Inner Struggle

1185 Kata
Gadis itu menaikkan tudung jaket dan mulai berjalan menuju persawahan untuk sampai ke bukit. Dia terus menendangkan lagu yang ibunya nyanyikan sewaktu dia kecil sepanjang perjalanan. Gadis berambut merah yang diikat dua rendah itu pun tiba di sebuah bukit dekat rumahnya. Rumah yang jauh dari pemukiman. Di sebuah bukit yang tidak terlalu tinggi. Ada dua buah makam bertengger dengan kokoh. Gadis itu melempar masing-masing buketnya ke masing-masing makam. “Banyak sekali yang mengunjungi kalian? Mungkin bungaku tidak diperlukan lagi,” ucap Cyrene melihat sisa-sisa bunga yang masih segar di atas makamnya sampai ke pinggir-pinggir. “Kalau dipikir-pikir, bukankah ini salah kalian? Membiarkan aku menjadi pembunuh. Emm, tidak, bahkan lebih buruk dari itu. Ini adalah salahmu, Bu!” Gadis itu menatap kedua makam orang tuanya dengan pandangan kesal. Ada kemarahan di kedua bola matanya yang tidak seorang pun tahu kecuali satu orang. “Jangan salahkah mereka, itu adalah takdirmu, Cyrene.” Gadis itu menoleh ke arah kanannya. Di mana seorang pria tinggi berpakaian serba hitam sudah bersandar di pohon sakura yang siap mekar. “Jadi, apa aku harus menyalahkan Tuhan?” tanya Cyrene kembali menatap kedua makan orang tuanya. Carden, ya, dialah yang tahu segalanya tentang gadis itu. Hanya dia seorang. Pria itu berjalan menghampirinya. “Tidak boleh, kau harus paham bahwa di dunia ini memang harus ada baik dan buruk, hitam dan putih. Semua itu Tuhan lakukan supaya dunia ini seimbang.” Cyrene menyunggingkan senyum. “Seimbang? Semua orang membanggakan kedua orang tuaku, tapi memandangku dengan rendah. Mereka berdua meninggalkan penyakit ini tanpa memberitahu cara menghadapi dan menyembuhkannya. Dan … semua ini karena ibu yang dengan bodohnya maju ke medan perang membawaku yang siap lahir ke dunia. Berharap mendapat kebahagiaan, justru menderita seumur hidup!” Carden tidak banyak bicara. Dia tahu semua perkataan Cyrene ada benarnya, tapi tetap saja cara berpikir gadis itu masih salah. “Ibumu datang dan menyelamatkan ayahmu serta kita semua,” ucap Carden akhirnya. “Hahaha! Jadi, begitukan cinta berjalan? Mementingkan satu orang dan mengabaikan orang lainnya? Bullshit!” Cyrene pun berbalik dan melangkah meninggalkan pria tinggi itu. Dia tidak mau berdebat lagi. Dia lelah dan ingin sekali menikmati hangatnya rumah. *** Hatinya mencelos ketika memasuki gerbang rumah. Tanaman masih hijau dan indah, semuanya berair seolah baru saja ada yang menyiraminya. Kemudian dia masuk lebih dalam ke arah samping rumah. Di sana pohon sakura besar berdiri kokoh. Seketika jantung Cyrene berdenyut keras. Gadis itu hampir ambruk dan satu tangannya meremas d**a yang seperti terbakar. Ingatan itu kembali muncul dengan brutal. Mengorek luka lama yang begitu menyakitkan. Bayangan dirinya muncul di depan mata, tengah menusuk tubuh ibunya yang sudah bersimbah darah. Bayangan dirinya yang menangis sekejap menusukkan ulu hatinya dengan senjata yang sama yang dipakai untuk membunuh sang ibu. Reka adegan yang begitu menyayat hati. Cyrene berkeringat dengan napas tersenggal. Namun, kakinya masih berusaha tetap berdiri. “Aku harus melaluinya. Aku harus bisa menghadapinya,” pekiknya pada diri sendiri. “Kau … tidak akan bisa bertahan ….” “Aku adalah aku, begitulah kata ibu. Akulah pemilik tubuh ini, aku bisa melakukan apa pun pada tubuhku sendiri, aku yang mengontrolmu!” “Hahahaha! Kita … lihat saja nanti ….” Suara-suara itu terus menggema di kepalanya. Darahnya mulai mendidih. Namun, gadis itu berusaha untuk menahan gejolak dirinya. “Akulah yang mengontrolmu, Iblis kurang ajar!” teriakku geram. Energinya seketika seperti tersedot, pusaran energi muncul dari dalam tubuhnya. Menggoyangkan rambut panjangnya dan membuatnya lebih berkilau. Matanya terasa panas, sesuatu akan terjadi, salah satu bola matanya berubah warna menjadi merah. Darah terus bergejolak. “Tubuh ini akan … kuhancurkan. Sebentar … lagi, aku … sudah tidak … sabar, Crimson!” “Aaargh! Ibu!” teriak