MAMA (2)

1477 Kata
"Lihatlah jauh ke dalam alam, dan kamu akan mengerti segalanya dengan lebih baik." - Albert Einstein.   “Re, cuaca sedang tidak bagus. Kali ini, tolong tinggallah di rumah,” ucap Mama. Kugelengkan kepala. “Rea sudah menerima tugas pendampingan ini, Mama. Kami sudah setengah jalan. Tidak mudah menyerahkan kepada orang lain sebab setiap orang punya gaya pendampingan yang berbeda. Lagipula yang Rea dampingi anak perempuan. Tidak mudah mencari senior perempuan yang mampu mendaki Puncak II.” “Re, tolonglah. Jika semua sedang baik-baik saja, Mama tidak pernah melarangmu. Tetapi kamu lihat situasi kita. Seharusnya kamu diam di rumah bersama keluarga pada situasi sulit, Rea.” “Kalian menganggap Rea anak kecil dan tidak akan paham masalah orang dewasa. Padahal Rea butuh penjelasan. Kenapa tidak mencoba membuat Rea mengerti? Sudahlah. Bukan salah Rea Mama dan Papa bercerai,” ucapku sambil meninggalkan Mama. Aku masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Sayup kudengar tangis Mama. Aku menitikkan air mata membaca catatan detil pertengkaran yang kutulis pada malam sebelum mendaki Puncak II. Saat berjarak begini baru kusadari mungkin saat itu Mama begitu rapuh. Mama melarangku pergi karena sedang membutuhkan dukunganku, paling tidak aku ada bersamanya. Situasi keluarga kami memang tidak nyaman tiga tahun terakhir. Saat kenaikan ke kelas 8, aku memergoki Papa memiliki keluarga yang lain. Aku pernah sampaikan kepada Mama. Respon Mama selalu penolakan. Walau kedengarannya tidak yakin, Mama percaya Papa bukan jenis pria seperti itu. Lalu tibalah hari ketika Papa semakin jarang pulang. Saat Papa pulang, orang tuaku lebih sering bertengkar. Tangis Mama menjadi suara yang akrab di telingaku. Saat itu, aku sudah akrab dengan Pecinta Alam. Intensitasku berkegiatan luar tidak ada perubahan, yang berubah adalah intensitasku menikmati kegiatan di rumah. Aku tidak melampiaskan amarahku dengan menjadi anak pembangkang atau berbuat nakal untuk mencari perhatian. Aku sibukkan diri dengan hal yang lebih berfaedah, misalnya menggiatkan penghijauan dan aktif di berbagai organisasi yang berfokus kepada lingkungan. Aku juga rajin mengikuti pelatihan yang berhubungan dengan tanaman, apalagi yang gratisan. ‘Mama, maafkan Rea. Seharusnya Rea mengerti betapa berat apa yang tengah Mama jalani. Bisa jadi Mama dan Rea punya andil sehingga Papa demikian. Tetapi pria yang baik akan tetap tinggal dalam situasi paling buruk sekalipun. Maafkan Rea. Jika Rea mendapatkan kesempatan pulang, Rea akan perbaiki situasi kita. Rea akan lebih adil kepada Mama dan Papa.’ Kututup buku harian dan kudekap. Isakku tidak dapat kutahan lagi. Kubisikkan doa untuk Mama. Juga Papa. “Kamu baik-baik saja, Rea?” suara Todd mengisi ruang kamarku. Wajahnya muncul di layar tidak lama kemudian. Kuusap pipi untuk mengurangi basahnya karena air mata. “Aku sudah bilang aku tidak ingin dimata-matai setiap saat, Todd.” Todd tersenyum. Ia juga sedang bersandar pada bantal di atas tempat tidurnya. Posisinya sangat santai. “Aku minta maaf karena harus menjalankan tugasku hingga sedetil ini. Aku tidak mau kecolongan lagi.” Kuanggukkan kepala. “Kenapa kamu menangis?” “Aku yakin ada suatu cara kamu bisa membaca catatan di bukuku ini,” godaku. Todd