“Aku dengar, dia tidak benar-benar membunuh orang yang kerasukan itu.”
“Lalu, apa tujuannya menusuk semua korban tepat di jantungnya dengan senjata pembunuh itu?”
“Bukan di jantung. Aku tidak tahu, aku mendengar rumor ini dari nenekku.”
“Nenekmu sudah meninggal, apa pernyataannya itu benar?”
“Tidak tahu juga. Yah, intinya … jangan sampai Kuxin merasuki tubuh kita.”
“Akan sangat menakutkan kalau kita mati di tangannya daripada di tangan Kuxin.”
***
Gadis yang selalu dipanggil Crimson itu melangkah santai di atas marmer sebuah gedung bertingkat lima. Tudungnya selalu menutupi kepala, kedua tangannya masuk ke saku jaket, dan peti panjang itu masih bertengger di punggungnya. Semua orang yang melihat dia di gedung itu tampak biasa saja, walau ada beberapa yang melirik ngeri. Namun, tak sedikit juga yang menyapanya dengan ramah.
Gadis itu hanya membalas dengan senyuman lebar dan manis. Kakinya berhenti di depan sebuah lift, tak lama pintu terbuka dan tatapannya bertemu dengan seorang pria berkacamata hitam.
"Oh, pas sekali aku baru mau menjemputmu di depan," katanya dengan suara berat.
Crimson masuk ke dalam tanpa banyak bicara. Tidak ada percakapan juga di antara mereka. Tak butuh waktu lama, pintu lift kembali terbuka di lantai lima.
Gadis itu dan si pria berkacamata keluar bersama. Namun, Crimson berjalan di belakangnya mengekor seperti anak kucing. Mereka terus berjalan menyusuri koridor dengan karpet merah yang di sisi lainnya bertengger kaca jendela besar-besar, menyuguhkan pemandangan kota Vizesmaswich.
Hingga sampailah mereka di depan pintu bertuliskan papan VIP. Pintu terbuka, gadis berambut merah marun itu melongok dari balik tubuh besar pria berkacamata. Sontak dirinya terpana dan membuka tudungnya.
"Crimson, duduklah di sebelah Carden. Ada yang perlu kita bicarakan sebelum kalian meninggalkan negara ini," ucap pria besar itu.
Gadis itu menurut dan duduk dengan sopan di sebelah pria tinggi yang masih terlihat tertidur di sofanya dengan kaki di atas meja. Wajahnya sendiri menghadap ke atas ditutupi majalah.
Suara dehaman terdengar ketika pria besar tadi hendak duduk di seberang mereka.
Tubuh Carden bergerak dan menurunkan kakinya. "Duduklah, Mister Redomir, tapi bisakah biarkan aku tidur sebentar lagi?" kata Carden dari balik majalahnya.
"Ayolah, Carden. Kalian tidak mau ketinggalan pesawat, bukan?" balas pria berkacamata itu.
Terdengar helaan napas dari balik majalah yang diangkat oleh lengan jenjang Carden. Wajahnya langsung terlihat malas menatap pria di hadapannya. Rambut blonde kecokelatannya masih tersisir rapi ke belakang.
Redomir tidak pernah membuka kacamatanya sejak kejadian malang yang menimpanya saat remaja.
"Kalian sungguh-sungguh akan ke Jepang?" tanyanya tanpa basa-basi.
Hening sesaat. Crimson sendiri hanya diam menatap langit mendung di luar jendela di sisinya.
"Apa kau siap, Cyrene?" Kali ini pertanyaan itu ditujukan pada gadis yang duduk di sebelah Carden.
Gadis itu menatap kacamata Redomir. Wajah pucatnya seolah bersinar di ruangan yang remang itu karena langit begitu mendung. Mata merahnya menyala-nyala.
"Aku harus siap. Banyak yang membutuhkan pertolonganku di sana," jawabnya singkat.
"Baiklah, tapi kami selalu membuka pintu untukmu. Untuk masalah tadi, aku sudah memberitahu mereka melalui pendeta Sergei."
"Lalu, anak itu?" tanya Crimson lagi.
"Baik-baik saja. Dia sudah dirawat di rumah sakit dan belum sadar sepenuhnya."
Crimson mengangguk.
"Tapi, Cyrene. Mengapa kau selalu ingin menyembunyikan jati dirimu itu? Kau membiarkan semua orang membencimu dan takut padamu."
"Aku sudah jelas sekali mengatakan itu di awal pertemuan kita, kan? Sama halnya dengan alasanmu tidak pernah mau melepas kacamatamu itu, Mister Redomir."
Pria itu bergeming dan mengembuskan napas berat.
"Baiklah, Mister Redomir. Jika tidak ada kendala lagi, kami akan pergi." Carden bangkit dan bersiap keluar ruangan diikuti Crimson yang juga refleks berdiri.
