It's already change

783 Kata
Kavin's POV Sekarang gue sama Egita lagi memilih konsep foto pre-wedding di salah satu studio fotografer cukup ternama di Jakarta. Ya, meski pesta pernikahan kami akan diselenggarakan di Yogyakarta, kami memilih untuk memilih fotografer Jakarta karena proses skripsi Egita yang masih berjalan sekaligus pekerjaan gue yang nggak bisa ditinggal di sini. Gue membolak-balik halaman katalog yang entah mengapa nggak menarik perhatian meskipun hasil fotonya bagus-bagus. Hal itu sepertinya juga berlaku untuk Egita, sejak tadi ia hanya bolak-balik katalog yang ada di tangannya dengan padangan menerawang. Gue mengecek jam yang melingkar di tangan, ini sudah hampir masuk jam makan siang dan kami belum milih satu konsep apapun. Padahal kami sudah di sini sejak jam sepuluh pagi. Gue memijat pangkal hidung. Tak menyangka mengurus pesta pernikahan ternyata harus seribet ini. Memenuhi ekspektasi kedua keluarga maupun calon mempelai memang menyulitkan. Sedangkan gue masih harus ke kantor untuk mengecek laporan yang karyawan baru buat. Getaran di ponsel membuat gue mengalihkan perhatian dari katalog-katalog itu.     Mayang Dahayu Vin, nanti makan siang bareng?   Melihat nama Mayang membuat bibir gue menyunggingkan senyum tanpa sadar.   Kavin Kalau aku udah selesai urusannya, kita bisa makan bareng.   Mayang Bos sibuk emang susah ya! Haha   Kavin Gak sesibuk yang kamu pikir. Tunggu di kafetaria, nanti aku ke sana. Gue menoleh ke arah Egita yang masih saja merenung. Akhir-akhir ini dia lebih banyak melamun dibanding sebelumnya. Matanya juga berkantung dan terlihat membengkak. Katanya dia sibuk mengerjakan skripsi dan mengejar dosen, makanya sampai seperti itu. Gue tak bisa berbuat banyak, hanya bisa menyampaikan dukungan moril berupa ucapan semangat. Jika pekerjaan gue tidak menumpuk mungkin gue akan membantunya nanti. Gue bersyukur dulu dapat dosen pembimbing yang baik, ditambah ada Mayang yang selalu membantu gue di saat gue kesusahan. Gue banyak berhutang budi sama Mayang. "Yang?" ucap gue untuk menegur Egita yang masih menatap halaman katalog yang sama sejak lima belas menit yang lalu. Tapi Egita tidak merespon. Gue sekarang baru sadar kalau gue panggil Egita Yang, gue teringat dengan Mayang. Begitupun juga saat gue manggil Mayang, gue teringat Egita. Panggilan itu berawal saat proses skripsi kami baru saja dimulai, Karena Mayang dan Maya satu kelompok dan keduanya selalu menyahut saat yang lainnya memanggil ‘May’, akhirnya kami bersepakat untuk memanggil Mayang dengan sebutan ‘Yang’ agar tidak ada kesalahpahaman dalam menjalani proses skripsi. Kebiasaan itu terus berlanjut sampai saat ini. "Git?" Pada akhirnya gue memutuskan untuk menegur dia menggunakan nama. "Iya Mas?" jawab Egita spontan. Mas? Egita selalu memanggil gue dengan sebutan ‘Kak’, entah mengapa malah sebutan lain yang terucap dari bibirnya. Namun sepertinya ia sama sekali tidak menyadari bahwa sudah mengeluarkan panggilan yang berbeda terhadap gue. "Kenapa?" tanyanya kemudian. Mencoba mengabaikan hal sepele itu, gue kembali membuka suara. "Udah selesai milihnya? Atau kita mau cari fotografer lain?" Egita hanya menggigit bibirnya, terlihat bingung sekaligus gugup. "Kayaknya aku lagi nggak mood untuk milih konsep yang mana," jawabnya kemudian. "Kenapa?" "Aku kangen rumah," jawab Egita. "Kamu mau pulang? Mau aku pesenin tiket?" "Nggak usah Kak, biar aku aja nanti. Kayaknya aku mau pulang naik kereta. Aku kangen sama pemandangan saat naik kereta." "Maaf aku nggak bisa nemenin kamu pulang, karyawan baru masih diorientasi sampai tiga bulan. Dan bulan ini evaluasi terakhir mereka." "Aku nggak masalah kalau kamu nggak bisa nemenin Kak," jawab Egita dengan senyumnya. Inilah salah satu faktor yang membuat gue bisa bertahan sama Egita. Dia tidak banyak mengeluh, dia tidak minta untuk dimanja maupun menuntut perhatian berlebih. Dia sosok mandiri yang tidak terlalu bergantung sama gue yang kerap kali sibuk dengan dunia gue. Berbeda dengan Mayang yang suka mengeluh tentang hal-hal kecil dan sepele yang membuat percakapan kami lebih berwarna. Ia juga menuntut perhatian saat gue tak acuh dan mendengarkan celotehannya, dan Mayang juga tidak pernah segan untuk meminta bantuan yang membuat gue merasa begitu dibutuhkan. Gue menggelengkan kepala. Gue tidak boleh membandingkan dua orang yang sama-sama berarti untuk gue. Egita ya Egita, Mayang ya Mayang. Mereka berbeda. "Kalau gitu ayo kita pulang, aku ada janji makan siang di kantor." Egita kemudian menganggukkan kepala dan menutup katalog di tangannya. "Ayo," ajak Egita dengan sebuah senyuman. Senyum yang entah mengapa terlihat penuh beban di mata gue. Gue nggak tau apa skripsi segitu membebaninya, jurusan kami memang berbeda dan itu membuat gue nggak terlalu banyak bisa membantu selain karena kesibukkan gue. "Git, kamu boleh manggil aku sesuka kamu," "Maksudnya Kak?" tanya Egita dengan heran. "Kalau kamu lebih nyaman manggil aku Mas, aku nggak masalah." Egita terlihat begitu terkejut sekarang. Seperti dugaan gue, kayaknya dia benar-benar tidak sadar saat panggil gue mas. "Maaf Kak, aku nggak maksud sama sekali," ucap Egita. Ya gue mengerti, beberapa senior di kampus emang kadang suka dipanggil Mas, mungkin dia terbawa. Atau mungkin juga dia kepikiran hal lainnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN