MAKAN MALAM PERTAMA

1207 Kata
"Adopsilah kecepatan alam. Rahasianya adalah kesabaran." - Ralph Waldo Emerson   Hari sudah senja saat aku terbangun. Aku sudah merasa terbiasa melihat suasana di luar jendela yang berwarna abu-abu. Saat senja, warnanya tetap abu-abu. Berbeda di intensitas gelapnya saja. Aku melangkah ke jendela menatap matahari terbenam di sisi kiri jendela. Entah kenapa, aku teringat Mama.          “Rea, ayo berkumpul.” Todd mengetuk pintu. Aku segera mengambil pakaian santai dan menuju kamar mandi. “Sebentar, Todd. Satu menit saja.” “Oke. Aku tunggu.” Tepat satu menit kemudian, aku bertemu Todd di depan pintu kamar. Ia menatapku. “Ganti pakaianmu dengan seragam Path 09, Re.” Aku menatap celana gunung ¾ kaki dan T-shirt yang kukenakan. “Kenapa?” “Kamu boleh memakai ini di dalam kamar. Tetapi saat bertemu yang lain, semua mengenakan pakaian tertutup. Hanya kepala yang boleh terlihat.” Kuangkat bahu. “Satu menit lagi.” Ia tersenyum sambil menerobos pintuku. Ia menunggu dengan duduk di kursi depan jendela selagi aku kembali masuk kamar mandi. “Berkumpul untuk apa?” tanyaku sambil menggantung baju kebanggaanku. “Sebut saja makan malam keluarga. Kamu bisa berkenalan dengan yang lain.” Todd bangkit dan melangkah keluar. “Jadi, ada anak-anak lain yang diambil sepertiku?” “Kenalan dengan anggota kami yang lain,” ralatnya, “Kamu anak pertama yang kami ambil. Emm, kenapa rasanya istilah itu menjadi aneh, ya?” “He he he. Oke. Sebenarnya ada kata yang lebih ekstrim dan lebih tepat lagi, diculik. Tetapi kalian memperlakukan aku dengan baik dan semoga kalian menepati janji untuk mengembalikan aku pulang suatu hari nanti. Jadi ganti saja istilah itu dengan diundang.” “Itu terdengar lebih bersahabat.” Kami tertawa pelan sambil melanjutkan perjalanan. Todd masih mengenakan seragam hitam-hitam. Berbeda pada kacamata yang dia sangkutkan di saku baju sebelah kiri. Bisa jadi hitam-hitam memang seragam hariannya. Mungkin saja jam kerjanya masih sampai nanti malam sehingga sekalian saja dipakai. “Kenapa anak-anak lain itu hanya sedikit yang pakai seragam dan kacamata seperti kalian?” “Ini fasilitas khusus pasukan elit Path 09.” “Pasukan Elit. Di tempatku, pasukan elit itu berarti anggota militer dengan kemampuan dan tugas khusus. Biasanya hanya turun untuk kasus besar saja. Segala hal tentang mereka istimewa.” Todd menatapku. “Di sini, pasukan elit berarti mereka yang tidak punya hari istirahat. Kami harus siap kapanpun dibutuhkan. Soal keahlian, disebut elit tentunya memang masing-masing dari kami punya kemampuan khusus. Soal pelatihan sejak kami kecil, jangan ditanya. Berat banget.” “Tetapi kan sekarang kalian juga menikmati fasilitas lebih.” “Fasilitas itu lebih karena kami juga punya tugas dan tanggung jawab lebih.” Todd mengeluarkan kacamatanya dari saku. Dia serahkan padaku. Aku coba. “Ho ho,” tawaku. Kulepas kacamata yang ternyata berfungsi juga untuk mendeteksi panas tubuh orang di sekitar. Aku juga bisa melihat lokasi kamera pengintai yang dengan pandangan normal tidak nampak. Sepertinya masih banyak lagi yang bisa dilakukan kacamata itu. “Apa kacamata itu juga punya senjata dan kamera tersembunyi?” “Aku heran kamu bisa tahu.” “Di duniaku, ada yang namanya buku sains fiksi dan fantasi. Hal-hal semacam itu standar.” Todd tertawa. “Ada buku apa lagi di duniamu?” “Banyak. Mau petualangan anak, remaja, atau dewasa. Mau membaca tentang segala jenis ilmu pengetahuan, ada. Suka hal-hal yang romantis, banyak sekali judul novelnya. Suka membaca kisah hidup orang lain, bisa. Suka tentang hal-hal aneh, ada.” “Sudah berapa banyak buku kamu baca?” “Paling satu judul setiap minggu. Tergantung tebal dan isi buku juga sih. Kalau berat, ya bisa seminggu lebih. Kalau novel ringan, aku bisa sampai tiga judul.” Todd tersenyum. “Kalau kalian di sini?” “Aku sudah tahu tentang novel dalam duniamu. Menarik. Tetapi kupikir di sini kami tidak akan punya waktu untuk itu. Sejak kecil ada buku yang harus kami hafal dan pahami isinya, yaitu tentang teknologi dasar. Setelah kemampuan kami diketahui, kami membaca buku khusus sesuai kemampuan masing-masing.” “Asyik dong, dari kecil sudah fokus.” “Iya. Benar.” “Kenapa pembenaranmu itu terdengar tidak bahagia?” Todd menghela nafas. Ia menatapku sambil tersenyum. “Aku akan ceritakan lain kali. Kita sudah tiba di tempat makan malam bersama. Kuharap kamu bisa mengikuti acara ini sampai selesai.” Kuanggukkan kepala. Kami ke ruang pertemuan besar, tempat sekitar dua ratus anak muda sudah berkumpul. Pakaian mereka rata-rata putih, seperti yang sedang kukenakan. Hanya sekitar lima puluhan orang saja yang memakai pakaian hitam-hitam. Lima puluh orang itu terlihat sangat percaya diri. Sebagian diantaranya berdiri di beberapa sudut dengan wajah waspada. Beberapa orang masih terlihat sangat belia, mungkin berusia sekitar 12 tahun. Ada sekitar dua belas anak, tiga diantaranya perempuan. Yang laki-laki mengenakan setelan dan sepatu putih. Rambutnya dipotong rapi dan seragam. Anak-anak perempuan mengikat rambutnya ke belakang seperti ekor kuda, kemudian dikepang. Terlihat manis dan rapi. Mereka juga mengenakan pakaian putih-putih, hanya saja ada tambahan rok setengah paha. Mereka berkumpul di meja tengah. Wajah-wajah mereka terlihat ingin tahu. Di sekitarnya, pada meja-meja besar yang ukurannya seragam, duduk rapi anak-anak yang lebih tua. Sesekali mereka mengobrol sambil menatap anak-anak berwajah ingin tahu itu. Di bagian depan ruangan, terdapat meja yang ukurannya lebih kecil. Meja itu memuat enam tempat duduk yang menghadap ke meja-meja besar. Paling tengah ditempati oleh Tristaz. Malam itu Tristaz juga mengenakan pakaian khas Tim Elit, dilengkapi dengan sebuah ikat kepala hitam. Seolah menegaskan kemampuannya, Tristaz juga membawa sebuah pedang di pinggang. Tristaz terlihat sebagai orang yang paling tua di ruangan itu. Ia duduk bersama tiga pemuda dan seorang pemudi berseragam pasukan elit di meja panjang pada panggung. Mereka sedang asyik berdiskusi ringan. Sesekali mereka menunjuk anak-anak di bangku tengah ruangan. Todd mengajakku duduk di sudut meja panjang, tidak jauh dari panggung. “Akan ada acara besar?” tanyaku sambil meletakkan kedua siku di atas meja. “Ya. Sebut saja ini acara penyambutan kedatangan anggota baru dan kamu.” Aku beri dia senyum. “Ini acara rutin?” “Ya. Setidaknya setiap tahun ada satu kali kegiatan seperti ini. Kita perlu mengenal anak-anak baru.” “Anak-anak yang duduk di sekitar meja tengah ruangan itu?” “Betul. Mereka baru berusia dua belas tahun. Mereka dipindahkan dari rumah bayi dan kanak-kanak ke markas ini kemarin.” “Apa yang akan dilakukan anak-anak sekecil itu?” “Mereka akan langsung mengikuti tutor sesuai keahliannya. Tahun ini aku mendapatkan satu anak.” “Tahun sebelumnya?” “Tidak pernah ada.” “Sesulit itukah pekerjaanmu sampai tidak ada anak yang berminat?” “Ini bukan masalah minat, Rea. Ini masalah hasil pengujian terhadap bakat.” “Aku jadi ingin tahu apa bakatku jika aku mengikuti tes itu.” “Bakatmu menjadi pecinta alam. Aku sudah menyelidikinya. Jika saat ini kamu aktif dalam berbagai kegiatan lingkungan, berarti jalurmu sudah benar. Percaya padaku. Jika terus kamu lakukan, apa yang sudah kamu lakukan bakal dikenal banyak orang. Mungkin akan ditiru, tidak masalah kan? Aku yakin usahamu ini bukan untuk mencari uang atau ketenaran. Buktinya kamu lebih suka berada di balik layar.” “Ternyata kamu sudah begitu jauh menyelidiki hidupku. Apa kamu juga tahu kondisi keluargaku? Dengan siapa aku tinggal? Dengan siapa aku bertengkar sebelum kegiatanku itu?” Todd mengangkat bahu sambil tersenyum. Fix. Dia tahu. Dia mengambilku di hari itu bukan tanpa alasan.    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN