Megumi tidak memiliki siapapun selain dirinya sendiri. Keluarganya sudah berantakan sejak dulu. Orang tua nya berpisah. Orang tua nya sudah memiliki keluarga masing-masing. Megumi sudah sangat jarang bertemu dengan mereka. Jika Megumi merasa hari-harinya terlampau berat. Megumi akan selalu pulang ke sebuah rumah tua di pinggiran kota. Rumah nenek angkat nya. Seorang wanita tua yang pernah menyelamatkan Megumi di masa lalu.
"Kenapa jarang pulang Megumi?" Wanita itu sibuk menyiapkan makan malam untuk Megumi. Megumi tersenyum.
"Bukannya sekarang aku sudah pulang?" tanya Megumi. Dia menerima satu mangkuk sup daging dari nenek angkatnya. Wanita tua itu menggelengkan kepala. Menatap Megumi malas.
"Sudah berapa lama kamu tidak makan? Kenapa kamu sangat kurus?" Nenek Ambar menatap Megumi lekat.
"Aku makan banyak Nenek. Jangan cerewet. Bukannya kamu pernah mengatakan aku selalu cantik dalam keadaan seperti apapun?" ucap Megumi. Nenek Ambar mencibir nya.
"Kamu memang cantik dalam keadaan seperti apapun tapi kamu harus mencintai dirimu Megumi. Lihatlah dirimu, kamu cantik tapi aku sama sekali tidak bisa melihat kebahagiaan di wajahmu." Nenek Ambar selalu berbicara seperti itu padanya. Selalu langsung pada intinya.
Megumi hanya tersenyum. Dia memakan makanannya dengan cepat. Nenek Ambar menahan tangannya. Menatapnya galak.
"Untuk apa makan terburu-terburu. Tidak akan ada yang mencuri makananmu. Hanya ada kita di sini."
Megumi terdiam cukup lama. Tatapannya tidak lepas sedikitpun dari nenek Ambar sampai akhirnya Megumi memeluk nenek Ambar dengan erat.
"Nenek, aku sangat merindukanmu."
"Sekarang ada apa lagi denganmu? Kenapa mendadak bersikap manja seperti ini?" tanya nenek Ambar. Megumi semakin mengeratkan pelukannya pada nenek Ambar.
"Sudah aku bilang. Aku sangat merindukanmu. Apakah sekarang aku juga tidak boleh merindukanmu?" tanya Megumi. Nenek Ambar melepaskan pelukan mereka. Nenek tua itu menatap Megumi lekat.
"Jika ingin menangis, maka lakukan saja. Kamu tidak perlu menahannya dihadapanku." Nenek Ambar menggenggam tangan Megumi erat. Tatapannya lembut.
Megumi mendongak. Menggigit bibirnya cukup kuat sampai akhirnya Megumi menangis. Menangis dengan sangat menyedihkan di hadapan nenek Ambar. Walaupun Megumi tidak ingin melakukannya namun Megumi tidak bisa menahan diri lagi.
"Apa yang membuatmu menangis. Siapa yang berani menyakitimu?" Nenek Ambar menatapnya lekat. Wanita itu mengusap lengan Megumi berulang kali. Tatapan matanya terlihat khawatir.
"Aku hanya lelah karena pekerjaanku tidak pernah habis. Nenek Ambar, kenapa pekerjaan itu selalu mengikutiku?" Isak tangis Megumi terdengar semakin menyedihkan.
Nenek Ambar memeluk Megumi erat. Dia mengusap lengan Megumi berulang kali. Mengusap rambut Megumi lembut.
"Pekerjaan terkadang memang sangat melelahkan. Kamu tidak perlu memaksa dirimu dengan keras. Jika lelah bekerja maka istirahatlah. Jika suamimu tidak memberimu uang. Minta uang padaku." Megumi menggelengkan kepalanya dalam pelukan nenek Ambar.
"Berhentilah menangis dan habiskan makananmu. Aku sudah susah payah memasak untukmu."
Megumi mengusap air matanya. Belakangan ini dia sudah terlalu banyak menangis.
"Kenapa kamu tiba-tiba menangis karena pekerjaan. Bukannya kamu selalu menyukai pekerjaanmu bahkan kau bekerja seperti robot penghasil uang."
Megumi tersenyum tipis, menatap nenek Ambar lekat.
"Kenapa menatapku seperti itu?" tanya nenek Ambar. Megumi menggelengkan kepalanya. Dia menghabiskan makanan yang dimasak oleh nenek Ambar untuknya hari ini.
"Megumi. Sejak pertama kali kita bertemu. Kamu pernah mengatakan. Kamu menganggapku sebagai keluargamu. Bukan seharusnya kamu tidak merahasiakan apapun dariku? Bukan keluarga seharusnya seperti itu?"
Mata Megumi terpejam. Dia menarik nafas berulang kali.
"Nenek Ambar bukannya kamu pernah bercerai dengan suami pertamamu?"
"Benar tapi kenapa kamu tiba-tiba bertanya?"
"Aku hanya penasaran. Kenapa kamu bercerai dengan suami pertamamu?"
"Bukannya aku sudah pernah mengatakan padamu. Dia sangat tampan sampai aku sulit mengendalikannya. Dia sangat populer sampai semua orang menginginkannya. Jadi perceraian terjadi ketika seseorang berhasil merebutnya dariku. Aku tidak bisa bertahan."
"Dia selingkuh?" tanya Megumi. Dia menatap nenek Ambar. Wanita tua itu tersenyum.
"Kamu benar. Pria selalu seperti itu. Ketika mereka merasa tertarik maka mereka akan mengejar sampai mereka mendapatkannya. Orang mengatakan tidak perlu khawatir karena itu hanya cinta sesaat namun yang terjadi padaku berbeda. Suamiku benar-benar mencintai selingkuhannya. Akhirnya kami memutuskan untuk bercerai."
Megumi terdiam. Bolehkah Megumi berharap jika hubungan Sebastian dengan selingkuhan nya hanya hubungan sesaat?
"Kenapa kamu tiba-tiba bertanya tentang ini? Bukannya pernikahanmu baik-baik saja?" Nenek Ambar menatapnya semakin lekat.
Megumi menarik nafas. Dia berdiri. Pindah duduk ke sofa.
"Nenek Ambaar. Sepertinya aku mengalami hal yang sama denganmu. Menjadi janda di usiaku tidak terlihat buruk bukan?" tanya Megumi. Nenek Ambar terlihat terkejut. Wanita itu menghampiri Megumi.
"Megumi, apa maksudmu?"
"Aku ingin bercerai nenek Ambar."
***
Megumi menarik nafasnya berulang kali. Sepulang kerja Megumi memilih untuk duduk di taman kota yang tidak jauh dari perusahaan. Megumi datang dengan berjalan kaki. Megumi ingin menghirup udara lebih banyak.
"Aku membuatmu menunggu lama?" Megumi tersenyum, dia menggelengkan kepalanya. Menerima satu cup kopi yang diberikan oleh Rosie.
"Tentu saja tidak. Aku baru selesai bertemu klien. Aku mengganggu waktumu, Rosie?"
"Tentu saja tidak. Kalau di pikir-pikir aku juga sudah lama tidak duduk santai seperti ini. Pekerjaan memang sangat menyita waktu." Rosie duduk di sampingnya.
"Saat kuliah dulu. Kita sering kali melakukannya sebelum jam malam habis. Aku pikir setelah menikah tetap akan memiliki waktu seperti itu namun ternyata sangat sulit. Kita bekerja di perusahaan yang sama namun sangat jarang bisa memiliki waktu untuk mengobrol."
"Itu karena kamu sangat sibuk Megumi. Kamu memiliki dua job desk sekaligus. Aku masih bingung. Seharusnya kamu yang menjadi CEO di perusahaan. Kamu yang bekerja keras untuk perusahaan namun yang mendapat pujian justru si bodoh Sebastian."
"Dia pemilik saham terbesar di perusahaan. Bagaimana mungkin bisa melawannya. Lagi pula keluarga Holland terlalu kuat."
"Kamu benar juga. Mereka menguasai kota ini. Kemanapun pergi kita akan mendengar nama mereka."
Megumi kembali menarik nafasnya. Dia tersenyum tipis sambil menikmati kopi hangatnya.
"Megumi, kamu sangat jarang seperti ini semenjak S&M Strategy Consultant berdiri. Aku sangat tahu kamu tidak suka membuang-buang waktumu. Kamu selalu kembali ke rumah setelah pulang bekerja. Kenapa kali ini berbeda?"
"Rumah terlampau sesak. Butuh banyak tenaga untuk menghadapi Sebastian."
"Apa rencanamu setelah ini? Sebastian sudah tahu kau ingin bercerai?"
Megumi mengangguk, "Dia tahu tapi dia menolak perceraian itu."
"Sebastian tahu?"
"Tahu. Aku mengirim beberapa bukti perselingkuhan yang dia lakukan namun dia tidak mau mengakui itu. Dia justru marah seperti orang gila."
"Lalu apakah masih ingin bercerai?"
"Rosie, apakah kehidupan setelah bercerai akan semakin mengerikan?"
"Aku tidak tahu. Tapi beberapa orang justru terlihat lebih bahagia setelah bercerai." Rosie menatap Megumi, "Megumi, apakah benar-benar ingin bercerai?" tanya Rosie.
"Hm. Aku sudah memutuskannya. Aku tetap ingin bercerai."
"Megumi, kamu tahu. Melihat posisi mu. Kamu jelas akan menjadi pihak yang akan sangat dirugikan dalam perceraian ini. Kehilangan Sebastian tidak akan menjadi masalah bagimu. Tapi kamu sudah siap kehilangan S&M Strategy Consultant? Kamu sudah siap kehilangan seluruh kerja kerasmu?" tanya Rosie.
Megumi tersenyum. Megumi tahu. Bercerai dengan Sebastian sangat beresiko. Salah satu resikonya. Megumi harus siap kehilangan S&M Strategy Consultant.
"Aku sudah memikirkan resikonya. Aku sudah siap kehilangan S&M Strategy Consultant."
"Lalu bagaimana jika Sebastian tetap tidak setuju dengan perceraian itu?"
"Aku akan menyelesaikannya di pengadilan." Megumi lagi-lagi tersenyum pada Rosie.
"Rosie, hari ini aku sudah mengajukan perceraian ke pengadilan."