Cyrene sebelum akhirnya dia kehilangan kesadarannya. *** Seorang wanita paruh baya yang masih sangat cantik, berdarah asli Jepang dengan kimono membalut tubuhnya. Kimono yang begitu indah dengan corak bunga lycoris. Wanita itu tersenyum pada seorang gadis muda dengan manik abu keunguan, mengelus rambutnya yang hitam panjang, dan memeluknya dengan erat. Tiba-tiba Cyrene membuka mata dengan air mata yang telah membanjiri pipinya. Hatinya merasakan rindu yang teramat sangat pada sang ibu yang bersama dirinya sewaktu kecil. Dia duduk dan menyadari bahwa dia ada di ruang tengah dengan futon dan selimut yang menutup sebagian tubuhnya. Napasnya masih sedikit berat, dia bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Dengan kasar dia menyeka air mata. Barulah dia benar-benar menyadari bahwa pemandangan di depannya kini adalah taman samping rumah yang benderang dengan sinar matahari. “Ini sudah pagi, pas sekali kau sudah bangun. Makanlah dulu!” Suara itu membuat Cyrene menoleh ke belakang. Carden berjalan menghampiri dengan meja bulat di kedua tangannya. Meja itu di taruh di depan tubuh Cyrene. Gadis itu terpana melihat semangkuk bubur abalon dan sepiring kecil tamagoyaki alias telur berlapis-lapis yang digulung. Tak ketinggalan ada segelas teh hijau. Meski gadis itu sangat heran mengapa Carden tidak memakai baju kemejanya. Tubuh pria itu bercahaya seolah cahaya matahari terus mengikutinya ke manapun dia melangkah. Sinarnya bak permata yang cemerlang. Cyrene mendelik ke mangkuk di depannya, berusaha sopan dan hanya menanyakan perihal makanan yang dibawa pria itu barusan. “Kau … yang membuatnya?” tanya Cyrene menatap pria super tampan itu yang kini duduk bersandar di ujung pembatas ruangan menuju engawa dan taman. Dia tidak menjawab. Rambut peraknya tertiup angin yang masuk dari taman. Cyrene pun mulai mengambil satu suapan bubur bersama telurnya. Ada sebuah pertanyaan yang menyangkut di kepalanya, tapi dia segan untuk bertanya karena semalam mereka bertengkar kecil. “Kau pingsan semalam dengan keringat mengucur deras. Setidaknya kau berhasil menahan gejolak itu, kau baik-baik saja sekarang,” ucap Carden tiba-tiba. Cyrene pun merasa lega dan refleks melihat pakaiannya yang sudah berubah menjadi kemeja hitam yang kebesaran dengan bagian lengan dilipat sampai siku. “Te-terima kasih,” balas Cyrene terbata-bata. Tatapan mereka bertemu sesaat, lalu Cyrene kembali menyantap makanannya dengan santai. Dia tidak pernah merasa canggung dengan Carden, itu hal biasa. Carden selalu mengurusnya sejak dia masih tiga belas tahun. Dia hanya segan karena dia tahu betul bahwa pria itu berada di tingkat satu tim King, sebelumnya malah menjabat ketua kelompok Dolphin. Carden adalah pria yang sangat dihormati di semua kelompok dan para klan. Meski dirinya tidak memiliki klan, dia sangat dipercaya dan terkadang semua orang bergantung padanya. Ditambah lagi, ada sesuatu yang menarik dari Carden. Sesuatu yang membuat pria itu sangat dihormati, pria yang terlihat sangat kuat walau terkesan santai. Cyrene belum menemukan sesuatu yang dimaksud itu. Dalam tim nomor satu pembasmi iblis yaitu King, ada lima slayer. Pertama, tentu Carden. Kedua adalah pria angkuh yang tidak begitu menyukai Cyrene, Hyusa. Ketiga adalah Itto. Keempat, belum pernah ditemui oleh Cyrene sama sekali, tidak ada yang memberitahunya juga siapa dan ke mana orang itu. Kelima dan terakhir, adalah Cyrene sendiri. Bukan tanpa alasan dia masuk, tubuhnya kuat, kekuatannya tidak bisa diragukan, dia sangat kuat dibanding semua slayer. Namun, dia tidak pernah bangga akan hal itu karena itu bukanlah murni kekuatannya. Akan tetapi, ketua kelompok Dolphin telah memutuskan untuk memasukkannya ke dalam tim King supaya lebih mudah memantaunya. Bagaimanapun, klan Kama--klan Cyrene, adalah pendiri kelompok Dolphin. Gadis itu tidak bisa diabaikan begitu saja setelah kasus tujuh belas tahun dan lima tahun yang lalu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN