Hanya kepada orang yang halus perasaannya,
keindahan dan rahasia alam ini dibukakan Tuhan untuknya. (Socrates)
Hiruk pikuk sekitar mengingatkanku bahwa aku tidak hanya berdua dengan Todd di ruangan itu. Sekelompok muda-mudi mendekati meja kami.
“Hai,” sapa seorang gadis sambil duduk di sebelahku.
“Hai,” jawabku.
“Rea, ya? Selamat bergabung. Aku Vail.”
“Hai, Vail. Senang berkenalan denganmu.”
Wow. Aku pasti sangat populer di sini. Aku mulai tidak nyaman.
“Luka-lukamu sangat parah saat kamu datang. Apakah kamu sudah merasa enak sekarang?”
Aku menjadi curiga kondisiku saat baru datang menjadi salah satu konten Saluran 4.
“Sudah. Mary merawatku dengan sangat baik.”
Vail tersenyum. Ia memperkenalkan aku dengan teman-teman yang datang bersamanya. Ada tiga gadis duduk satu meja denganku.
Kami mengobrolkan beberapa hal remeh seperti mengapa diantara kami ada yang rambutnya lurus sepertiku dan ada yang ikal seperti Vail. Rasanya senang akhirnya bisa mengobrol dengan sesama perempuan. Walau jujur saja, di sekolah aku tidak pernah mengobrolkan hal remeh seperti ini. OMG. Ternyata jadi cewek biasa itu tidak terlalu buruk.
Obrolan terhenti ketika permukaan meja di depanku membuka lalu muncul rel tunggal kecil. Tidak lama kemudian, deretan gelas dan tutupnya yang sekaligus berfungsi sebagai wadah tablet berjalan sesuai jalur. Gelas itu berhenti di depan masing-masing orang.
Entah bagaimana, semua orang menanti dengan sabar. Sepertinya juga sama sekali tidak terlihat lapar atau berminat sekali dengan apa yang tersaji. Aku sendiri merasakan perutku masih penuh setelah tablet tadi siang.
Setelah semua gelas tiba di depan masing-masing orang, seseorang di meja bagian depan berdiri. Ia memukul segitiga logam satu kali.
“Selamat menikmati!” teriak setiap orang. Mereka mengambil tablet dari penutup gelas. Setelah itu memasukkan ke mulut, minum air, mengulumnya, kemudian menelan. Setelah itu menghabiskan air minum dalam gelas. Setelah ‘makan dan minum’ wajah-wajah mereka tidak terlihat puas, bersyukur, apalagi berdoa setelah makan.
Kuhela nafas. Kuhabiskan air di gelasku lalu berdoa. Kuucapkan syukur karena masih diberi kesempatan hidup. Aku memohon agar juga masih diberi kesempatan untuk meminta maaf dan berbakti kepada Mamaku. Aku menoleh menatap Todd yang sedari tadi terlihat mengamatiku.
“Ada yang aneh?” tanyaku.
“Ada banyak hal yang masih ingin kutanyakan padamu.”
Aku beri dia senyuman.
Semua menoleh karena Tristaz memukul gelas meminta perhatian.
“Warga Path 09, ayo kita bicarakan perkembangan gerakan ini.”
Suara obrolan berangsur hilang, berganti sunyi karena semua memerhatikan Tristaz.
“Divisi nutrisi, bagaimana perkembangan kalian?” tanya Tristaz pada pemuda yang duduk paling kiri di meja panggung.
Yang ditanya bangkit dari duduknya, menganggukkan kepala, lalu menghadap penonton.
“Teman-teman, divisi nutrisi sedang mengembangkan tablet jenis baru yang akan diisi dengan vitamin dan mineral. Dua nutrisi ini sedang kami kerjakan sintesisnya. Ketika sudah jadi nanti, tablet ini dapat membantu teman-teman yang sedang tidak prima.”
Tepuk tangan menyambut pidato singkat itu.
“Apa maksudnya tidak prima?” tanyaku pada Todd.
“Terkadang kondisi badan mudah lelah, lemas, semacam itu. Padahal sudah minum tablet, olahraga, dan beristirahat. Divisi nutrisi telah mengetahui bahwa itu disebabkan kekurangan zat yang di tempatmu disebut vitamin dan mineral.”
Kuanggukkan kepala. Di tempatku, anak SD sudah tahu hal ini. Tetapi tempat ini benar-benar berbeda. Kuno dalam modernitas, sekaligus modern dalam kekunoannya. Ini di mana sih? Pada jaman apa?
“Divisi Teknologi, silahkan,” kata Tristaz.
“Hari ini, kami melakukan uji coba teknologi baru pada mesin transportasi. Teknologi baru ini memungkinkan seleksi yang lebih baik terhadap target maupun keselamatan pengambilan. Kita tidak ingin target berikutnya luka parah, yang mengakibatkan proses penyesuaiannya terhambat.”
Entah mengapa semua mata serempak tertuju kepadaku. Saat Tristaz berdehem, mereka segera mengalihkan perhatian.
“Divisi Sumber Daya Manusia, silahkan,” kata Tristaz.
Satu-satunya perempuan di meja panggung berdiri. Walau perempuan, wajah dan bahasa tubuhnya terlihat tegas. Mm, bisa kubilang tubuhnya atletis banget. Mbak-mbak jagoan nih.
“Hari ini dilakukan latihan menembak jarak jauh. Keterampilan ini diperlukan baik ketika menyerang, maupun mempertahankan diri. Jadi, terima kasih untuk yang sudah menjalani latihan hari ini. Ikuti terus latihan virtual mandiri. Kalian yang namanya muncul di daftar besok pagi, silahkan mengikuti.”
Hadirin bertepuk tangan. Sepertinya, latihan ini sangat dinanti-nanti.
“Saya harap kalian juga berlatih lebih keras dalam bertarung tangan kosong. Itu penting untuk menjaga stamina dan keterampilan kalian. Kita tahu pasukan Erland seperti apa. Kita harus berusaha melampaui mereka.”
OMG. Kata-kata ini luar biasa. Bukan lagi sekadar mengimbangi, tetapi langsung menggunakan bahasa melampaui. Mbak, kau keren sekali.
Tristaz menatap gadis itu sambil tersenyum kagum. Ia memberikan tepuk tangan singkat.
Si Mbak tersenyum lalu kembali duduk.
“Divisi Pengintai, silahkan,” kata Tristaz.
Seorang pemuda gagah berdiri sambil menebar senyum kepada penonton. Senyumnya ditahan cukup lama saat tatapannya tiba padaku.
“Kami akan melakukan pemutaran jadwal pengintaian di 8 titik wilayah kita. Silahkan teman-teman menepati jadwal masing-masing.” Hanya itu. Ia mengedipkan mata kepadaku, lalu memberiku senyum.
Aku pura-pura rabun jauh.
“Baiklah. Terima kasih untuk semua kepala divisi dan timnya. Kalian telah menjalankan tugas dengan sangat baik. Saya yakin, ke depannya kalian perlu mengalihkan tugas kepada angkatan yang lebih muda. Jadi mari kita sambut adik-adik kita yang baru pindah dari Rumah Kanak-kanak.” Tristaz memberikan kode kepada anak-anak yang duduk di sekitar meja tengah.
Mereka berdiri, kemudian naik ke panggung dan berbaris menghadap kepada kami.
“Silahkan perkenalkan diri kalian masing-masing,” perintah Tristaz.
Anak yang berdiri paling ujung kanan maju selangkah.
“Nama saya Al. Saya akan berada di divisi pengintai. Saya akan belajar bersama Kak Todd.”
Todd berdiri sambil memberikan salam tembak kepada Al. Al membalasnya. Hadirin yang lain memberikan aplaus untuk mereka berdua.
Anak-anak lain bergiliran menyebutkan nama dan tempat tugasnya. Sang Tutor berdiri dan memberikan salam khas, kemudian yang lain memberikan applaus. Demikian sampai anak terakhir selesai memperkenalkan diri.
“Saya harap kalian bisa belajar dengan cepat dan bertugas dengan baik. Khusus kamu Al, kamu akan belajar juga dari tutor lain yang luar biasa. Meski saya yakin kalian semua sudah mengenalnya, tetap akan lebih baik kalau kita berkenalan secara resmi dan menyambutnya di sini. Rea, silahkan naik ke panggung.” Tristaz tersenyum kepadaku.
Aku menatap Todd. Ia mengangguk lalu menunjuk panggung dengan dagunya.
Aku menarik nafas panjang dan berdiri. Kulangkahkan kaki menuju panggung. Suasana ruang mendadak sepi. Aku jadi salah tingkah, tetapi maju sajalah.
“Hai. Perkenalkan. Aku Rea. Aku akan bersama Todd.”
Ruangan hening.
Aku picingkan mata. Ada apa?
Beberapa pemuda di sekitar Todd berdiri dan menepuk punggungnya. Tidak lama kemudian tepuk tangan membahana mengisi ruang. Tetapi sungguh, entah kenapa aku merasa tepuk tangan ini berbeda dengan yang tadi diberikan untuk anak-anak baru.
“Baiklah. Rea sudah memilih. Kalian yang lain silahkan menjaga kedamaian bersama,” keluhan mengisi ruang, namun mereka tertib kembali ke tempat duduk masing-masing. Aku menoleh menatap Tristaz sambil menunjuk tempat dudukku. Tristaz mengangguk. Aku kembali duduk di sebelah Todd.
“Baiklah, adik-adikku semua. Mari kita lanjutkan aktivitas kita masing-masing.”
Segitiga logam kembali dipukul. Semua bangkit dari tempat duduknya. Rel di atas meja juga menghilang kembali. Aku merasa perlu memeriksa bagian bawah meja.
“Ada apa?” tanya Todd.
“Meja ini keren. Rumah makan di duniaku boleh mempertimbangkan ini untuk mengurangi karyawan.”
Todd tertawa pelan.