Satu Poin Lima
“Liat arah jam tiga!”
Andara tidak langsung menoleh pada apa yang coba ditunjukkan Zura. Dia malah menyeringai, kemudian merespons dengan sedikit mencondongkan badan ke depan, melirik lewat ekor matanya.
“Dayong?”
“Heem. Kenapa ia asik miringkan kepala, toleh kat sini? Tak takut terkilir dia punya leher?”
Andara hanya tersenyum. Mulutnya hampir terbuka, tetapi ia urung untuk sekedar bercerita. Pertemuan tak sengaja antara dirinya dengan Dayong di Kuala Lumpur International Airport. KLIA II minggu lepas, atau tepatnya saat liburan tahun baru kemarin berakhir.
“Mesti kamu sembunyikan sesuatu? Secret yang berbau belereng.”
“Ada, deh. Secretly greatly ….”
“Ais … K-Movie pula. Woi, Nek, jangan maen rahasia. Ayolah! Atau, aku langsung kirim pesan ke dia!” ancam Zura.
Andara langsung menghentikan tangan Zura yang berusaha menyeluk ponsel dari kantong celananya. Meskipun tahu, perempuan itu jelas tak memiliki kontak Dayong. Mata mereka sejenak beradu, ada hal tersirat yang coba diungkap Andara. Ia mengedikkan kepala.
"Fokus pada beliau yang berada di mimbar. Itu telepon bimbitnya, masukkan, Opah!"
Sang CEO, sering dipanggil EM atau Encik Mohammad Yusuf. Pria pertengahan lima puluh tahun itu sedang memberi pengarahan dengan suara terbata-bata. Ya, seperti biasa.
Zura mencebik, “Apa yang nak ‘Mat Salih’ itu cakap, ada dalam ni,” juihnya pada lembaran yang ada di pangkuan. “Jadi, apa yang engkau sembunyikan tentang, Dayong?”
Zura benar. Apa yang akan EM sampaikan memang sudah disalin dalam bentuk risalah. Sudah dibagikan kepada semua peserta meeting. Bukan meeting, lebih tepatnya apel awal tahun. Intinya, bisnis akhir tahun lalu yang suram. Bisa dibilang mengerikan.
Pendapatan yang semakin merosot pada cabang Batam yang berujung demo besar, tuduhan pemilik modal melarikan diri ke Malaysia. Bahkan, sebagian produksi telah dihentikan. Beberapa mesin sudah ditarik ke Malaysia, sebagian lagi, bahkan dilempar ke Chengdu, Provinsi Shicuan di Tiongkok. Ujungnya, pasti bonus yang disunat.
“Nanti patik akan bercerita. Nanti bila masanya telah tiba,” desis Andara mengulur waktu, sambil meniup-niup ujung kerudungnya.
“Bila masa, tu? Lepas ini, bukan kita jumpa selalu, oi. Banyak cakap, kau!”
Andara melipat kertas yang berisi risalah, petikan ceramah atau apapun itu, yang akan dibaca ulang para pembesar syarikat. Dia menulis beberapa baris kalimat. Meski, sebenarnya malas. Akan memulai cerita dari mana. Tidak ada yang penting yang harus diceritakan pada Zura.
Dua minggu lalu, Andara bertemu dengan Dayong. Nama beken dari Daniel Young, Senior Engineer Final Test. Itu yang terakhir Andara tahu. Hubungannya dengan Daniel, bisa dibilang biasa. Awalnya, hanya sekedar tahu sama tahu. Atau, hanya sekedar kenal nama. Andara bekerja pada A Bei dan Mustafa yang kubikelnya berhampiran dengan Dayong. Ya, satu office gitu.
Pasca Mustafa resign, semua hal customer A Bei yang tangani. Sikap Dayong berbeda dengan A Bei. Itu yang ada dalam pikiran Andara. Hal sama, yang banyak pekerja lain dengungkan. Sombong, dan sok kecakepan. Setiap Andara mencoba menghubungi telepon meja bosnya itu untuk sekedar meminta rekomendasi, makhluk sok kecakepan itu yang kebetulan mengangkatnya. Selalu. Yang terjadi pada akhirnya adalah sedikit adu mulut, kata yang lumayan kesat.
