Semesta mempunyai berjuta cara untuk mempermainkan perasaan yang terombang-ambing tanpa arah untuk meraih tujuan.
***
Gue memutuskan pulang ke Yogyakarta untuk menenangkan diri. Kebetulan Mas Dhafin sedang mengambil cuti tahunannya, dan Mbak Nares akan pulang ke Indonesia dalam dua hari ke depan. Gue membutuhkan pendapat Mbak Nares mengenai persoalan ini. Karena kalau soal hati tidak akan pernah terselesaikan sendiri bukan?
Hari ini Zenata dan Inara mengantar gue ke stasiun sama pacarnya masing-masing. Sementara Marsya absen karena sedang menyelesaikan skripsinya di Bandung.
Ya, akhirnya Inara sama Aldo jadian juga, begitu pun dengan Zenata dan Fikar. Entah bagaimana ceritanya, namun sejak awal gue sudah menebak jika mereka memang sama-sama memiliki rasa.
Persiapan pernikahan gue membuat mereka memaklumi mengenai waktu untuk berkumpul bersama mereka yang berkurang begitu drastis, sehingga tidak mengetahui detail perkembangan hubungan keduanya. Yang jelas gue turut senang melihat mereka bahagia dengan pasangan masing-masing.
"Kavin nggak antar Git?" tanya Aldo.
Gue menggeleng. "Dia ada rapat, nggak mungkin gue minta dia ngebatalin rapat cuma karena hal sepele gini," jawab gue.
"Calon istri yang baik," puji Fikar yang hanya membuat gue mengulum senyum.
"Lo udah sering ngilang akhir-akhir ini, tiba-tiba mutusin pulang kampung lagi," protes Inara.
"Wajar lah Na, dia lagi nyiapin nikahan makannya ilang-ilangan," bela Zenata.
"Terus skripsi lo gimana?" tanya Aldo
"Tinggal revisi dikit, dospem gue juga lagi ada tugas luar jadi gue nggak bisa konsul selama seminggu ke depan. Kan lumayan buat habisin waktu di rumah. Gue kangen banget sama rumah. Mbak gue juga mau pulang," timpal gue.
Gue nggak begitu kangen rumah sebenernya, dan Mbak Nares pun ada rencana untuk liburan ke Jakarta, sehingga kami bisa saja bertemu di sini. Tapi menghabiskan waktu di apartemen malah membuat gue smakin ingat sama Mas Rillo. Dan Kak Kavin juga akhir-akhir ini semakin sibuk di kantor, jadi gue kebingungan bagaimana cara menghabiskan waktu sedangkan temen-temen udah sibuk sama pacar masing-masing. Bahkan Bagas dan Bang Khalil yang biasa gue jadikan temen main udah sibuk sama gebetan mereka. Gue merasa kesepian.
"Lo beneran gapapa Git sendirian?" Aldo kembali memastikan.
Ya, Aldo, Fikar dan teman teman gue yang lain memang sudah pernah ke rumah gue. Perjalanan naik kereta cukup panjang, memakan waktu selama delapan jam. Apalagi gue perempuan dan sendirian, mungkin mereka khawatir.
"Gue udah sering pulang sendiri kali Do, tapi thanks ya semuanya udah anter!"
Pengeras suara pun berbunyi tanda kereta gue sudah tiba. Gue segera berpamitan dengan yang lainnya. “Guys, kereta gue udah dateng, sampai ketemu ya!”
"Mau gue bawain nggak tasnya?" tanya Fikar.
"Yailah lebay lo, tas gemblok gini doang," jawab gue sambil jalan ke arah kereta. Mereka semua senyum dan melambaikan tangannya ke arah gue yang gue balas lambaian tangan.
"Maafin gue yang mau lari dari kenyataan dulu. Seminggu doang kok, gue sayang kalian," gumam gue saat menaiki kereta.
***
Sementara itu di sisi lain...
"Si Egita jadi aneh nggak sih akhir-akhir ini?" tanya Zenata kepada para sahabatnya. Pasalnya sahabatnya yang satu itu sedikit berubah, mulai dari intensitas bermain bersama yang berkurang, wajahnya yang terlihat selalu murung, dan juga kantung matanya yang menyaingi Pak SBY.
"Iya nggak pernah ngadain percobaan masak lagi di tempat lo," timpal Inara sambil menganggukkan kepalanya menyetujui.
"Walaupun kadang masakannya suka aneh-aneh dan bikin gue keracunan, gue tetep suka kok dia masakin buat gue. Apa dia tersinggung ya?" Zenata mencebik, ia khawatir jika Egita tersinggung dengan ucapannya tempo dulu.
"Tersinggung mungkin enggakYang, trauma iya. Dia udah dua kali bikin kamu keracunan kan?" timpal Fikar sambal tertawa untuk memecah suasana.
"Kar jangan bercanda dong! Orang lagi serius juga," protes Inara sebal.
"Dia juga jadi lemot gitu, sering bengong." Zenata menambahkan
"Iya juga sih... dia nggak pernah ngomel sama gue lagi. Kan aneh ya? Padahal ngomelin gue kan bagian dari hobi dia," timpal Fikar sambil garuk-garuk kepalanya.
"Mungkin lagi stress nyiapin pernikahan kali. Banyak masalahnya kan pasti, apalagi digabung sama skripsi makin-makin itu pusingnya dia. Kalian positif thinking aja, dia lagi butuh piknik kayaknya," timpal Aldo.
"Tapi gue khawatir sama dia, apa gue suruh Mas gue jemput dia di stasiun sana aja ya?" tanya Inara.
"Emang mas lo dipindah tugas ke mana?" tanya Zenata bingung.
"Ke Yogya, kampungnya Egita."
***
Rillo mengerutkan dahi begitu melihat panggilan dari sang adik. Tidak biasanya adiknya meneleponnya di pagi hari seperti ini.
"Hallo Dek?"
"Hallo Mas, Mas lagi sibuk?"
"Lagi ada kerjaan, tapi nggak sibuk. Kenapa? Ibu baik-baik aja kan?"
"Baik-baik aja kok Mas, aku nelepon Mas bukan buat ngomongin ibu. Orang rumah alhamdulillah baik-baik aja."
"Syukur kalau gitu, ada apa? Minta Mas kirim uang?"
"Nggak usah nebak-nebak sih Mas, biar aku selesai ngomong dulu."
"Iya, yaudah kamu ngomong."
"Mas tau Egita temen aku kan?"
Rillo sempat terdiam, ia bingung kenapa Inara tiba-tiba menanyakan soal Egita kepadanya.
"Mas? Halo Mas? Kok diem?"
"Iya Dek, tau. Kenapa?"
"Dia pulang ke rumahnya, naik kereta, sendirian Mas. Aku nggak tau kenapa tapi akhir-akhir ini dia berubah. Jadi lebih diem dan nggak kayak biasanya pokoknya. Aku takut ada apa-apa sama dia. Mas bisa ngejemput dia di stasiun nggak?"
"Emang rumah Egita di mana Dek?"
"Satu kota sama tempat mas kerja sekarang,"
"Kapan jadwal dateng ke stasiunnya?"
"Kurang tau Mas, tapi baru aja keretanya berangkat. Mungkin sampai sana sore. Tadi sih naiknya dari Gambir, mungkin turun di stasiun Tugu."
"Nanti mas liat jadwal di webnya,"
"Makasih ya Mas, dia stress kayaknya, mau nikah sambil skripsian jadi gitu. Aku agak khawatir sama dia, Mas. Mana kakak dia stay di Jepang kan, umurnya jauh pula, jadi nggak punya tempat untuk berbagi kalau nggak sama kita-kita di sini."
Nikah?!
"Oh iya Mas, gelang di laci mas aku pakai mas. Hehe maaf ya Mas baru bilang. Gelangnya bagus soalnya. Gapapa kan Mas?"
"Ya, gapapa."
"Tapi cincinnya nggak aku pake kok tenang aja Mas. Masih rapi di kotaknya."
"Iya,"
"Mas jaga kesehatan, jangan lupa makan. Ibu sama bapak udah kangen di sini."
"Tugas Mas sebentar lagi selesai di sini Dek, ini udah bulan ketiga. Mas bakal dioper ke sana lagi. Tinggal satu minggu mungkin."
