“Kamu, mau bawa aku ke mana Jay?” tanya Renata.
“Apartemen, tempat pertama kali saya bawa kamu,” jawab Jayden santai.
Renata menghela nafas lega, ia tidak perlu khawatir jika di bawa ke apartemen pria itu, karena istri Jayden tidak mengetahui tempat itu.
“Hampir setiap hari, kamu datengin aku. Apa, istri kamu nggak curiga?” tanya Renata penasaran.
Jayden tersenyum miring, menampakkan dua lesung pipinya yang dalam. “Tentu saja dia curiga. Tapi, saya sama sekali tidak peduli akan hal itu.”
Renata menghela nafas lelah, “Orang kaya memang sama aja!”
“Kamu, mengatakan sesuatu tentang saya?” tanya Jayden.
“Nggak!” Renata memilih untuk memejamkan matanya perlahan, agar pembahasan mereka tidak semakin melebar.
Jayden menepikan mobilnya, pria itu menatap Renata dalam. Tangannya terulur, mendarat di sudut bibir Renata yang membiru.
“Sakit?” tanyanya.
Renata mengangguk, matanya terpaku pada kelopak mata Jayden yang tampak sayu. “Aku, udah biasa kayak gini, santai aja.”
Jayden menggeleng, “Jangan membiasakan rasa sakit. Itu tidak akan baik untukmu, berpikirlah untuk membuat dirimu sendiri nyaman mulai saat ini.”
“Cih, kenyamanan? Kenyamanan yang kayak gimana, nih? Jangan bikin aku ketawa, deh,” sinis Renata.
“Oke, lupakan saja. Anggap saya tidak mengatakan apa pun,” balas Hayden, pria itu memilih untuk menyerah daripada harus berdebat dengan Renata.
Jayden memarkirkan mobilnya, membawa Renata menuju apartemen mewah miliknya.
“Mau dimulai sekarang?” tanya Renata sembari merebahkan tubuhnya.
Jayden tidak menjawab sama sekali, pria itu berlalu begitu saja dari kamar menuju ke arah dapur.
Setelah beberapa menit Jay kembali, membawa handuk kecil juga air hangat. “Kemari Ren, saya bersihkan wajah kamu.”
Dengan telaten, Jay mengompres luka di wajah dan bahu Renata. Sesekali matanya beradu pandang dengan wanita pujaannya.
“Bibirmu sobek sedikit, apa tidak sakit? Kamu tidak mengeluh sama sekali?” tanya Jayden.
Renata memegang pergelangan tangan Jay, menatap mata pria itu dalam. “aku udah pernah bilang, kan? Kalo aku ini, udah kebal sama rasa kayak gitu,” kekehnya.
“Okay, kamu tadi pakai baju ini?” Jayden mengangkat sedikit baju yang Renata kenakan.
“Bukan, yang udah kotor aku taruh di tas. Lagi pula, bau rokok,” jawab Renata terlampau santai.
“Ren, berhenti ya? Saya, yang akan menanggung hidup kamu dan kedua adikmu,” bujuk Jayden.
“Aku mau, asal kamu ngeluarin aku dari tempat kotor itu atas nama kamu. Gimana?” tantang Renata.
Jayden memejamkan matanya erat. Pria itu mau, dengan suka rela melakukannya. Namun, ada hal lain yang membuat ia tidak bisa melangkah sejauh itu.
“Ren, kamu tahu kan? Saya–“
“Diam! Nggak usah dibahas, aku nggak perlu alasan. Yang aku butuh kan hanya jawaban iya atau enggak. Kalo kamu nggak bisa, its okay!” sahut Renata santai.
Jayden terdiam, ia tidak bisa menyangkal apa pun. Pria itu memilih untuk melanjutkan kegiatannya, mengompres bahu dan selangka milik Renata yang memar.
“Apa yang klienmu lakukan, sampai memar begini?”
Renata terkekeh, “Yakin, mau aku ceritain. Mau?” tawarnya.
“No,” tolak Jayden. Pria itu tidak yakin bisa menahan diri agar tidak emosi jika Renata menceritakan kejadian yang sebenarnya secara detail.
“Kamu, jijik ya? Biar aku mandi dulu, kamu mau berapa malam?” tanya Renata.
Jayden mengusap pipi sang wanita, “Tidur saja, kamu pasti lelah. Kita masih punya ratusan, bahkan ribuan hati untuk melakukannya.”
“Jayden, please deh. Iya kalo aku nggak mati duluan, lagi pula kamu apa nggak takut tertular penyakit? Kamu punya istri di rumah, istrimu juga cantik. Apa sih yang kamu cari, tuh?” tanya Renata heran.
“Kamu. Yang aku cari Renata.” Pria itu meletakkan handuk basahnya setelah menjawab pertanyaan Renata.
“Very funny!” seru Renata.
Wanita itu menenggelamkan wajah di bantal, kepalanya juga terasa sangat sakit. Pikirannya ke mana-mana, adiknya, sahabatnya, Jayden, belum lagi Lucas yang terus mengganggunya.
Dengan telaten, Jay memijat kepala Renata pelan. Ia tahu betul jika wanitanya tengah menahan sakit di kepala.
“Kamu, nggak ada rencana punya anak?” tanya Renata tiba-tiba.
“Kamu mau?” tanya Jayden balik, yang membuat Renata kebingungan.
“Kalo kamu mau, saya juga siap!” lanjutnya.
Renata tertawa kencang, “Kalo aku punya anak, kasian mereka. Pasti malu punya ibu pelac–“
“Ren!” bentak Jayden memotong perkataan Renata.
“Jangan seperti ini, Ren. Saya mohon,” ucap Jayden lirih.
Renata memilih untuk memiringkan tubuhnya, memejamkan mata dan beristirahat. Hari esok sedang menunggunya untuk melawan dunia.
Jayden menyusul, melingkarkan tangan kekarnya di perut sang wanita. Menjemput mimpi indah bersama Renata, wanita yang sangat Jayden cinta.
***
Renata masuk ke dalam rumahnya, wanita itu menyapa teman-teman adiknya sebentar sebelum berlalu memasuki kamarnya.
Setelah selesai membersihkan diri dan berganti pakaian. Wanita itu kembali ke ruang depan, duduk di samping Cecylia.
“Tumben, Kakak ikutan nimbrung,” ucap Cecylia.
Renata tersenyum kikuk, “Ya, nggak papa. Emangnya, nggak boleh?”
“Boleh lah, dari pada di kamar mulu!”
Renata terus menatap ke arah Lucas, namun pria itu sama sekali tidak menoleh kepadanya.
Cecylia mengajak teman-temannya ke dapur, sesuai perintah dari Renata. Kakaknya itu bilang di dapur ada makanan yang tadi ia bawah pulang.
Saat semuanya sudah berdiri menjual ke dapur, Renata menarik tangan Lucas yang berjalan paling belakang.
“Tunggu dulu, Gue mau ngomong,” bisiknya.
“Iya, Kak, kenapa?” tanya Lucas dengan nada datar, seolah-olah mereka berdua tidak pernah saling mengenal satu sama lainnya.
Renata tersenyum miring, menatap Lucas dengan pandangan sinis. “Udah Gue duga, Lo pasti bakalan ngindarin Gue. Lo jijik, kan?”
Lucas menatap Renata dengan pandangan yang sulit diartikan. Pria itu menyeret paksa tangan Renata untuk ia bawa masuk ke arah kamar wanita itu.
“Berapa?” tanya Lucas sembari tertawa mengejek.
Plak! Bukan jawaban yang pria itu dapatkan, namun sebuah tamparan keras dari Renata.
Mata wanita itu berkaca-kaca, “Lo, mau semalam. Atau, dua malam?” tawarnya.
Tangan kanan Lucas mengusap, lebih tepatnya menekan wajah sebelah kiri Renata. Mengusap kasar bibir wanita itu dengan kuat.
“Aku pikir, kotorannya masih ada. Ternyata udah ilang, pinter juga ya kamu,” ucap Lucas dengan santainya.
“3 juta, nanti malem jemput aku!”
Lucas menggeleng pelan, “Murah banget, ya? Nanti malem, aku jemput. Siap-siap, dandan yang cantik.”
Pria itu melepaskan Renata, mengusapkan bekas tubuh wanita itu pada kemeja yang tengah ia pakai. Meninggalkan Renata sendirian, bersama dengan air mata yang tiba-tiba saja mengalir deras.
“Harusnya Gue udah biasa, dihina kayak gini bukan yang pertama kali buat Gue. Tapi, kenapa ini sakit banget!” liriknya.