tertawa. Benar saja. Tiga detik kemudian layar menunjukkan tangkapan dari apa yang kutulis di buku. Tanganku yang sedang memegangnya juga masuk frame, bahkan setiap geraknya. Ini live. Kudongakkan kepala untuk mendapati sebuah celah bulat kecil di atas kepalaku. “Besok, bolehkah aku meminjam kacamatamu? Aku ingin tahu di mana saja kalian meletakkan kamera tersembunyi di kamar ini.” Todd tertawa. “Jadi, orangtuamu berpisah? Itu alasannya mengapa kamu hanya tinggal di rumah itu bersama Mamamu?” “Betul.” Ia menatapku. “Kalau kamu masih sedih dan ingin menangis, menangislah. Ini akan menjadi rahasia kita berdua saja.” Aku tersenyum walau tanpa kusadari ada yang mengalir di pipiku. Todd kembali tampil di layar, sepertinya mengatur zoom in di kameranya. Ia terus menatapku. Kututup muka dan kupuaskan menangis. Ternyata rasanya lebih lega saat kamu menangis da nada seseorang yang bisa kamu percaya sedang bersamamu. Kamu tahu ia hadir, turut merasakan kesedihanmu, dan siap menerima curhatmu. Hah. Apa? Itu Todd? Entah berapa lama aku menangis. Saat kusudahi, kuangkat muka dan Todd masih menatapku sambil tersenyum sabar. Matanya menyiratkan perhatian dan kasih yang tidak bisa kupungkiri. Entah itu sebagai teman atau apalah. Aku tidak peduli. Kutarik tisu dan kubersihkan mukaku. “Terima kasih sudah menemaniku menangis, Todd.” Ia tersenyum. “Boleh kutepuk bahumu?” tanyanya. Aku tertawa sambil masih menangis. Todd mengulurkan tangan kanannya. “Jika pelukan bisa membantu meringankan bebanmu, akan kuberikan juga.” Kali ini ia merentangkan kedua tangannya. Kuanggukkan kepala sambil tertawa pelan. Kututup muka karena entah bagaimana aku malu dengan keadaan ini. Bermenit-menit aku berusaha menenangkan diri. Akhirnya aku bisa menarik nafas dalam-dalam dan memberikan Todd senyuman lega. Todd tersenyum sambil menurukan lengannya. Baru kusadari sedari tadi ia tidak mengenakan atasan. Sekilas aku bisa melihat bentuk enam kotak di perutnya. Kualihkan pandangan. Ini jam malam. Bisa saja kondisi kamar Todd berbeda sehingga ia terbiasa tidur tanpa atasan. “Bagaimana rasanya memiliki orangtua?” Aku menatapnya. Sorot matanya tenang dan ia menanti. “Mengapa kamu menanyakan hal itu, Todd?” “Aku dan anak-anak lain di tempat ini tidak tahu siapa orangtua kami. Salahkah aku bertanya seperti itu?” “Tidakkah itu menyakitkan bagimu?” “Itu … menyakitkan ketika kamu tahu kamu anak seseorang dan dengan sengaja ia membuangmu. Tetapi percayalah, aku tidak tahu pasti sel telur siapa dan sel s****a siapa yang mewujud menjadi diriku ini. Aku juga tidak ingin tahu. Seandainya kutelurusi, bisa saja. Tetapi aku takut jika jawabannya, misalnya, aku anak Erland. Tidakkah itu jauh lebih mengerikan?” Aku spontan tertawa atas ucapannya. “Aku bisa bayangkan betapa mengerikannya jika kenyataannya seperti itu,” ucapku. Todd tertawa. “Jadi, bagaimana rasanya memiliki orangtua?” “Yah, sampai usiaku tiga belas tahun, aku masih menikmati kasih sayang utuh dari Mama dan Papa. Mereka memberiku kehidupan yang layak, memenuhi kebutuhanku, mengajariku banyak hal, membawaku berlibur, bahkan sesekali mengajakku bercanda. Aku merasa aman bersama mereka. Aku merasa terlindungi.” Todd tersenyum. “Apa di sini kamu merasa aman dan terlindungi, Rea?” “Aku punya penjaga yang mengawasiku setiap saat. Bagaimana aku akan merasa tidak aman dan tidak terlindungi.” “Apakah itu artinya aku menjadi orangtuamu?” “Tidak seperti itu, Todd. Ada perasaan keterhubungan antara manusia yang disebut kasih sayang. Karena menyayangiku, Mama tidak akan tinggal diam melihatku sakit. Ia akan berusaha semaksimal mungkin membantuku sembuh. Saat aku sehat kembali, ia memelukku dan mengatakan betapa ia bersyukur masih diberi kesempatan menemaniku lebih lama. Saat aku berhasil mencapai sesuatu, Mama memelukku dan mengatakan betapa ia bersyukur atas perkembanganku.” Todd bangkit dari posisi bersandar. “Apakah kasih sayang hanya antara orangtua dan anak?” “Tidak, Todd. Pada saatnya, anak manusia akan menemukan sosok pasangan tempat ia berbagi kasih sayang. Pada tahap perkembangan itu, orangtua harus merelakan anaknya memasuki kehidupan baru. Anak akan berlepas dari orangtuanya, mandiri, membentuk keluarga baru, dan berlanjutlah siklus kasih sayang itu. Meski kami juga diajarkan untuk terus berbakti kepada orangtua meskipun sudah mandiri dan punya keluarga sendiri. Kasih sayang orangtua tidak akan terputus meskipun anaknya sudah bersama orang lain.” Todd menatapku sambil berpikir serius. “Bagaimana denganmu? Apa kamu sudah membentuk keluarga baru itu?” “Aku masih tujuh belas tahun, Todd. Belum saatnya melangkah sejauh itu. Lagipula, masih banyak yang ingin kulakukan. Aku tidak yakin akan bisa melakukan semua itu ketika aku sudah memiliki keluarga. Bukan berarti aku tahu, ya. Tetapi aku melihat pembinaku yang perempuan, misalnya. Terkadang ia tidak bisa menemani kami mendaki gunung karena tidak ada yang bisa menggantikan menjaga anaknya.” Todd tersenyum. “Apakah kamu tahu apa tanda-tanda seseorang di luar orangtua yang memiliki kasih sayang lebih kepadamu? Seseorang yang mungkin kelak akan kamu pilih untuk menjadi keluarga barumu?” “Orang itu memperlakukan aku tidak seperti ia memperlakukan gadis lain. Ada kasih sayang yang dia tunjukkan dalam kata-kata, perbuatan, bahkan doanya. Ia memahami apa yang kusukai dan tidak kusukai dan ia mau menyesuaikan diri dengan itu. Yang jelas, ia akan mau berjuang bersamaku mempertahankan keluarga kami.” Todd terdiam. “Jika orangtuamu berpisah, apakah itu artinya papamu sudah tidak memiliki kasih sayang lagi kepadamu dan mamamu? Ia tidak mau berjuang mempertahankan keluarga kalian?” “Itu juga sangat menggangguku, Todd. Aku tidak mengerti mengapa Papa berhenti berjuang. Ada masa ketika aku merasa itu karena kesalahanku.” “Aku bertambah tidak paham. Jadi tidak mungkin kamu tahu orang itu mau berjuang bersamamu sampai tiba saatnya perang.” Aku tersenyum. Dia benar. Bagaimana aku tahu. “Aku belum berpikir sampai ke sana, Todd.” “Senang berbagi pemikiran seperti ini denganmu, Rea. Kalau kamu sudah punya ide untuk jawaban pertanyaan terakhirku tadi, beri tahu aku.” Kuanggukkan kepala. “Kamu belum mengantuk, Todd?” “Sudah. Tetapi melihatmu menangis, mana bisa aku tidur.” “Aku sudah tidak menangis. Jadi, selamat malam. Tidurlah. Kita bertemu lagi besok pagi.” Todd mengangguk sambil tersenyum. Ia mematikan layar, meski aku tahu ia tetap mengawasi dan menjagaku. Aku menarik selimut dan memejamkan mata sambil tersenyum. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN