Karla menonton drama di kafenya, adegan Sintya yang memeluk Rangga dari belakang. Wajah Rangga memerah karena malu dan marah pada sikap kekanak-kanakan Sintya. Library Cafe cukup ramai siang ini dan Karla merasa pengunjung terhibur dengan adegan sok romantis ala Sintya. Rangga mengatakan sesuatu yang—tapi bukan amarah. Pria itu selalu berhasil menahan amarah. Dulu, saat masih menjalin hubungan dengan Karla, setiap kali Rangga diam dengan wajah memberengut—itu tandanya dia sedang marah. Marah kalau Karla tidak mengabari di mana dia pergi, marah kalau Karla tidak cepat membalas pesannya, dan marah ketika Karla dekat dengan teman prianya. Dan itu wajar, karena Rangga sangat menyayangi Karla hingga saat itu tiba. Saat di mana terjadi kesalahpahaman.
Hujan di bulan februari adalah hal yang disukai Karla. Sore itu hujan mengguyur kampusnya. Dia berlari, menerobos hujan untuk pergi ke gedung sebelah. Gedung baru tempat anak-anak nongkrong. Gedung itu baru 95% jadi dan gedung itu adalah tempat favorit Rangga. Karla sampai di kelas kosong di mana Rangga menunggu. Setengah bajunya basah. Dan kejadian tak diduganya terjadi. Sintya mencium Rangga. Mereka berciuman di kelas. Karla sempat melihat Rangga memberontak tapi...
“Lihat, La, Rangga pergi dan dia bilang—“ suara Sintya memecahkan kenangan pahit Karla. Sintya tampak frustrasi. “Dia...” Sintya menggeleng tak percaya. “dia bilang, dia masih mencintai kamu.” Karla tersentak mendengar perkataan Sintya. Sejenak Karla bergeming. Dia tidak tahu harus berkomentar apa.
“Rangga memang tidak pernah mencintaiku, aku tahu itu. Aku tahu dia bersedia menjadi kekasihku setelah kamu menikah dengan Leon. Aku—“ Sintya tampak putus asa dan pergi tanpa pamit.
Karla menelan ludah.
Masih mencintaiku? Pria beraroma chocolate cosmos itu masih mencintaiku?
***
Bagaimana bisa dua orang berstatus suami istri itu mencintai orang lain. Leon mencintai Nat dan Karla mencintai Rangga. Semacam keabsurdan tapi itu nyata. Mereka terikat oleh ikatan pernikahan. Tapi saling terluka dan saling sendu.
Karla sering menanyai Leon soal alasan Leon memilih dirinya untuk menikah. Tapi Leon tak pernah menjawab. Karla yakin bukan soal hutang ayahnya. Karla juga yakin itu bukan soal ketertarikan Leon padanya. Jika Leon tertarik padanya, mungkin sudah setahun yang lalu pria itu menyentuhnya. Tapi, sampai sekarang pria itu tak pernah menyentuhnya.
“Halo,” suara dengan bass itu mengagetkan Karla.
“Alisya...”
“Boleh berbicara denganmu?”
“Ya.”
“Aku mau masuk ke ruanganmu boleh?”
Karla menatap resah Alisya. Pikiran-pikiran negatif berlalu lalang di kepalanya. Apakah Leon dan Alisya bertengkar saat bercinta dan Alisya akan membongkar perselingkuhannya dengan Leon?
Beberapa saat kemudia mereka duduk di sofa mungil dalam ruangan yang mungil. Ruang manajer—Karla sendiri. Karla masih menatap resah Alisya. Pikiran-pikiran negatif itu terus mengelilingi kepalanya.
Karla memberi isyarat kepada seorang waitress dengan seragam orange kebanggan Library Cafe—untuk membuatkan minuman.
“Ada perlu apa ya?”
Alisya tersenyum penuh arti. “Aku hanya ingin mengobrol denganmu saja.”
“Boleh?” Alisya melihat ketidaknyamanan Karla. Barangkali Karla memang wanita yang lebih suka bergelut di dunia yang dia ciptakan sendiri daripada berbincang dengan orang asing.
“Tentu saja.” Karla tersenyum.
“Aku tahu Library Cafe adalah konsep yang kamu buat untuk kafe luar biasamu ini. Kata-kata romantis berjajar di dinding-dinding kafe, suasana romantis, manis dan—nyaman. Sungguh, aku suka kafe ini. Leon yang cerita tentang kafemu ini, Karla.” Dusta Alisya. Alisya tahu soal kafe ini dari salah satu karyawan yang sempat diajak ngobrol. Leon tak pernah menceritakan Karla bahkan sekarang Leon menempatkan istrinya di tempat berbahaya.
“Terima kasih, Miss Alisya. Aku tersanjung mendengar pujianmu.”
“Jadi, ceritakan pertemuanmu dengan Leon untuk pertama kalinya.” Pinta Alisya. Dia ingin menguak apa yang sebenarnya terjadi dalam kehidupan rumah tangga Karla dan Leon. Ya, ada sesuatu yang ganjil pada kehidupan rumah tangga mereka.
Karla kembali ke masa lampau. Saat pertama kalinya dia melihat Leon di kampusnya. Orang tua Leon adalah donatur terbesar di kampus. Itu sebabnya dia cukup dihormati di kalangan para petinggi universitas. Tapi, dia tak pernah menyangka kalau Leon akan menjadi suaminya di masa depan. Masa ini.
Leon adalah kakak tingkat Karla di kampus. Leon adalah Night Gladiolus—bunga yang mekar hanya pada malam hari. Beraorma spicy yang sangat bagus. Bunga Night Gladiolus selalu menarik bagi kupu-kupu, lebah dan serangga. Dia selalu menarik perhatian kaum hawa. Karla pernah melihat dua orang gadis dengan tampilan modis layaknya girl band saling baku hantam karena memperebutkan Leon.
Mereka saling menjambak. Dan Leon—pria yang ditunjuk temannya sebagai biang keladi pertengkaran dua gadis cantik itu seakan tak peduli dan memilih pergi.
“Dasar pria keparat.” Umpat Karla.
Karla berniat menghampiri pria itu, menonjok bagian hidung bangirnya yang menjadi salah satu andalan dalam memikat para wanita. Tapi dia urung. Itu bukan urusannya. Peduli apa?
“Itu pertama kalinya aku melihat Leon, tapi aku tidak tahu apakah saat itu Leon melihatku.” Ujar Karla.
Waitress itu datang dan membawa dua cangkir berisi latte.
“Hahaha,” Alisya tertawa sejenak. “Sangat tidak mengesankan. Berarti semua para wanita di kampus tahu betapa keparatnya Leon.” Dia kembali tertawa.
“Haha, ya. Seperti itulah.” Karla merasakan sesuatu yang baru. Sesuatu yang positif. Sesuatu itu seakan memberitahu bahwa Alisya bukanlah selingkuhan Leon. Dia tidak terlihat seperti wanita penghibur ataupun sejenisnya. Penampilannya yang elegan dan rambut kucir kuda, wajah tegas, mata instingtif memberinya kesan bahwa Alisya semacam pengacara, politisi atau mungkin seorang detektif kepolisian dan bukan auditor keuangan.
“Jadi sejak kapan kamu mulai dekat dengan Leon dan menjalin hubungan dengannya?”
Karla terdiam mendengar pertanyaan lanjutan. Alisya bertanya seperti seorang wartawan. Meskipun perbincangan itu terasa hangat tapi pertanyaan-pertanyaan Alisya membuat Karla tercekat. Berbohong adalah yang terbaik untuk saat ini.
“Kita minum dulu latte-nya sebelum aku menjawab pertanyaanmu itu,” Karla meraih cangkir.
“Oke,” disusul Alisya dan mereka berdua menyesap latte.
Dari mana aku mulai menceritakannya...
***
Bagi Leon Natalie adalah reinkarnasi putri seorang bangsawan dari Inggris Raya. Wanita itu cantik dan lembut. Perangainya baik dan keibuan. Rambut cokelat lurusnya terurai panjang alami. Matanya sipt dan hidungnya lancip. Natalie seperti cahaya di antara puluhan bahkan ratusan wanita lainnya. Semenjak mengenal Nat, Leon sempat berubah menjadi pria yang lebih baik. Tapi, selepas pilihan Nat untuk berpisah dengannya, Leon kembali seperti Leon yang dulu. Lebih k*****t dibandingkan sebelumnya.
Suatu hari ketika mereka berdua duduk di kafe dengan gaya klasik. Natalie mengenakan dress hitam yang tidak berlebihan. Dia tersenyum melihat sudut bibir Leon. Ada bekas saus di sudut bibirnya. Natalie mengusap lembut sudut bibir Leon tanpa tisu. Mereka bersitatap lama dan tersenyum secara bersamaan.
***