Setelah Ken mengirimkan pesan berisi alamat rumah Olivia, Relisha langsung meluncur ke sana menggunakan ojek online. Hanya butuh waktu sekitar tiga puluh menit untuk bisa sampai di sana. Relisha melihat Poppy dan tas ransel menggantung di punggungnya dengan ekspresi angker berdiri di depan pintu gerbang ditemani seorang asisten rumah tangga yang tampak ketakutan.
“Ayahmu menyuruhku menjemputmu.”
Poppy mendekati Relisha. “Ayo pulang.” Katanya datar.
“Poppy saya bawa pulang ya, Bu.” Relisha pamit sambil mengangguk sopan.
“Iya, Non. Iya.” Asisten Rumah tangga itu tersenyum lega.
Sepertinya ada yang tidak beres di sini, pikir Relisha. Dia mengajak Poppy menjauh pergi dengan menggandeng tangan anak itu. Poppy tidak balas menggandeng tangan Relisha dia tampak pasrah.
“Ada apa sih di rumah Olivia. Kenapa Ken menyuruhku menjemputmu dengan nada khawatir begitu?”
“Dia bertengkar dengan suaminya.”
“Eh?” Relisha terkejut mendengar jawaban Poppy.
“Aku kurang tahu. Tapi, dia menampar Mom. Lalu aku menelpon Dad dan Bibi membawaku ke depan pintu gerbang.”
“Dia siapa?” tanya Relisha tidak mengerti dengan penjelasan Poppy.
“Suami Mom.”
Benar-benar menyedihkan! Poppy harus melihat bagaimana seorang pria menampar ibunya. Dan dia tidak bisa berbuat apa-apa. Awalnya Poppy berniat menelpon polisi saat tersambung dengan nomor polisi, Bibi melarangnya dan menyuruh Poppy menelpon ayahnya.
“Nyonya nanti juga akan balik lagi dengan Tuan. Biarkan saja. Bibi sering melihat Nyonya dan Tuan bertengkar kok. Tidak apa itu hanya hal biasa.” Kata Bibi Seakan pertengkaran itu adalah hal biasa. Tapi Bibi tidak bisa membohongi Poppy yang melihat ekspresi kecemasan di wajah tua Bibi yang tidak terawat.
“Bagaimana kalau sekarang kita lihat-lihat sekolah saja. Kita cari-cari sekolah yang cocok buat Poppy. Bagaimana?”
Poppy mengangguk.
Sekolah pertama yang mereka temui adalah sekolah megah dengan fasilitas mewah khas anak-anak dari kalangan pengusaha, politisi, pejabat. Sekolah itu sudah dilengkapi kolam renang, tempat bermain anak dan tempat olahraga yang memiliki tiga lapangan olahraga.
Poppy melihat sekeliling anak-anak yang berlarian.
“Bagaimana menurutmu sekolah ini, Pop? Kalau kamu mau nanti kita akan ke ruangan kepala sekolah untuk bertanya-tanya lebih lanjut—“.
Poppy menggeleng kemudian mendongak menatap wajah Relisha. “Tidak menyenangkan. Sekolah ini sama saja dengan sekolah yang dulu.” Komentar Poppy tanpa berminat lebih lagi pada sekolah mewah ini.
“Kalau semisal Nyonya mau ke kepala sekolah untuk bertanya-tanya bisa saya antar, Nyonya.” Kata seorang sekuriti yang daritadi mengikuti Relish dan Poppy.
“Ma’af, tapi sepertinya lain kali saja ya, Pak. Terima kasih.” Relisha kembali menggandeng Poppy.
“Aku ingin pulang.” Kata Poppy.
“Katanya mau cari sekolah.” Meskipun sikap Poppy memang menyebalkan tapi Relisha tidak merasa terbebani mengurusi anak yang dewasa sebelum waktunya ini. Dia paham kalau sikap Poppy ini adalah karena kelalaian orang tua dan lingkungan sekitar yang menyebalkan sehingga Poppy memang lebih nyaman dengan dirinya sendiri. Ditambah anak ini memang lebih suka menyendiri daripada bergaul dengan teman-teman sekelasnya.
“Aku ingin menonton film di kamar. Kita cari sekolah besok saja dengan Dad.”
“Oke, kalau itu maumu.”
Beberapa saat setelah mereka sampai di rumah, Relisha terkejut bukan main melihat seorang wanita paruh baya berwajah tetap cantik meskipun wajahnya mulai mengendur dan dipenuhi kerutan. Rambutnya dicepol tinggi dengan kalung berlian yang berkilauan di lehernya. Wanita itu berdiri anggun berhadapan dengan Ken.
“Nenek!” pekik Poppy menghampiri neneknya. Dia dan Nenek saling berpelukan erat.
Poppy meskipun pemikirannya dewasa dia tetap saja seorang anak-anak. Tapi, kenapa sikap manjanya begitu ditampilkan saat bertemu neneknya? Bahkan dirinya yang sedari tadi cemberut, datar dan dingin bisa tersenyum selebar itu pada neneknya.
“Cucu kesayangan Nenek!” Nenek mencubit ujung hidung Poppy yang mancung seperti hidung ayahnya.
Relisha menatap Ken yang diam namun menghanyutkan. Sepertinya mereka baru saja berbicara masalah serius.
Nenek menurunkan Poppy. “Masuk ke kamar dulu ya, nanti Poppy jalan-jalan sama Nenek.” kata Nenek.
Poppy mengangguk patuh dan dia melesat ke kamarnya.
Nenek menatap Relisha dengan tatapan memperhatikan. Oke, Ken memang bukan pria dari seorang Ibu biasa seperti dirinya. Wanita ini tampak elegan dan seperti sikap anggunnya seperti seorang bangsawan. Penampilannya yang tidak mencolok malah membuatnya terlihat sangat-sangat kaya.
“Duduklah,” pintanya pada Relisha.
Relisha mengangguk kemudian dia duduk di sofa di samping Ken yang sedari tadi menatapnya.
“Kalian sudah dewasa dan Mamah tidak bisa ikut campur terlalu dalam dengan urusan rumah tangga kalian.” Nenek menatap Ken dan Relisha secara bergantian.
Deg!
Relisha menelan ludah. Rumah tangga? Rumah tangga apa maksudnya?
“Ken bilang kalian sudah menikah.”
Relisha menoleh pada Ken.
Menikah?
“Kalian sudah menikah tanpa meminta restu pada Mamah.” Ada kekecewaan dari sorot wajah Nenek.
Relisha menatap Ken seakan berkata, apa-apaan sih ini?!
“Tidak apa. Ken bilang kalian memang harus segera menikah karena ayahmu sedang sekarat.”
Relisha makin tidak paham. Dan ini semua kebohongan Ken. Astaga! Relisha tidak bermaksud apa-apa selain ingin bekerja. Itu saja.
“Dan ayahmu sudah meninggal.” Lanjut Nenek.
Relisha makin kesal dengan kebohongan Ken.
“Ken tidak memberitahu Mamah sama sekali.” Mamah menggeleng-geleng sedih.
Ken tampak santai-santai saja dan itu membuat Relisha merasa sangat kesal dia ingin sekali menggetok kepala Ken dengan palu.
“Mamah akhir-akhir ini memang sibuk sekali di Belanda. Tidak ada yang mengurusi bisnis Papah di sana setelah Papa meninggal. Dan Ken tidak mau bolak-balik Belanda-Indonesia. Apa sikap Poppy selama ini buruk padamu? Anak itu memang hanya bersikap baik padaku dan ayahnya saja.”
“....”
Akan kucekik leher Ken nanti setelah mamahnya pergi!
***
Setelah kepergian Poppy dan Neneknya, Relisha menatap Ken tajam. “Apa maksudnya ini semua?!” tanyanya galak.
Ken tampak santai menanggapi tatapan tajam dan kegalakan Relisha. “Aku sudah bilang kan kalau kamu harus berpura-pura menjadi calon istriku, daripada nanti kita disuruh menikah karena tinggal bersama lebih baik aku bilang kalau kita sudah menikah.”
Relisha mengedip-ngedipkan mata dengan kedua daun bibir terbuka. “Tapi, bukannya kamu mengakui aku sebagai calon istri hanya di depan Poppy? Kenapa tidak bilang pada ibumu kalau aku pengasuh Poppy?”
Logikanya memang seperti itu tapi mari kita lihat alasan Ken.
“Coba kamu pikir kalau aku bilang kamu pengasuh Poppy dan tinggal di sini bersamaku. Mamahku pasti akan curiga. Dia tidak akan percaya seorang pengasuh wanita muda tinggal bersama ayah dari anak yang diasuhnya tanpa istri. Mamahku akan curiga dan bisa-bisa dia akan tinggal di sini untuk mengawasi kita atau mungkin meminta menggantimu dengan wanita yang jauh lebih tua.” Alasan Ken masuk akal juga tapi bukan berarti Relisha terima-terima saja dengan apa yang Ken akui.
“Kalau mamahmu meminta buku nikah bagaimana?”
“Aku bisa menyuruh orang membuat buku nikah palsu.” Jawab Ken mencubit ujung hidung mancungnya. “Bisa buatkan aku teh?” Ken menatap Relisha.
Tanpa menjawab permintaan Ken, Relisha langsung menuju dapur dan membuatkan teh untuk Ken. Dia masih kesulitan mencerna maksud Ken. Tapi Relisha tidak mungkin membangkang dan bilang pada mamah Ken tentang kenyataan bahwa dirinya hanyalah pengasuh Poppy bukan kekasih, calon istri atau istri Ken atau apa pun itulah namanya. Relisha bahkan nyaris lupa kalau Olivia ditampar suaminya. Dia harus cerita pada Ken. Ken harus tahu ini semua.
Relisha meletakan cangkir teh di atas meja. Ken sibuk dengan ponselnya atau berpura-pura sibuk.
Kalau melihat papahnya Poppy seperti ini wajahnya seperti pahatan langsung yang dibuat dengan indah.
Relisha terbenam dalam pikirannya sendiri menganggumi visual Ken yang memikatnya. Dia menggeleng cepat, mengenyehkan pikiran-pikiran khas bucin. Relisha di sini bekerja. Bukan untuk jatuh cinta apalagi berhalu-halu ria dengan pria seperti Ken yang tentunya tidak akan menganggapnya lebih dari hanya sekadar pengasuh putrinya. Tapi, Ken sempat memujinya kan saat Relish berada di dalam ruangannya.
Ken menyesap tehnya perlahan. Dia menatap Relisha dan bertanya, “Apa Olivia mencegahmu saat kamu sampai di rumahnya?”
Relisha menggeleng. “Saat aku sampai di sana Poppy dan ART Olivia ada di depan pintu gerbang. Wajah ARTnya seperti ketakutan begitu dan Poppy bilang Olivia ditampar suaminya. Apa itu sebabnya kamu menyuruhku menjemput Poppy secepatnya?”
Ken hanya diam.
“Kenapa mereka bertengkar sampai mantan istrimu ditampar begitu?” tanya Relisha penasaran. “Dan bukannya mereka akan pergi jalan-jalan ya.”
“Aku tidak tahu pasti.” Jawab Ken singkat. “Yang aku tahu suami Olivia memang temperamental.”
“Mungkin itu sebabnya Poppy tidak suka dengan keluarga barunya. Suaminya bahkan berani menampar Olivia di depan Poppy. Apa mungkin alasan pertengkaran itu karena Poppy?”
Ken hanya menatap Relisha tanpa berkomentar apa-apa.
“Harusnya kalau Olivia ingin menghabiskan waktu dengan Poppy tidak membawa suami dan anak-anak tirinya.” Relisha terlihat kesal sendiri. “Anak sekecil Poppy harus melihat pertengkaran Ibu dan ayah tirinya.”
“Kamu lupa kalau Poppy itu sudah memahami hal-hal seperti ini. Dia tidak akan mengambil pusing apa yang dilihatnya. Dan jangan pernah membahas hal itu lagi di depan Poppy.” Pinta Ken.
Relisha menatap mata Ken. Mata dengan bola mata indah itu seakan menyihirnya. Bola mata itu seakan mengajaknya terbang menjelajahi alam jagat raya menikmati keindahan-keindahan ciptaan Tuhan. Relisha menduga kalau ketampanan Ken ini diwariskan oleh almarhum ayahnya. Dan Ibunya pun cantik. Itu menandakan kalau kedua orang tua Ken memang memiliki paras yang menawan sehingga putranya menggenapkan kesempurnaan perpaduan paras menawan mereka.
“Kamu dengar kan apa yang aku katakan?” tanya Ken membuyarkan lamunan Relisha.
“Iya,” sahut Relisha mencoba agar dirinya tidak terlalu terkejut karena mengaggumi visual indah Ken.
Melihat Ken dari jarak dekat seperti ini membuatnya agak kurang nyaman. Bisa saja dari jarak dekat ini membuat Relisha akhirnya kecanduan berdekatan dengan Ken.
“Ken,” panggil Relisha.
Ken menatapnya.
“Aku ingin menanyakan sesuatu. Apa pacarmu tidak marah karena mengakuiku sebagai istrimu di depan mamahmu?”
***