikiran pria yang berusia dua tahun di bawahnya itu.
Lucas gemas, reaksi yang ditunjukkan Renata benar-benar berlebihan. Pria itu mengulurkan tangan, mencubit sedikit keras hidung wanita yang beberapa hari ini ia buntuti kegiatannya.
“Pikiran kamu ke mana, sih? Ayo, masuk!” ajak Lucas sembari menggenggam pergelangan tangan Renata.
Renata menggeleng ribut, “Nggak! Jangan macem-macem kamu, ya! Aku tahu, kamu masih berjiwa muda. Fantasi kamu pasti aneh-aneh, tapi nggak! Aku mau pulang!” serunya sembari bergidik ngeri.
Lucas tertawa keras dengan puas, pria itu menekan perutnya yang terasa sangat kram. “Jangan banyak protes, bisa? Ayo masuk, atau aku kasih tahu adik-adik kamu di rumah,” ancam Lucas.
Mau tidak mau, Renata harus mengikuti langkah kaki pria jangkung yang masih setia menuntun dirinya. Ia tidak akan sanggup melihat reaksi Cecylia, jika adiknya itu tahu apa yang ia kerjakan selama ini.
Lucas membersihkan sebentar, tempat yang akan diduduki oleh Renata. Ia hanya ingin membuat wanita itu merasa nyaman duduk di bawah.
Pria itu mulai bersila, “Kemari, duduk dulu. Aku pesenin makanan, kamu mau pesen apa?” tanyanya.
Renata masih masih menatap waswas ke arah sekitar, perasaan takut menghinggapi hati dan juga pikirannya. “Lucas, serius aku takut. Jangan di sini, aku mohon.”
“Duduk!” titah Lucas dengan nada yang mulai meninggi.
Entah mengapa, Renata merasa terintimidasi. Wanita itu memilih untuk menuruti perintah Lucas, tanpa dua kali diminta.
“Kamu, mau makan apa?” tanya sang pria yang masih setia menatap wajah ayu Renata.
Renata hanya diam, wanita itu masih menatap awas ke arah Lucas. “Lucas, serius. Aku takut, tolong jangan kayak gini.”
Mulai tidak tega melihat wajah Renata yang mulai pucat, Lucas segera membawa kedua telapak tangan Renata untuk ia genggam.
“Ren, jangan takut. Aku nggak mau apa-apain kamu, kok. Kita cuma bakalan makan, nggak akan melakukan apa pun. Kecuali, kalo kamu mau?” jelas Lucas sembari menaik turunkan kedua alisnya.
Lucas mengusap lembut tangan mungil yang tengah ia genggam, “Aku, nggak pernah nganggep kamu serendah itu. Kamu berharga, Ren. Mau seperti apa pun kerjaan kamu, aku tahu betul kalo itu bukan keinginanmu. Nanti, aku bakal bantu keluarin kamu dari sana.”
“Cih, yakin. 20 juta, buat ngeluarin aku dari sana. Punya duit?” ejek Renata.
“Aku punya tabungan 9 juta, sisanya akana aku usahain. Kamu, tenang aja. Tunggu aku, aku udah tahu semuanya. Kamu sabar, ya?” ucap Lucas dengan nada yang terdengar sangat tulus.
Renata melihat jelas tatapan Lucas, pria itu terlihat seperti lelaki yang sangat pandai merayu wanita.
“Kamu yakin , mau ngeluarin aku dari sana. Mau, make nama siapa sebagai jaminannya? Kakakmu atau temenmu?” tanya Renata.
“Aku, nggak punya kakak. Kalo teman, apa hubungannya sama aku? Aku, bakal keluarin kamu pakai nama aku sebagai jaminannya. Aku Ren, Lucas Syailendra!” jawab Lucas yakin.
Renata tertawa, “Yakin? Kasian orang tua kamu, gara-gara wanita kotor kayak aku, keluarga kamu bakal ikut nanggung malu.”
Lucas mengusap pipi Renata pelan, “Aku, bukan om Jayden. Aku nggak perlu takut menanggung risiko sebesar dia. Dia punya alasan khusus buat nggak make namanya sembarangan. Tapi kalo aku, aku bisa pakai namaku buat kamu.”
“Setelah kamu bisa keluar, ayo kerja bareng aku. Di cafeku, biarpun kecil tapi cukup untuk sekedar makan sehari-hari. Untuk biaya kuliah adik-adikmu, aku akan bantu cari kerja sampingan buat kamu,” lanjut pria itu.
Air mata Renata menetes, “Jangan lagi. Jangan memberikan aku harapan palsu. Kamu, orang ketiga yang janjiin aku hal seperti ini. Yang pertama, dia hilang begitu saja. Kedua Jayden, dia bahkan ketakutan buat make nama dia buat nolongin wanita kotor kayak aku, dan aku memakluminya. Tolong, jangan menjadi orang ketuga yang memberikan harapan semu itu ke aku.”
Lucas menggeleng pelan, pria itu mengusap perlahan air yang terus mengalir dari mata Renata. “Jangan nangis, aku memang nggak janji. Tapi, aku bakalan berusaha sekuat tenaga buat wujutinnya.”
“Kenapa, sikapku ke kamu nggak sebaik itu. Terus kenapa kamu mau lakuin hal berisiko kayak gini buat aku?” tanya Renata penasaran.
Lucas tersenyum bahagia saat mendengar pertanyaan Renata. Mungkin, ini sudah saatnya ia menagtakan semua perasaan yang mengganggu hatinya selama beberapa bulan ini.
“Aku suka kamu. Tidak, aku cinta kamu. Nggak perlu bingung gimanaa balesnya, yang penting kamu sudah tahu perasaanku. Aku nggak nuntut kamu buat bales, cukup jangn nolak perhatian yang aku kasih. Okay?” ucap Lucas tanpa ragu sedikit pun.
Renata menggeleng pelan, “Lucas, jangan aku. Kamu bisa dapetin wanita yang lebih baik dari aku.”
“Cinta nggak bisa milih, Ren. Kamu cuma harus nerima perhatianku, bukan perasaanku. Mengerti?”
Renata terdiam, ia masih mencerna setiap kata yang Lucas ucapkan padanya. “Aku, harus apa kalo sudah kayak gini?”