Sejauh apapun kau mengayuh, angin, gelombang dan ombak sudah bersekongkol membawamu kembali ke tempat seharusnya kau berlabuh.
***
Mas Rillo mengajak gue untuk mengobrol di salah satu kafe deket kampus. Kalau dulu ini kayak biasa aja buat gue, tapi kalau sekarang rasa bersalah gue semakin menjadi-jadi. Perkataannya mengenai pengalaman ditinggal nikah selalu menghantui. Haruskah dia mengalami hal yang sama untuk kedua kali?
Gue nggak bodoh untuk tahu mengenai perasaannya yang mengharapkan hubungan kami berlanjut ke tahap berikutnya, semua terpancar dari sorot matanya dan curahan perhatian yang selama ini ia berikan. Hanya saja sepertinya dia sedang mencoba meyakinkan diri setelah kegagalan hubungannya di masa lalu.
Gue bisa melihat senyum sumringahnya, yang jujur masih membuat hati ini menghangat dan perut gue bergejolak. Gue tidak tau setelah hari ini gue akan ngelihat senyum ini lagi apa enggak. Memikirkan hal itu saja sudah membuat gue sedih.
Gue nggak ada hubungan apa-apa sama Mas Rillo, Gas.
Ya itu menurut elo, menurut Mas Rillo?
Saya ditinggal nikah sama mantan pacar saya,
Saya masih trauma buat ngejalin hubungan, tapi gimanapun juga saya harus tetep bangkit kan?
Tolong bantu saya…
Di benak terlintas percakapan gue dengan Bagas dan juga Mas Rillo. Hal itu semakin membuat gue semakin gundah.
Gue nggak ingin terlibat dalam kondisi ini lebih lama lagi, seperti yang Bagas bilang, akan semakin banyak orang yang terluka pada akhirnya. Oleh karenanya gue memutuskan untuk mengungkapkan kebenarannya. "Mas,"
"Git," ucap kami berbarengan.
"Mas dulu aja." Gue mempersilakan.
"Enggak, kamu dulu aja," tegas Mas Rillo.
Tangan kiri gue menggenggam ujung kemeja dengan erat, dan gue pun menghela napas panjang sebelum ngomong, "Mas... cincin di jari saya ini, bukan cincin biasa."
Mas Rillo melempar pandangan bertanya, dan gue meneruskan ucapan gue. "Ini cincin pertunangan Mas, saya ... udah tunangan."
Mas Rillo terpaku di tempat, sepertinya ia syok mendengar pengakuan gue. Melihat dia yang kayak gitu membuat hati gue semakin sakit.
Di sini, tak hanya ia yang terluka. Karena dengan pengakuan ini gue pun melukai diri sendiri. Harusnya gue jujur sejak awal… Harusnya gue tidak menghabiskan banyak waktu dengannya... Harusnya gue tidak membiarkan diri gue jatuh terlalu jauh, dan melukai dia pada akhirnya.
Gue memejamkan netra mencoba mencegah air mata untuk keluar. Mas Rillo masih terdiam di hadapan gue dan memandang gue dengan ekspresi yang tidak bisa gue baca.
"Jujur, saat ini Mas emang prioritas saya. Tapi Mas bukan seluruh hidup saya."
"Saya punya orang tua, keluarga dan juga .... tunangan."
"Saya minta maaf kalau baru bilang sama Mas sekarang, saya tau kalau saya salah, Mas."
"Maaf saya nggak bisa tolongin Mas seperti yang Mas minta waktu itu."
Setelahnya gue pun melepas gelang pemberian Mas Rillo dan meraih tangan Mas Rillo untuk menaruh gelang itu di telapak tangannya.
"Sekali lagi maafin saya Mas, semoga Mas nemuin seseorang yang jauh lebih baik, dan juga lebih pantas buat menolong Mas," tutup gue dengan suara yang bergetar.
Gue sadar bila gue melihat wajah kecewa Mas Rillo lebih lama lagi di sini, gue nggak akan tahan untuk tidak menangis. Jadi gue memutuskan untuk cepat-cepat pergi.
"Sekali lagi makasih untuk semua Mas, dan maafin saya."
Gue keluar dari kafe itu dan memberhentikan taksi yang lewat. Gue hanya bisa menangis tanpa suara. Gue tau Mas Rillo jauh lebih terluka dari gue, tapi kenapa mengetahui fakta bahwa ia jauh lebih terluka dari gue malah membuat hati gue jauh lebih sakit lagi?
***
Keesokan harinya gue main ke apartemen Zenata untuk menghibur diri, kebetulan Marsya masih menginap di sana. Mengobrol dengan mereka mungkin bisa mengurangi perasaan bersalah dan juga resah yang semalaman gue rasakan.
"Mata lo bengkak, kenapa?" Marsya bertanya dengan heran. Kantung mata hitam mungkin bisa ditutupi dengan concealar, tapi tidak dengan kelopak mata yang membengkak.
"Marathon reply 1988 gue, lagi kangen rumah," dusta gue.
Marsya dan Zenata cuma manggut-manggut percaya dengan kebohongan yang gue buat. Rasa bersalah gue bertambah. Ini pertamakalinya gue menyembunyikan masalah dari mereka.
"Adegan kakaknya nikah emang mengharukan banget itu," timpal Marsya.
Gue pun menganggukkan kepala gue setuju meskipun penyebab nangisnya gue semalam bukan karena itu. Semalaman gue memikirkan Mas Rillo yang baru saja mengetahui bahwa gue sudah memiliki tunangan. Bagaimana perasaannya, apa yang ia pikirkan dan beberapa pertanyaan lainnya terngiang di benak hingga gue tak bisa memejamkan mata.
"Lo sih kerjaannya ngebantuin pemain drama nangis. Lah dia nangis dibayar, kan elo enggak!" kelakar Zenata yang membuat gue menyunggingkan bibir sedikit, memaksa untuk tersenyum.
"Gue mau nikah," ungkap gue yang membuat mereka kaget.
"Eh, serius?! Aaaaa selamet!" ucap mereka sambil memeluk gue. Gue pun meluk mereka balik.
"Aduh, gue beneran iri sama lo," ungkap Marsya dengan pandangan berbinar. "Di saat orang mikirin setelah kuliah mau cari kerja di mana, mau lanjut studi atau enggak, atau mikirin hal-hal lainnya, hidup lo udah terpenuhi semuanya. Nyari kerja nggak perlu, Jodoh udah ada, macam Kavin lagi jodohnya. Aduh, hidup lo bener-bener lancar ya!”
Nggak ada yang perlu lo iriin dari gue Sya... karena hidup gue nggak sesempurna yang lo pikirkan.
"Coba Ina di sini, pasti seneng juga tuh dia, makin leluasa kita minta traktir sana-sini entar," timpal Zenata.
"Emang Inara ke mana?"
"Ke stasiun, nganter Masnya, katanya Masnya pindah kerja, dioper ke luar kota," jawab Marsya.
Mas Rillo?!
Hati gue terasa mencelos sekarang. Apa ini ada kaitannya dengan hal yang ingin ia sampaikan kemarin?
***
Setelah selesai memberi materi untuk training, Kavin mengajak Mayang untuk makan malam bersama. Ia cukup terkejut mendapati Mayang yang tiba-tiba masuk perusahaannya tanpa ia duga, karena Mayang tidak pernah bercerita apa pun mengenai hal ini.
"Selamat ya akhirnya kamu kerja juga, anggap aja traktiran ini sebagai ucapan selamat dari aku," ucap Kavin yang membuat Mayang tersenyum.
"Makasih Vin," jawab Mayang. "Nggak nyangka, dulu kita skripsian bareng, sekarang kamu udah jadi atasan aku."
"Semua ini berkat orangtua aku, tanpa mereka belum tentu aku ada di posisi ini, Yang." Kavin merendah. Padahal sejak masih kuliah ia sudah sering diterjunkan oleh Ayahnya untuk magang di perusahaan milik mereka. Selain untuk menambah ilmu, hal itu juga menambah pengalaman serta mempererat hubungan Kavin dengan para karyawan.
"Kok kamu nggak cerita yang kalau kamu ngelamar di kantor aku?" tanya Kavin bingung. Biasanya Mayang akan selalu menceritakan apa pun padanya karena hubungan mereka terbilang sangat baik.
"Aku mau cerita tadinya, tapi kamu akhir-akhir ini susah dihubungin. Jadi mungkin sekalian ... surprise?" ungkap Mayang dengan ceria.
Kavin tersenyum melihat tingkah Mayang yang kadang di luar dugaannya. Selama mengenalnya, perempuan yang kini duduk di depannya memang penuh dengan kejutan.
"Gimana jadinya? Surprise nggak?" tanya Mayang.
Kavin mengangguk mengiyakan sambil mengacak rambut Mayang dengan gemas. "Ya, kamu berhasil bikin aku kaget," jawab Kavin.
Kavin terpaku, menyadari sikapnya kali ini salah. Ia sudah memiliki calon istri, dan tidak pantas melakukan hal itu. Kemudian ia menarik kembali tangannya dan tersenyum kikuk.
Mayang yang menyadari kekikukkan Kavin pun bertanya. "Apa aku harus bersikap formal sama kamu mulai sekarang karena kamu atasan aku?"
"Nggak perlu, gimana pun juga kita temen," jawab Kavin sambil menggeleng. "Cuma kalau di depan yang lain jangan terlalu nunjukin kalau kita kenal dan cukup akrab. Aku nggak mau kamu jadi bahan salah sangka sama karyawan yang lain," lanjutnya. Ia dan Mayang hanya perlu bersikap sewajarnya teman kerja bukan?
"Siap Pak," jawab Mayang dengan gestur hormat khas seorang tentara, hal itu membuat Kavin tertawa.
Kavin sudah lupa kapan terakhir berinteraksi senatural ini bersama Egita. Keadaan telah banyak mengubah hubungan mereka berdua. Ah, mungkin lebih tepatnya mereka yang berubah sehingga berimbas pada hubungan keduanya.
"Aku seneng dasinya kamu pakai," ungkap Mayang.
Kavin melihat dasi yang sekarang digunakannya, dasi pemberian dari Mayang.
Kavin memberikan senyumannya kepada Mayang. "Motifnya bagus, aku suka."
Ya, Kavin tidak sadar jika dasi pemberian Mayang yang digunakannya saat ini telah berubah menjadi dasi yang paling sering digunakan dibandingkan dasi-dasinya yang lain.
"Aku seneng kalau kamu suka," timpal Mayang.
“Makasih ya Yang,” ucap Kavin tulus
Mayang mengangguk. “Kamu jarang nongol di group bimbingan akhir-akhir ini, lagi sibuk ya? Padahal yang lain masih suka spam meski kita udah lama wisuda.”
Kavin tersenyum, ia memang sengaja menghindari percakapan di group tersebut guna menghindari intensitas komunikasi yang terlampau sering dengan Mayang. “Nggak sesibuk itu, tapi aku emang jarang main hape.”
“Gimana kabar kamu?” tanya Kavin kemudian.
“Seperti yang kamu lihat, cukup baik,” jawab Mayang. “Kalau kamu sendiri gimana Vin?”
“Cukup baik juga.”
“Bapak yang satu ini kayaknya jauh lebih serius ya sekarang,” ledek Mayang saat mendengar jawaban singkat Kavin. Dulu Kavin cenderung lebih banyak berceloteh, tidak hanya menimpali ucapannya saja. Mungkin dunia kerja telah mengubahnya, pikir Mayang.
“Ahahaha, perasaan kamu aja itu.” Kavin berkilah. “Rencana kamu setelah ini apa Yang?”
“Rencana? Rencana yang kayak gimana maksudnya?”
“Fokus berkarir, berkarir sambil melanjutkan studi, atau mungkin … menikah?”
Mayang mengulum senyuman. “Untuk saat ini mungkin aku akan berfokus pada karir,” jawabnya. “Kalau kamu sendiri? Apa rencana kamu dalam waktu dekat?”
“Aku? Mmm… mungkin aku akan memikirkan untuk lanjut studi satu atau dua tahun kedepan.”
Entah mengapa Kavin enggan membicarakan mengenai rencana pernikahannya dengan Mayang. Padahal dibandingkan dengan rencana studinya, rencana pernikahannya yang akan dilaksanakan lebih dulu.
***
Gue sedang berada di kampus saat ini guna mencari-cari sosok yang gue temui kemarin. "Bang Khalil! Lihat Bagas nggak?" tanya gue ke Khalil yang lagi ngegitar di depan UKM seni, sarangnya dan Bagas di kala senggang.
Alis Khalil berkerut. “Tumben manggil Abang, sakit ya lo?”
“Lihat Bagas nggak?” ulang gue dengan nada yang lebih tegas.
“Buset, galak. Nggak tau gue. Nggak ngelihat dari pagi.”
Gue langsung pergi dari sana dan terus menyusuri kampus untuk mencari sosok Bagas. Sampai pada akhirnya gue menemukan dia di kantin lagi duduk sama Inara dan Aldo, jadi laler kayak biasa.
Tanpa berpikir panjang gue pun langsung beranjak ke arah mereka. "Bagas gue mau ngomong sama lo, sekarang."
Dahi Bagas dan Inara berkerut melihat gue yang gerasak-gerusuk.
"Itu lo udah ngomong Git," timpal Aldo.
"Gue nggak mood bercanda Do, jadi lo mending diem," ucap gue ketus.
"Lo kenapa sih Git? Tumben nge-gas?" tanya Inara heran.
Alangkah terkejutnya gue saat melihat Inara. Bukan karena wajahnya yang berubah karena baru menjalani treatment di salah satu salon kecantikan, melainkan karena gelang yang melingkar di tangannya. Gelang yang sama persis dengan yang gue kembalikan ke Mas Rillo kemarin.
"Sejak kapan lo pakai gelang itu?"
"Gimana? Bagus ya? Mas gue naruh gelang ini gitu aja di laci lemarinya. Di sebelahnya juga ada kotak cincin. Berhubung Mas gue lagi pergi makannya gue pakai aja. Tapi kalau cincin gue nggak berani pakai. Pasti buat orang yang spesial buat Mas gue tuh," jelas Inara.
Cincin?
"Bukannya lo punya gelang kayak gitu juga Git?" tanya Bagas.
"Oh iya! Persis nih kayak gini!" timpal Aldo.
"Iya Git, kita jadi bisa samaan kan. Btw, lo beli dimana? Harganya berapa? Gue kepo nih sama Mas gue. Kalau harganya mahal mau gue damprat Mas gue. Masa gue nggak pernah dikasih apa-apa dia beliin orang lain yang mahal sih. Kakak macem apa coba?!"
"Gelang itu ... bukan gue yang beli," ucap gue lirih.
"Kak Kavin punya selera yang sama kayak Mas Rillo berarti ya?" tanya Aldo yang diangguki Inara.
"Kayaknya sih gitu," jawab Inara.
Sementara Bagas hanya melenan ludah di tempatnya. “Iya, persis seleranya,” ucapnya dengan penekan di kata persis.
"Bagas, gue mau ngomong sama lo,"
"Kenapa nggak di sini aja sih Git? Kok rahasia-rahasiaan sih?" Inara mencebik dengan tidak suka.
"Gue mau ngenalin Bagas sama temen gue, bukan urusan kalian. Kalian doain aja biar dia nggak jomlo lagi. Kan kasian dia jadi laler kalian mulu," kilah gue.
Bagas yang sudah mempunyai feeling tidak enak nggak banyak protes dan langsung mengikuti langkah gue ke arah gedung belakang fakultas.
"Lo nggak mau ngenalin gue sama siapa-siapa kan?" tebaknya.
Gue menganggukkan kepala mengiyakan.
"Terus kenapa?"
"Kemarin Mas Rillo ngomong apa aja?"
"Lah? Bukannya lo jalan berdua? Kok malah nanya gue?" Bagas kebingungan.
Air mata gue mengalir begitu aja sekarang. "Kemarin dia nggak sempat ngomong apapun,"
Melihat gue yang nangis, Bagas pun kaget. “Kok lo malah nangis? Kemarin Mas Rillo bilang mau pamit ke lo soalnya dia mau pindah tugas. Dan gue nggak tau apa-apa lagi. Kita nggak ngomongin soal lo lebih jauh Git. Tapi kalau denger dari ceritanya Inara tentang cincin itu ... gue rasa ada maksud lain dari dia selain pamit sama lo,"
Gue semakin terisak.
"Git? Hey? Lo jangan nangis gini dong." Bagas panik. Tangannya pun bergerak untuk memeluk sambal mengusap punggung gue untuk menenangkan.
"Bagas... gue bingung," ucap gue sambil sesenggukan.
"Bingung kenapa? Kok lo gini sih? Emang kemarin ada apa antara lo sama Mas Rillo?"
"Gelang yang ada di Inara, itu gelang yang Mas Rillo kasih buat gue. Kemarin gue ngebalikin gelang itu dan ngaku ke Mas Rillo kalau gue udah tunangan."
"Terus, kenapa lo nangis? Seharusnya lo udah lega kan sekarang?" tanya Bagas bingung.
Gue menggelengkan kepala. "Gue sama sekali nggak ngerasa lega Gas. Rasanya beban hati gue malah nambah," aku gue dengan jujur.
Bagas melepaskan pelukannya dan ngomong, "lo sadar nggak? Lo udah suka sama Mas Rillo!"
Gue nggak membalas pernyataan Bagas, hanya melanjutkan tangisan yang sudah gue pendam seharian kemarin saat bermain bersama Marsya dan Zenata.
“Git?” Bagas menatap gue dengan begitu serius untuk pertamakalinya. “Sekarang siapa yang ada di hati lo? Kak Kavin atau Mas Rillo?”