"Tanam benih kebahagiaan, harapan, kesuksesan, dan cinta;
semumaranya akan kembali kepadamu dengan berlimpah.
Ini adalah hukum alam." - Steve Maraboli.
Aku keluar kamar dan melangkah menuju laboratorium tempat Todd dan Lez bekerja. Sepanjang perjalanan, banyak pemuda menyapaku. Mereka menyampaikan pesan yang sama seperti Jo dan kawan-kawannya. Aku tidak mengerti.
Todd dan Lez menyambutku ramah. Al juga menyambutku, meski kemudian ia memisahkan diri di laboratorium sebelah yang lebih kecil. Ia sibuk menyambungkan berbagai kabel untuk sebuah alat yang entah apa.
Todd dan Lez menunjukkan hasil rancangan alat pengambil sampel tanah yang disertai pengontrol jarak jauh. Mereka menebarkan rancangannya di atas meja. Kami berdiskusi serius. Alat itu cukup kecil, seukuran kardus air mineral. Istimewanya, ia mampu mengebor hingga kedalaman lima meter, mengambil sampel, dan memilahnya sesuai kedalaman pada bagian penyimpanan.
“Aku tidak hanya membutuhkan sampel tanah pada berbagai lapisan. Apakah kalian punya alat analisa kandungan mineral dalam tanah?”
“Kita bisa gunakan analisa bahan padat,” jawab Todd yakin.
Lez berbalik untuk mengetik sesuatu pada layar, kemudian mengangguk setuju.
“Kita bisa pakai alat itu.”
“Kamu mengetik apa, Lez?” tanyaku.
“Alat itu miliki divisi nutrisi. Kita harus meminjam dan mengembalikannya dengan kondisi baik.”
Oke. Aku paham. Kuanggukkan kepala. Aku tahu tentang kebutuhan alat analisa tanah karena pernah mendapatkan materi ini pada pelajaran biologi. Lebih dalam lagi hal itu kuperoleh saat tim PA baksos di sebuah kampung.
Aku masih ingat isi paparan petugas Dinas Pertanian yang dimintai bantuan mengajari tentang kebun di lahan sempit. Tanaman tertentu, memerlukan nutrisi tertentu untuk tumbuh optimal, sehingga terkadang pupuk buatan diperlukan. Aku tidak yakin tentang ini, tetapi diurus nanti saja saat hasil analisa tanah sudah diketahui.
“Apa yang ingin kalian tanam untuk percobaan pertama?” tanyaku.
“Apapun yang berwarna hijau dan berdaun,” jawab Todd ringan.
“Hmm, aku punya biji kacang hijau di ranselku.”
Mereka mengangguk sambil lalu. Aku curiga mereka tidak paham apa itu kacang hijau.
Kami kembali sibuk berdiskusi. Saat rancangan siap, Lez memasukkan rancangan itu ke sebuah mesin berkaca, mirip kotak kaca pembuat popcorn di bioskop. Saat Lez menekan tombol, muncul jarum-jarum dari berbagai sisi. Lambat namun pasti, rancangan itu mewujud. Rupanya, alat itu adalah printer 3 dimensi. Aku sendiri belum pernah melihat secara langsung, walau orang-orang sudah berhasil membuat alat ini.
“Wow, ini keren sekali,” pujiku spontan.
Todd dan Lez tertawa. Aku yakin pandangan mereka melihatku seperti gadis udik yang baru lihat kemegahan kota besar.
“Jangan bilang di tempatmu belum ada yang seperti ini,” kata Todd.
Tuh kan. Aku berusaha mengalihkan pandangan dari jarum-jarum printer. Tetapi tetap saja benda itu terlalu menarik untuk diabaikan.
“Sudah ada. Banyak digunakan para desainer untuk membuat prototype. Tapi kalau kamu tanya apakah aku pernah menggunakan, jelas tidak. Belum penting banget punya alat seperti ini.”
Mereka tertawa.
“Kenapa?”
“Aku bukan desainer. Aku tidak perlu mencetak apapun setaraf ini. Lagipula, harganya masih mahal sekali. Belum lagi pasti masih jarang ada yang menjual isi ulang bahan pencetak.”
Mereka mengangguk.
Sambil menunggu printing selesai, Todd membuka stok tablet berwarna kuning.
“Apa sih bedanya warna-warna tablet ini?” tanyaku.
“Saat kamu bekerja, kamu butuh banyak energi. Jadi tablet dengan kandungan karbohidrat dan lemak tinggi yang diberikan.”
“Berapa jenis tablet yang kalian punya?”
“Saat ini, masih hijau dan kuning saja. Divisi nutrisi sedang mengembangkan jenis ketiga.”
“Oh, yang kemarin malam dijelaskan itu. Baiklah.”
Todd menyerahkan masing-masing sebuah tablet padaku dan Lez. Ia juga pergi sejenak menyerahkan satu tablet untuk Al. Mereka berdua minum dari botol masing-masing. Ups, aku lupa dengan botolku.
“Lain kali, bawa botolmu ke manapun kamu pergi. Kami diajarkan bahwa membiarkan teman yang tidak membawa botol air hingga dia mati itu bukan kesalahan.”
Aku tertegun. Itu ekstrim banget.
“Sampai segitunya?” tanyaku.
“Di negeri ini, air sangat berharga. Seseorang yang lalai dengan bahan hidup seperti air, memang cari mati,” kata Lez.
Todd berdiri mengambil sebuah gelas mungil. Ia menuang air dari botolnya untukku.
“Pasangan memang harus menjaga ya,” seloroh Lez sambil melihatku meminum tablet.
Aku menatapnya sambil menelan.
“Apa maksudmu?” tanyaku pada Lez.
“Lupakan saja. Kamu dalam proyek denganku. Tidak masuk akal kalau aku membiarkan kamu lapar, sakit, atau mati. Tristaz bisa saja membunuhku tanpa perlu banyak pertimbangan jika aku menghilangkan sumber daya hebat sepertimu,” ucap Todd.
Ia mengambil gelasku lalu memasukkannya ke lemari penyimpan. Deru pelan menandakan itu lemari pencuci.
Aku bergidik ngeri membayangkan melihat Tristaz membunuh Todd. Baiklah. Aku akan menjaga diriku baik-baik. Aku tidak mau pemuda dengan berbagai kemampuan hebat seperti Todd harus dihilangkan gara-gara kelalaianku.
Proses printing selesai. Mereka tersenyum menatap hasil karyanya yang masih dalam proses fiksasi agar strukturnya kuat. Kami belum bisa membuka kotak mesin popcorn itu.
“Alat akan siap besok, Rea. Malam ini istirahatlah. Besok pagi kita uji coba. Jika tidak ada masalah, dua hari lagi kita mulai melakukan proyek,” kata Todd.
Aku mengangguk.
“Ingat, besok bawa botolmu,” sahut Lez.
Aku mengangguk.
“Todd, kamu sibuk? Aku ingin bicara denganmu.”
Todd menatap Lez. Lez mengangguk sambil tersenyum menggoda. Todd mengernyitkan hidung seolah sedang mengancam Lez.
Aku pamit kepada Al.
“Kak Rea, saya berharap bisa menemani Kak Rea bekerja,” ucap Al.
Aku beri dia senyum.
“Kita lihat nanti, Al. Apa yang sedang kamu kerjakan?”
“Todd memintaku memperbaiki alat ini. Aku masih mencari tahu kabel mana yang harus saling disambungkan agar mesin pembersih ini bisa bekerja kembali.”
“Wow. Itu hebat. Selamat bekerja.”
Al tersenyum lebar. Aku tinggalkan laboratoriumnya. Todd sudah menungguku di depan pintu.
“Sepertinya Al menyukaimu.”
“Ia berharap bisa bekerja bersama kita. Apakah boleh ia diajak riset?”
“Untuk tiga bulan pertama ia tidak boleh meninggalkan markas. Tetapi aku akan ijinkan dia melakukan eksperimen ringan bersama kita. Kuharap kamu punya bahan untuk itu. Apa yang ingin kamu bicarakan? Apa kita perlu tempat khusus karena yang ingin kamu bicarakan itu rahasia?”
“Apakah pembicaraan tentang tumbuhan yang ingin kalian tanam ….”
Todd menarikku masuk ke sebuah lorong sempit. Di sana ia membuka pintu rahasia dan kami masuk ke ruangan sejenis ruang rapat untuk tim kecil.
“Todd?” protesku.
Ia tersenyum.
“Rea, sudah saatnya kita serius. Apa yang sedang kita kerjakan adalah proyek rahasia. Kamu boleh mengatakan bahwa yang sedang kamu kerjakan adalah meneliti kandungan bahan di dalam tanah. Tetapi rahasiakan semua hal tentang proyek ini kepada orang selain aku, Lez, dan Tristaz. Kami mencurigai ada mata-mata Erland di markas ini. Belum saatnya mereka tahu manfaat dan tujuan proyek kita. Apa yang kita sedang kerjakan ini ….”