Cyrene mengembuskan napas dan berdiri. Semua orang pun menatapnya.
"Terima kasih sudah menerimaku di sini. Aku izin pergi sebentar," katanya menunduk.
"Cy--Crimson?" panggil Carden khawatir.
"Aku akan tinggal di rumahku. Selebihnya aku paham tentang keadaan di sini. Jadi, aku mohon undur diri, Tuan Hazaru." Cyrene menunduk sekali lagi. Pria tua itu mengangguk dan mempersilakannya keluar sebelum gadis itu membuka pintu geser. "Permisi, Senior."
Hyusa tidak memandang Cyrene, tetapi berdecak kecil mendengar sapaan gadis itu padanya sebelum keluar.
Gadis itu menyusuri jalanan pegunungan untuk menuju jalanan Tokyo yang padat. Kakinya terus melangkah di kegelapan. Lampu jalan yang menerangi setapak sejak di depan gerbang markas Dolphin yang megah itu berakhir di depan jembatan.
Jembatan itu bukan jembatan kayu yang menyeramkan dan bergoyang. Jembatan itu cukup kokoh untuk dilalui satu truk besar. Hanya saja sepi, dan di sanalah cahaya rembulan bisa menggapai tanah yang dipijak gadis berambut merah marun itu.
Cyrene berhenti tepat di tengah jembatan dan kepalanya menengadah menatap bulan sabit dengan sekumpulan awan gelap.
Jantungnya berdetak cepat, darahnya terasa bergejolak.
Sebentar lagi.
Cyrene meremas pagar pembatas ketika mendengar suara dalam kepalanya itu. Akhirnya dia kembali berjalan, tetapi seketika angin berembus kencang. Bola matanya membesar. Di hadapannya kini seonggok makhluk besar yang bercahaya karena sorot bulan sabit.
Air membasahi jalanan sampai mengalir ke bawah kakinya. Gadis itu mundur satu langkah. Tubuh makhluk itu bergejolak bak air bah yang tidak tenang.
“Penunggu sungai,” bisiknya.
Makhluk itu berada di luar dari lima urutan para iblis. Makhluk tak kasat mata yang menjelma dari sekumpulan air. Tidak pernah merasuki manusia, tetapi kadang mengganggu dengan membujuk orang untuk berenang lalu mendatangkan air bah hingga menenggelamkan orang-orang di sekitarnya.
Gadis itu mengepal kedua tangannya, sebelum akhirnya melangkah kembali berusaha mengabaikan makhluk besar tersebut. Memusnahkan makhluk di luar lima daftarnya bukanlah tugas dia. Ada kelompok khusus lagi untuk itu.
Cyrene memasukkan kedua tangan ke dalam saku jaketnya dan mulai melewati sang makhluk yang tidak bisa diam. Tubuhnya terus bergerak menyebabkan air terus membasahi jembatan. Tiba-tiba makhluk itu membungkuk dan melihat Cyrene lebih dekat dari samping.
“Kau … aku tahu kau bisa melihatku … hihihi!”
Cyrene berhenti dan menoleh padanya. Tatapannya nyalang menembus wajah makhluk itu. Seketika makhluk itu tersambar es hingga membeku dari samping tubuhnya sampai keseluruhan. Lalu makhluk itu ditebas sampai hancur berkeping-keping tepat di hadapan Cyrene.
Gadis dengan mata keabuan itu tersenyum. “Kerja bagus, Kerie.” Kemudian menoleh ke belakangnya.
Seorang gadis yang lebih tinggi darinya bangkit dari kuda-kuda dengan sisa napas dingin keluar dari mulutnya. Rambut pendeknya bergoyang seiring langkahnya yang mendekat pada Cyrene.
“Nona Crimson! Kau kembali?” sapanya dengan girang.
“Kau sudah tumbuh menjadi gadis yang hebat, Kerie,” balas Cyrene.
“Hehe … sudah lima tahun, ya? Aku tidak pernah melupakan masa-masa ketika kita belajar bersama. Kata-katamu dulu terus membakar semangatku supaya bisa menjadi lebih kuat lagi dan lagi.”
Cyrene hanya tersenyum lebar.
“Ngomong-ngomong di mana senjatamu?” tanya Kirie celingukan melihat punggung Cyrene yang kosong.
“Sedang diperbaiki.”
Gadis berambut pendek dengan pakaian minim itu terkejut. “Eh, rusak? Aku pikir tidak ada yang bisa merusaknya! Dan bukankah senjata itu tidak bisa digenggam orang lain selain dirimu?”
“Ya, maksudnya sedang dalam pemeliharaan supaya lebih kuat lagi. Senjata itu tidak perlu digenggam oleh orang itu. Dia hanya perlu mendoakannya.”
Seketika Kerie tertegun. Cyrene pun mulai terkekeh. “Maaf kau jadi bingung. Aku hanya bercanda. Ngomong-ngomong, mau menemaniku?”
“Ah, aku lupa kalau Nona Crimson suka bercanda. Tentu saja aku dengan senang hati menemanimu, kau tahulah pekerjaanku tidak sesibuk kalian para tim khusus.”
“Kau harus bisa bersyukur, Kerie. Tugasmu tidak sampai mengambil nyawamu. Kau masih bisa bermain bebas saat tidak ada pekerjaan.”
“Hmm, kau benar. Maaf, kau pasti kesulitan menjadi peringkat lima dalam pasukan King.” Seketika Kerie menundukkan kepalanya.
Cyrene pun merangkul gadis yang sedikit lebih tinggi darinya itu. “Aku lapar, aku rindu ramen di sini! Ayo kita makan!” ajaknya dengan girang.
***
“Bukankah itu--”
“Ya, itu dia. Tidak ada yang memiliki rambut dengan warna semerah darah selain dirinya. Hawa di sekitarnya saja menyesakkan.”
“Kenapa dia kembali? Bisa-bisa terjadi bencana.”
“Hussstt, nanti dia dengar.”
“Biar dia sadar diri dan pergi dari negara ini!”
“Lihat, gadis yang bersamanya, aku kasihan padanya. Apa dia dipaksa menemaninya?”
“BIsa jadi.”
Tiba-tiba Kerie menaruh sumpit ramennya dengan kasar, dia hendak bangkit dan melabrak orang-orang yang sengaja berbisik dengan kencang di belakangnya. Namun, lengannya ditahan. Cyrene menggeleng dan tersenyum menatap Kerie.
“Tapi, mereka sangat keterlaluan. Mereka tidak tahu apa-apa soal dirimu!”
“Biarkan saja, kau juga tidak mengetahui segalanya tentang aku, Kerie. Bisa jadi mereka benar, kau pasti tidak akan nyaman lagi berada di sampingku.”
Kerie tertegun. Gadis itu memang tidak pernah tahu siapa sebenarnya gadis yang dipanggil Crimson ini. Yang dia tahu hanyalah mengenai Crimson yang telah kehilangan orang tuanya akibat Ozzazin di masa lalu. Dan semua orang menyalahkannya karena selamat sendirian, karena kedua orang tua Crimson adalah pembasmi terbaik di masanya. Mereka semua dilanda kehilangan yang sangat berat.
“Aku tidak peduli! Siapa pun dirimu, yang aku kenal adalah Nona Crimson yang selalu tersenyum dan bercanda padaku. Seorang gadis yang kuat dan rendah hati. Kau jugalah yang mengajarkanku banyak hal. Cukup itu saja yang membuatku yakin untuk mempercayaimu.”
Cyrene mengembuskan napas berat. Kemudian bangkit mengajak Kerie keluar dari warung ramen itu untuk menyudahi makannya.
“Nona Crimson, biar aku memberi mereka pelajaran!” ucap Kerie sekali lagi setelah berada di depan warung. Gang itu terlihat sangat sepi karena hari semakin larut. Hanya ada para pekerja yang pulang terlambat sesekali lewat ke gang tersebut.
Cyrene memasukkan kedua tangan ke saku jaket. Wajahnya diangkat dan membalik tubuh menghadap KErie dengan senyuman lebar.
“Biarkan saja! Kau ini bar-bar sekali?”
“Eh?”
“Hahaha … aku tidak pernah mempedulikan mereka kok, yang penting aku masih bisa berdiri menyelamatkan orang-orang. Aku tidak butuh ucapan terima kasih. Asal mereka bisa terbebas dari para iblis itu, supaya nantinya tidak dihina sepertiku.”
Wajah Kerie yang cantik dengan poni ratanya tampak begitu terenyuh. Dia memeluk Cyrene dengan erat. Namun, tiba-tiba dia merasakan tekanan yang begitu berat. Lalu dia melepaskannya dengan tatapan bingung.
“Jangan memelukku, kau tidak akan senang. Ngomong-ngomong, terima kasih sudah menemaniku. Kau harus kembali berpatroli, aku akan pulang ke rumah dan menjenguk ayah dan ibu,” jelas Cyrene.
“Ba-baiklah. Maaf ya, aku harus berpatroli lagi. Eh, apa Nona tidak bersama Tuan Carden?”
Cyrene menggeleng. “Dia masih rapat di kediaman Tuan Hazaru bersama Senior Hyusa dan Itto.”
“Oh, sepertinya ada masalah, aku harus bersiap dan memperkuat diri,” jawab Kerie gusar.
“Dirimu sudah cukup hebat. Tapi, bagus kalau berlatih terus. Ya sudah, aku pergi.”
Kerie mengangguk dan melambai pada Cyrene sebelum mereka berpisah ke jalan yang berlawanan. Tidak ada seorang pun yang mengetahui bahwa hati seorang Crimson telah patah berkeping-keping. Dia harus terus membawa serpihan itu sampai dia mati.
Langkahnya berhenti di depan sebuah toko bunga. Lonceng berbunyi ketika dia masuk membuka pintu kaca.
“Selamat da--ah, ka-kami sudah tutup!” Si empunya toko itu tercekat melihat gadis dengan rambut merah mencolok masuk ke dalam. Cahaya toko yang begitu terang tak menyurutkan rasa takutnya melihat aura kegelapan dalam tubuh pelanggannya itu.
Cyrene tersenyum. “Aku tidak akan lama, aku hanya ingin membeli dua jenis bunga. Tolong digabung dan jadikan dua buket.”
Gadis itu menunjuk bunga baby breath dan mawar merah. Pemilik yang keibuan itu pun dengan gemetar mengambilkannya dan pergi ke balik meja kerja. Dengan cepat dia membungkusnya serapi mungkin.
“Bukankah, menghias bunga harus dengan sepenuh hati? Supaya terlihat cantik, kau tidak perlu takut padaku. Aku tidak bawa senjata.”
Wanita itu melirik ke arah Cyrene untuk meyakinkan bahwa omongannya benar. Namun, tetap saja dia tidak bisa untuk tidak cemas. Apa saja bisa dilakukan oleh gadis muda itu kalau dia mau.
“I-ini, su-sudah selesai. Tidak perlu bayar,” kata wanita itu menyerahkan dua ikat bunga yang telah dicampur dan dihias seindah mungkin.
Cyrene menatap wanita itu sejenak. Dia tahu wanita itu masih gemetar. Akhirnya gadis itu meraih bunganya dan menaruh uang lebih di atas meja. “Bagaimanapun, kau adalah penjual dan aku pembeli, terimalah uangku. Kau pasti butuh makan untuk hidup.”
“A-apa kau mengancamku?” Wanita itu menjadi panik.
Cyrene kembali tersenyum. “Terima kasih.” Lalu pergi keluar.
Dilihatnya sekilas ke belakang, di dalam sana sang wanita menyebarkan asap dari mangkuk persembahannya seperti orang India yang menyebarkan asap di rumahnya agar selalu diberkati oleh Tuhannya. Namun, senyum Cyrene semakin pudar ketika melihat sang wanita membakar uang yang telah dia berikan sebagai bahan bakar dupa.