Sepulang dari pelatihan selama seminggu, aku kembali pada pekerjaan biasa pemanggil nomor karcis. Dan bertemu lagi dengan orang-orang yang suka bermuka dua. Aku rasa, Kak Tari pasti merasa menang karena sudah berhasil mengambil hati Om Dani selama peninggalanku. Walaupun aku tak tahu persis apa bisnis mereka berdua, tapi dari kabar yang berhembus mereka makin akrab. "Makan yuk," sapaku ketika masuk ke ruangan Agus. Siang ini, aku berencana mengajak Agus makan bersama dengan begitu mungkin aku bisa mengorek sedikit info tentang Om Dani. "Kamu sakit ya, Lis? Kok, kelihatan pucat? Kalau masih capek istirahat saja?" tanya Agus begitu aku sudah duduk di sampingnya. "Enggak, kok. Mungkin kecapaian aja," jawabku lagi-lagi sembari tersenyum. "Kangen kali!" "Oh, kalau itu pasti dong." Aku