Dayong menganggap Andara tipe cewek yang suka menggatal. Menggoda A Bei yang sudah memiliki tunangan, bahkan sampai pria itu akhirnya menikah. Sempat pula dianggap terlalu mesra dengan Mustafa, ketika mengetahui pria itu anak orang Datuk di Ipoh.
Pikiran sampah seakan reject unit mengandung B3; bahan berbahaya, dan beracun. Catat, di mana baiknya si Dayong harus di scrap. Dia patut ditangani secara khusus,'kan?
Andara memang nyaman memiliki bos seperti A Bei. Cerdas, ramah dan humoris. Selain itu, pekerjaannya teliti dan rapi. Pria itu juga jenis bos yang tidak main hantam bawahan, lalu menjatuhkan vonis bila ada customer complain. Jadi, jelas bukan hal yang ada kaitannya dengan hati atau parahnya, ia dituduh ‘naksir’.
Untung sekarang dirinya bukan bagian dari test departemen lagi. Yah, meski kalau ada hal urgent dia harus berjibaku juga, yang artinya follow up sampai line.
“Sebelum cuti tahun baru, aku ada beberapa lot yang harus shipping sebelum Chirstmas. Mesti, ya, keluar masuk line untuk follow up langsung,” bisik Andara.
“Apa hubungannya dengan Daniel?”
“Harusnya aku pinjam komputer orang produksi, atau Asyikin, tetapi kebetulan guna semua. A Bei, eh, dia lagi sibuk. Oke, aku pinjam PC si Daniel. Coba tebak, ada apa di sana?”
“Entah? 30 day notis for resignation letter.”
Andara tersengih lebar, buru-buru menutup mulutnya. Untung tidak apa yang memperhatikan. Dia tahu, banyak staf rendahan seperti dirinya yang hanya kasak-kusuk karena tidak tahu apa esensi mereka dikumpulkan di aula setiap awal tahun. Kecuali, yeah, kluenya cuma itu; pengurangan bonus. Lagi pula levelnya hanya remahan rempeyek tengik yang tertinggal di lipatan kaleng. Dia, sedikit dari pekerja migran asal Indonesia yang bertahan, dan bisa duduk pada posisi ini. Bisa berada di sini berbaur dengan orang besar. Tempat duduk di belakang memang pilihan terbaik. Bisa mencuri tidur, atau mengobrol.
“Bukan! Emmm … an annual leave for holiday."
Zura makin mengernyit. Apa yang aneh? Membuat Andara tak berhenti menahan geli meski bisa saja suara tawanya itu menerobos dengungan para staf yang mendapat undangan berada di aula selama satu setengah jam untuk mendengarkan para pembesar berceramah.
“Akhir tahun biasalah, clear leave. Apa yang aneh, Nek?”
“Tau dia tulis apa?”
“Marriage? Apa sih, maen petak umpet. Akhir tahun mestilah ambil cuti akhir tahun.”
“Phuket. Dia liburan tahun baru ke Phuket.”
“Serius, nih?”
Zura akhirnya meledakkan tawa bersamaan dengan ditutupnya pertemuan itu. Semua mulai berdiri menuju pintu. Entahlah, atau hanya perasaan Andara, bahwa mereka saling berdesakan, berebut untuk keluar lebih dahulu. Disertai lenguhan seakan pelampiasan untuk segera menghirup udara segar. Kebisingan itu serupa dengan tingkah anak sekolah yang mendengar bel tanda istirahat atau berakhirnya kelas.
Dua minggu yang lalu, saat Andara sedang mengusir penat, sambil menunggu bagasi, ada satu suara yang mengelitik indra dengarnya.
“Dala!”
Ya, itu suara Dayong. Sebenarnya pria itu bisa mengucapkan ‘R’ dengan jela. Namun, mungkin saja sosok bertubuh tegap itu sedang diliputi sukacita sehingga perlu meluahkan pada Andara. Bertemu kenalan di bandara bagi beberapa orang memang menyenangkan. Ternyata, pria itu sudah memindai sejak melihat dirinya di pintu imigrasi, bahkan menatap tak berkedip. Hanya saja, Andara buat bodoh, pura-pura tidak mengenalinya.
“Oh, aku pikir awak tak pernah balik Indonesia karena berharap mendapat, MyPR?”
Andara hanya terdiam sesaat. MyPR, ya? Malaysian Permanent Resident.
Dia tidak harus menunjukan cebisan tiket, ke mana tujuannya, yang jelas bukan Indonesia. Sememangnya sangat-sangat menyebalkan, karena pria itu terus mengekori. Ketika Andara berhasil meraih bagasi, lalu kembali mendongak, matanya yang suci ternoda ketika melihat beberapa ruam merah di pangkal leher, Dayong. Mau tak mau, Andara meledakkan tawa. Tak peduli dengan orang-orang yang melihatnya semacam sirkus. Mereka sampai menggaruk kepala, seakan ada kerumunan kutu. Biar saja dianggap gila, karena apa yang dilihatnya memang lucu. Gadis itu segera teringat ke mana tujuan Dayong berlibur. Phuket!
“Awak gila, ke?”
“Enggak! Lucu saja, Daniel.” Andara terkekeh, mengesat sudut matanya. Tidak mungkin juga, pria itu mendadak terkena eksim. “Meski laku, tak payah tujuk itu merah-merah di leher.”
Dayong meraba pangkal lehernya, lalu menyeringai. “Anak dara, mana tahu hal-hal macam ini. Hmm …?”
Andara mendengkus, membalas tatapan mengejek Dayong dengan jelingan tajam. Dia bersedekap, tak perlu bersusah payah menunjukkan apa pun pada pria di depannya. Bisa saja, sebuah fakta pria menawan itu sudah terkontaminasi bahaya laten penyuka sesama jenis.
Andara bergidik ngeri ketika mendengar obrolan pekerja yang menghabiskan akhir pekan di Hat Yai, menonton pertunjukan kabaret, tarian khusus dewasa. Meski dibayar sepuluh ribu ringgit, Andara enggan. Memikirkan saja membuatnya mual.
Meski dirinya dahulu pernah membawa pekerja Indonesia untuk trip ke sebuah cruice yang bersandar di Pulau Pineng. Yang membuatnya ngeri, karena geladak paling bawah adalah kasino. Begitu melihat penampakannya, para kru langsung tertawa. Mereka mengatakan Andara salah kostum, dan tempat. Harusnya pergi masjid, mengaji, bukan mengunjungi kapal pesiar.
Selain kasino, kapal pesiar dengan delapan geladak itu dilengkapi hotel, restoran, bioskop, dan bar. Pada geladak paling atas ada semacam lapangan olah raga, kolam renang dan mini golf.
Setiap orang HRD yang berpapasan dengannya akan tersenyum simpul melihat mukanya yang berlipat pasca insiden di kapal Norwegian Dreams tersebut. Kapok? Tentu saja.
Usianya hampir duapuluh delapan dan dia tidak buta akan hal serong. Juga romantisme semu. Meski Andara belum pernah mencipta hal menggelikan itu.
Ah, baginya, masih banyak medium yang mampu membuat hidupnya lebih berwarna. Sekedar tato leher, big no! Bukan pula dengan free s*x seperti yang banyak dianut orang jaman sekarang. Apa hebatnya?
Selain dosa besar, Andara tidak ingin apa yang dia rasakan kini, akan dirasakan pula oleh seorang anak yang terpaksa lahir dari perbuatan serong kedua orang tuanya, yang entah di mana.
Dia tahu, banyak pekerja migran di negara ini seperti lepas kontrol. Merasa jauh dari orang tua, lalu melampiaskan dengan mencari pasangan asal jadi. Asalkan ada yang menemani mereka jalan, makan, nonton, bahkan tidur.
Hembusan pendingin udara yang keras menapar pipi Andara, mengembalikan dirinya pada aula yang mulai sepi. Dia menghela napas, berjalan pelan.
Memilih menjadi orang terakhir, dan membiarkan Zura sahabatnya menyelinap lebih dahulu. Perut perempuan itu berdendang lapar. Dia maklum. Mungkin, bukan Zura yang lapar, tetapi bakal bayinya. Sekali lagi, Andara menoleh. Tentu ruangan ini tidak benar-benar sudah kosong. Sebagian orang besar masih ada di situ. Para section head, manager, juga vice presiden sedang bersenda gurau tentang bonus. Mungkin?
Akan tetapi, matanya menangkap satu sosok di antara mereka. Andara kembali melirik pada benda persegi di genggamnya ketika sebuah pesan masuk.
Daniel [Bonus, satu poin lima]
Ah, sedikit sekali. Tapi, alhamdulillah, dengung Andara ketika mencapai pintu keluar.