"Egita juga pulang seminggu doang Mas, kalian bareng aja kalian pulang ke sininya, biar aku lebih tenang."
"Lihat nanti ya Dek,"
"Sampai ketemu nanti Mas, jangan lupa oleh-olehnya! Salam buat pacarnya kalau udah ada pacar di sana!"
"Kamu ada-ada aja, salam juga buat Aldo. Udah dulu ya Dek, Mas masih harus kerja."
"Dadah Mas!"
"Dek, tunggu!"
"Kenapa Mas?"
"Saat kamu pamit sama Mas untuk ke acara tunangan temen kamu di Yogya waktu itu ... Egita orangnya?"
"Iya Mas, itu kan udah lama. Mereka udah mau nikah juga sekarang. Emang kenapa Mas?"
"Gak apa-apa, salam buat ibu,"
***
Rillo's POV
Sekarang sudah jam tiga sore, jadwal kereta Egita datang jam setengah empat. Sampai sekarang saya belum memutuskan akan ke stasiun untuk menjemput atau setidaknya melihat dia atau tidak.
Hampir tiga bulan dari kejadian waktu itu, kejadian di mana saya mau mengikat dia, yang ternyata berujung jadi pengakuan dia kalau dia sudah lebih dulu terikat sama orang lain.
Saya pernah merasakan kekecewaan, dan itu rasanya tidak enak. Makanya selama kami dekat saya tidak pernah mau membahas perihal hubungan kami lebih lanjut dalam arti kata pacaran.
Saya ingin kalau memang sudah benar-benar merasa pas dan cocok, saya akan langsung mengikat dia. Umur saya sudah tidak cocok untuk mencari perempuan sana-sini hanya untuk pacaran dan putus. Orientasi saya sekarang untuk membangun sebuah keluarga, makanya saya mencari seorang istri, bukan pacar.
Saya tipe cowok kolot yang ingin punya istri yang bisa masak, dewasa, juga bisa jadi panutan dalam keluarga, dan tentunya dapat mengurus anak dengan baik. Dan saya menemukan sosok yang saya cari dan saya butuhkan di diri Egita Airis Zahran binti Muhammad Furqan. Sayang saya keduluan orang.
Malam itu saya berencana mengikatnya karena saya akan pergi pindah tugas ke sini selama waktu yang tidak ditentukan, walaupun pada akhirnya hanya tiga bulan pekerjaan saya di kantor cabang Yogya sudah terselesaikan dan akan kembali ke kantor pusat di Jakarta.
Saya sudah memesan cincin, cincin simpel tanpa ada motif apapun dengan ukiran nama saya dan dia di baliknya. Khas cincin pertunangan yang biasa dipakai orang-orang. Malam itu juga saya berencana untuk mengunjungi orangtuanya begitu menyelesaikan perjalanan dinas. Sayangnya apa yang saya harapkan jauh berbanding terbalik dengan kenyataannya.
Malam itu saya merasa begitu kaget, kecewa, bodoh dan juga sedih. Salah saya juga sejak awal tidak bertanya apa dia sudah punya hubungan sama orang lain atau belum.
Setiap saya bertemu dia, saya terlalu merasa nyaman sampai tidak ingat untuk menanyakan hal sekrusial itu. Tapi selama kami bersama Egita pun tidak menunjukan keanehan apapun yang membuat saya curiga, atau mungkin saya sudah terbutakan oleh cinta.
Saya kira setelah saya pergi, saya bisa melupakannya dengan cepat. Tapi saya salah besar, saya tidak bisa menghilangkan bayangannya sama sekali dari pikiran. Setiap ada perempuan yang mendekat, pada ujungnya akan selalu saya bandingkan dengan dia. Dan saya belum menemukan perempuan yang sebanding dengannya. She's my wife goals...
Tapi begitu saya mendengar dia mau menikah, rasanya saya tidak rela. Lebih tidak rela dari melihat mantan saya di pelaminan sama suaminya kemarin. Dan perasaan ini sangat amat mengganggu.
Otak saya berpikir untuk tetap duduk di sini dan mengerjakan laporan kantor atau bahkan lembur sampai malam, tapi hati memberontak untuk pergi ke stasiun.
Untuk hari ini, otak saya dikalahkan oleh hati. Saya pun mengambil kunci mobil dinas yang digunakan selama di sini untuk pergi ke stasiun meski jam kerja saya belum selesai.
Saya sampai stasiun jam empat kurang lima belas. Telat lima belas menit dari waktu kedatangan kereta yang seharusnya. Saya pun menanyakan ke satpam untuk mengecek apakah kereta yang saya maksud sudah tiba. Gelengan dari satpam itu membuat saya mendesah lega.
Saya pun menunggu kereta sambil duduk di salah satu kursi di stasiun. Seorang ibu di samping menegur saya. "Nunggu kereta juga Nak?"
Saya menyunggingkan senyum dan mengangguk mengiyakan. "Iya Bu,"
Di sini orang-orangnya cukup ramah, tiga bulan saya menetap di sini mengajarkan saya untuk tidak kaku berinteraksi dengan orang baru. Setiap orang di sini pasti saling menegur satu sama lain walaupun tidak saling kenal.
Stasiun sore ini lumayan ramai. Saya melihat anak kecil berlarian kesana-kemari sambil bersanda gurau, hal itu membat saya teringat dengan Inara. Dulu Inara juga suka mengejar-ngejar saya persis seperti anak ini dan adiknya.
Anak yang saya yakini sebagai adiknya terjatuh di depan saya, dan dia menangis kencang. Dengan reflek saya menggendong anak itu dan memangku dia di kursi lalu mengelap dengkulnya yang sedikit kotor karena jatuh.
Ibu-ibu di sebelah saya memberikan selembar tisu basah untuk membantu membersihkan anak tadi. Tak lama kakak dari anak yang saya pangku datang dengan wajah penuh rasa bersalah.
Melihat kejadian ini seolah membangkitkan memori masa kecil saya bersama Inara. Tidak terasa waktu begitu cepat berlalu. Sekarang Inara bahkan sudah punya pacar.
"Dek, Adek gapapa? Maafin Mas. Mas nggak akan lari-larian lagi," ucap si kakak yang membuat saya tersenyum. Orangtuanya pasti mengajari mereka dengan baik.
Saya harap anak saya kelak akan seperti ini. Saling menghargai sesama saudara dan juga bersikap sopan. Memikirkan soal anak membuat saya merasa miris, calon istri saja belum ada ngapain saya mikirin anak.
"Ayo Adek, Masnya udah minta maaf dimaafin nggak?"
Anak di pangkuan saya menggeleng hingga membuat si kakak ikut menangis.
Ibu di samping saya yang menonton sejak tadi kemudian memeluk si sulung. "Maksud Masnya mungkin bercanda, kalian kan saudara, jadi nggak boleh berantem oke?" ucap ibu itu dengan senyuman ramahnya.
Si anak di pangkuan saya tiba-tiba turun dan langsung memeluk kakaknya yang ada di dekapan si ibu tadi.
Bagaimanapun juga anak memang cenderung lebih dekat sama perempuan ya, oleh karenanya saya tidak ingin salah dalam memilih istri. Karena istri berperan sangat penting dalam mendidik kepribadian anak. Hal itu membuat hati semakin merasa miris. Ketika sudah menemukan orang yang tepat, waktunya tidak tepat.
"Mas, Ibu sama Bapak mana?" tanya si bungsu yang membuat anak yang lebih besar menengok ke sekeliling. Wajah sedih mereka membuat saya sadar kalau mereka tidak menemukan orangtuanya.
"Ayo biar Mas antar ke pusat informasi," ucap saya sambil menggandeng mereka berdua. Tidak lupa saya pamit ke ibu-ibu yang sudah membantu tadi.
Karena saya disuruh menunggu di pusat informasi sampai orangtua kedua anak itu datang, saat keluar dari pusat informasi ternyata kereta yang Egita tumpangi sudah sampai sejak tadi.
Kita bahkan ada di kota dan tempat yang sama, tapi nggak diizinkan untuk ketemu. Apa ini yang dinamakan bukan jodoh?