Crimson meraih papan tingginya lagi yang tadi sempat ditaruh di lantai. Sedangkan Carden menyeret koper kuning yang sudah bertengger di sana sejak awal. Redomir memerhatikan peti langsing itu sampai Crimson sudah di ambang pintu keluar.
"Satu lagi!" Kalimatnya sontak membuat dua sejoli itu berhenti dan menoleh padanya. "Cyrene, sesampainya di sana, kau harus segera memperbarui jimat itu. Sudah Empat tahun sejak awal dirimu kemari, pasti kekuatannya sudah melonggar."
Crimson lalu melirik peti di tangannya dan mengangguk.
“Semoga berhasil, Crimson,” ucap Redimor sebelum melepas mereka pergi.
Dua sejoli itu pun meninggalkan gedung operasional tim Dolphin cabang Rusia menuju bandara menggunakan taksi.
Crimson terus melirik kopernya yang diseret oleh pria tinggi ideal berpakaian serba hitam itu dari tadi. Rambut blonde kecoklatannya tertiup angin lembut. Ada sebuah pertanyaan dalam benaknya yang terus dia pendam.
"Carden, di mana kopermu?" Pertanyaan itu pun lolos begitu saja.
Pria yang dipanggil Carden itu berhenti tepat di depan loket penukaran tiket online. Dia menoleh sebentar, menatap Crimson dengan manik emasnya dan menjawab, "Semua barangku sudah kukirim ke sana minggu lalu."
Hal itu membuat Crimson membelalak. "Ka-kalau begitu kenapa koperku tidak ikut dikirim juga?"
Carden mengangkat koper milik Crimson ke samping loket yang berbentuk papan berjalan yang akan membawanya ke bagasi pesawat. Dan sekali lagi pria itu menoleh.
"Bukankah kau belum menentukan pilihan beberapa hari kemarin?" ucapnya menempelkan stiker ke kotak kayu yang dibopong Crimson.
Crimson bergeming menatap pria yang sibuk mengurus tiketnya. Sampai akhirnya pria itu selesai berurusan dengan petugas tiket dan berjalan mendahului gadis bermata abu keunguan itu. Mau tak mau Crimson berjalan membuntuti Carden ke manapun dia pergi. Mereka pun duduk di ruang tunggu keberangkatan.
Peti itu ditaruhnya di bawah kaki. Detik demi detik terus melaju. Seperti jantung Crimson yang terus berdetak. Dia merasa sedikit tidak tenang sekarang, sudah lama dia tidak kembali ke kota kelahirannya, Jepang. Dulu, dia pun pergi dengan hal yang tidak baik. Sekarang, dia justru kembali dengan rumor yang tidak baik juga. Apalagi di sana lebih banyak anggota pemburu Iblis selain Dolphin. Seperti Whale yang sikapnya arogan dan lebih suka menjauh dari kelompok lain. Sok paling berkuasa, padahal statusnya ada di urutan kedua setelah Dolphin. Kelompok lainnya belum diketahui Crimson, dia hanya mendengar cerita itu dari Carden sekilas.
"Kau gugup?" Pertanyaan itu membuat Crimson terjaga dari lamunannya.
"Sedikit," jawabnya lemah.
"Aku tahu ini akan sulit untukmu kembali. Tapi, kalau tidak dihadapi, dirimu tidak akan menjadi lebih kuat."
"Aku paham. Aku juga tidak ingin lari terus, aku … ingin mengunjungi orang tuaku lagi."
"Oya, rumahmu masih berdiri kokoh, katanya tim pertahanan yang menjaganya. Mereka benar-benar tidak pandang bulu dalam membantu, berterima kasihlah padanya nanti."
Crimson kembali mengangguk.
Pemberitahuan dari speaker mulai terdengar. Pesawat menuju Bandar Udara Tokyo - Haneda telah siap. Para penumpang diminta untuk segera memasuki pesawat.
Dua sejoli itu pun bangkit dan berjalan menuju timur, koridor Japan Airlines berada. Semua mata tertuju pada papan panjang langsing yang dibawa oleh Crimson. Papan itu setinggi hampir tiga meter. Namun, gadis itu membawanya dengan tangan supaya tidak terantuk atap pesawat nantinya.
Mereka pun menyerahkan tiket masing-masing dan menuju tempat duduk di bagian sayap pesawat. Crimson masuk lebih dulu disusul oleh Carden yang membantunya menaruh papan itu di bawah kaki. Lalu satu orang asing lain yang duduk di pinggir.
Crimson menatap jendela luar, mendapati pemandangan bandara Internasional Rusia yang lapang. Jauh di luar bandara terlihat pegunungan yang biru. Jantungnya mulai berdebar. Empat tahun hidup di negara ini membuatnya takut untuk pergi keluar, akan tetapi dia juga tak sabar untuk menginjak kembali tanah negeri sakura itu.
"Selamat tinggal, Rusia," bisiknya mengembuskan napas berat ketika pesawatnya hendak lepas landas, dan dia pun terlelap.