Sebelum pergi Olivia memberikan tatapan sinis pada Relisha.
Dan untuk pertama kalinya Relisha menyesali menerima pekerjaan dari Ken dan menyesali pengakuan konyol Ken. Dia benci dituduh macam-macam oleh mantan istri Ken.
Relisha teringat akan permintaan Ken untuk menghubunginya saat Olivia sudah membawa Poppy. Dia tidak menelpon Ken melainkan datang ke kantor Ken.
Hanya butuh waktu lima belas menit hingga sampai di kantor Ken. Sejak kedatangannya dia jadi pusat perhatian para pegawai di sana. Mereka memperhatikan Relisha hingga membuat Relisha tidak nyaman. Tatapan-tatapan menilai mereka mengusik ketenangan Relisha.
Dia sampai di ruangan Ken. Bau asap rokok terendus kuat di indra penciumannya. Dia melihat beberapa putung rokok bertebaran di bawah meja Ken.
“Ada apa?” tanyanya dengan mata fokus pada layar laptop dan jari yang menjepit rokok.
“Poppy sudah pergi dengan Olivia?” Ken mendongak menatap Relisha.
Relisha memiliki wajah cantik yang berkarakter. Tidak seperti wajah-wajah cantik pada umumnya yang terkesan mirip. Wanita ini memiliki hidung yang bagus, mata sipit yang indah dan bibir yang sensual yang saat ini sedang ditatap Ken. Ken segera mengalihkan pandangannya dari pengasuh putrinya itu.
“Ya,” Relisha duduk dengan wajah cemberut.
“Aku tidak suka mantan istrimu.”
“Apa dia mengatakan hal yang buruk tentangmu?” tanya Ken seolah tahu apa yang terjadi pada Relisha saat bertemu Olivia.
“Ya, dia menggap aku menumpang hidup padamu, Ken. Aku benci ucapannya. Dan lagi, kenapa kamu harus mengatakan kalau aku calon istrimu sih?!”
Ken masih bersikap tenang. Dia kembali menatap Relisha. Tatapannya menyapu keseluruhan wajah Relisha dari mata, hidung, dan berlabuh ke bibir Relisha lagi. Ken tidak suka pada keinginanya yang menatap Relisha dengan cara seperti ini. Dia menghisap dalam rokoknya.
“Dia memang seperti itu. Tidak usah dipikirkan.”
“Tapi aku merasa terganggu dengan ucapannya.” Relisha masih protes dia tidak puas dengan jawaban Ken.
Ken meraih ponselnya. Dia menempelkan ponselnya di telinga kiri dengan mata yang mengarah pada wajah cemberut Relisha.
“Kamu menelpon siapa?” tanya Relish.
“Olivia.”
“Kamu akan bilang apa padanya?”
“Diamlah.”
Saat ada sahutan dari Olivia, Ken langsung berkata. “Jangan pernah bersikap buruk pada calon istriku. Dia calon ibu sambung dari Poppy dan kamu harus menghargainya. Dia menghabiskan banyak waktu dengan Poppy dibandingkan dengan kamu. Dan jangan ikut campur urusanku lagi. Urus saja hidupmu.” Ken mematikan ponselnya sebelum Olivia berkomentar.
“Meskipun aku berkata seperti itu padanya dia akan tetap bersikap buruk padamu.” Kata Ken sembari meletakkan ponselnya di atas meja.
“Apa memang sikapnya selalu seperti itu menuduh orang lain dengan buruk?”
“Ya.”
“Kenapa dia mengatakannya padaku saat kita baru pertama kali bertemu, Ken? Aku merasa diremehkan.”
“Karena kamu—“ Ken memberi jeda pada kalimatnya. Dia menatap Relisha dengan tatapan terpikat namun masih bisa dikendalikan. “Cantik. Dia tidak suka karena merasa tersaingi.”
Pujian yang diluncurkan Ken membuat suasana hati Relisha membaik. Pria dingin ini memujinya cantik? Apa Ken mengatakannya hanya agar dirinya tidak terlalu memikirkan perkataan Olivia? Tapi apa pun itu alasan Ken, wajah Relisha kini tampak bersemu merah.
***
“Karena kamu—“ Ken memberi jeda pada kalimatnya. Dia menatap Relisha dengan tatapan terpikat namun masih bisa dikendalikan. “Cantik. Dia tidak suka karena merasa tersaingi.”
Relisha masih memikirkan pujian Ken padanya. Dan setiap kali mengingat pujian mematikan dari Ken dia tersenyum-senyum sendiri seperti orang yang tidak waras. Pria itu sepertinya susah untuk memuji seseorang apalagi soal fisik, tapi nyatanya dia memuji Relisha. Eits, apakah itu memang pujian atau semacam hanya sebatas fakta kalau Relisha memang cantik tanpa ada maksud apa-apa?
Relisha mengangkat kedua bahu. Dia menatap etalase yang menampilkan tas-tas kulit yang harganya mencapai jutaan rupiah. Relisha jarang sekali belanja dan uang yang didapatnya dari Ken masih ada. Rasanya sayang kalau harus membuang uang hanya untuk tas jutaan rupiah. Dia selalu membeli tas yang harganya ratusan ribu paling mahal lima ratus ribu dan itu pun produk lokal yang dibeli secara online.
“Hai,” suara hangat namun dalam itu menarik perhatian Relish dalam sekejap. Pria bermata sipit dengan kulit seputih s**u dan hidung mancung.
“Hai,” sahut Relish agak gugup.
“Aku Daniel teman Soraya masih ingat?”
Relisha mengangguk.
Bagaimana bisa aku tidak ingat pria yang memiliki perpaduan unik ini sih?
“Senang bertemu kamu lagi.” Katanya.
Relisha tersenyum malu. “Ya, aku juga.”
“Kamu tidak kuliah?” dia bertanya tanpa mengalihkan tatapannya pada Relisha.
“Aku sudah pindah ke kelas online.”
“Oh, pantes Soraya sendirian saja.”
“Anak itu memang lebih suka benci sama semua orang makanya dia tidak punya teman.” Bukannya memberikan pembelaan pada Soraya, Relisha malah membuka aibnya.
“Emm, kamu ada waktu buat ngopi hari ini?”
Relisha tak menduga kalau dia akan mendapatkan pertanyaan dari pria tampan bermata sipit ini. “Ya.” Jawabnya.
Astaga pria ini lebih muda dari Relisha. Dia seumuran dengan Soraya.
Beberapa saat kemudian mereka duduk di sebuah kafe berkonsep retro yang menampilkan puluhan lukisan Audrey Hepburn di dinding-dinding kafe. Sepertinya pemilik kafe ini memang penggemar Audrey Hepburn.
Daniel dan Relisha terdiam dalam keheningan suasana untuk beberapa saat. Sesekali mereka menyesap minuman mereka. Seperti kebingungan untuk membahas sesuatu. Tapi, Daniel sendiri terlihat tenang dan nyaman-nyaman saja.
“Eh, kamu tidak kuliah?” tanya Relisha mencoba memulai.
“Ada nanti siang.” Jawab Daniel lembut. “Kamu kenapa pindah kuliah online?”
“Aku kerja makanya biar waktunya bisa lebih fokus ke kerjaan aku ambil kuliah online aja.”
“Kerja dimana?”
Deg!
Relisha tidak tahu harus bagaamana menjelaskan soal pekerjaannya. Bekerja sebagai pengasuh anak untuk wanita lulusan S1 itu terdengar tidak masuk akal keculai memang tidak ada pekerjaan lain yang sesuai dengan gelar yang didapatnya. Tapi, nyatanya kan banyak pekerjaan yang bisa Relisha ambil di perusahaan. Cuma masalahnya mereka memberikan gaji yang mungkin tidak sebesar yang ditawarkan Ken padanya.
“Di perusahaan swasta.” Dusta Relish.
Dasar Relisha pembohong!
“Oh,” untungnya Daniel tidak bertanya lanjut sehingga Relisha bisa mengganti topik pembicaraan.
“Apa kamu pernah dengar lagu Lanna Del Rey yang judulnya Venice b***h?” Relisha hanya memiliki topik mengenai lagu pada seseorang yang masih asing dengannya hanya untuk mengalihkan topik pembicaraan.
“Ya, aku pernah mendengarnya. Kenapa?”
“Lagu itu seperti mengajak kita bernostalgia dengan kenangan yang tidak pernah kita miliki tapi kita dapat merasakan kenangannya.”
Daniel tersenyum.
Ponsel Relisha berdering.
Ken.
“Halo,” sahut Relisha.
“Rel, jemput Poppy sekarang di rumah Olivia.” Titah Ken tanpa basa-basi.
“Oke!” sahut Relish sigap.
“Ma’af, tapi aku harus pergi sekarang.” Katanya penuh penyesalan menatap Daniel.
“Ya, tidak apa. Mmm, kapan-kapan kita ketemu lagi ya.”
“Boleh.”
“Hei,” panggil Daniel saat Relisha sudah beberapa langkah menjauh.
“Kenapa?”
“Hati-hati.” Daniel tersenyum dan Relisha membalas senyum Daniel.
“Terima kasih.” Katanya.
***