Meskipun sudah tua, ayahnya Jeff masih pro dalam permainan catur. Beberapa kali pria tua itu sudah memenangkan beberapa putaran. HIngga akhirnya ia sudah merasa bosan dan pinggangnya lumayan pegal.
"Sudah sudah, papa mau lurusin badan dulu," katanya sambil memposisikan bantal kursi, lalu merentangkan badan di atas sofa.
"Oke, Pap. By the way udah jam delapan juga ini. papa belum laper?"
"Tunggu mamamu pulang. Dia tadi pergi sama Bu Putu, katanya ada barang yang dicari. Paling juga shopping."
"Yakin mau nunggu mama? NAnti malah dia udah makan di luar."
"Coba pastiin dulu. Kamu telepon mamau, cepat!"
Jeff pun menurut. Panggilan pertama dan kedua tidak diangkat oleh ibunya. Kebiasaan sang ibu yang selalu menyetel volume handphone terlalu kecil, sehingga ketika berada di tempat ramai tidak akan terdengar. Jeff pun menelepon Bu Putu.
[Haloo, pak Jeff.]
[Bu, lagi sama mama, ya?]
[Iya, Pak. Ada apa?]
[Bisa tolong kasihin dulu teleponnya ke Mama? Saya telepon dia dari tadi soalnya ga diangkat.]
[Ohh sebentar-sebentar. Bu, Ini Pak Jeff mau ngomong.]
Telepon bpun beralih pada ibunya Jeff. [Ya, nak, ada apa?]
[Jeff tadi nelepon ke handphone mama ga diangkat. Kebiasaan volumenya diset ekcil banget. Mau nanya aja, mama pulang masih lama?]
[Oh maaf, mama ga denger. Lagi pilih-pilih baju juga ini. kayaknya setengah jam lagi pulang.]
[Kalo gitu Jeff bawa papa makan duluan, ya. Kasian kalo nunggu mama, ini udah lewat jam makan malam. Mama juga kalo bisa makan aja dulu sama Bu Putu di luar, nanti Jeff ke sana jemput.]
[Ah ga usah, banyak taksi online kok gampang. Kamu bawa papa aja makan dulu, ya. Tapi awas jangan kasih dia macem-macem nanti kakinya bengkak lagi.]
[Oke, Mam. Hati-hati nanti pulangnya.]
Jeff menutup telepon, lalu melihat papanya yang sudah jatuh tertidur. Ia pun berinisiatif untuk membawakan makanannya saja. Di restoran sudah ada Franky dan Jamie yang sedang bermain kartu remi. Mereka tadi mengajak Jeff untuk bergabung, tetapi ia menolak karena sedang menemani papanya.
"Woy, Jeff! Mau makan?"
"Ho-oh. Tapi mau dibawa ke pondok, makan bareng bokap."
"Kami juga baru makan. Dessertnya special, dari koki kesayangan kita," ujar Franky tersenyum lebar.
Jef mnegerutkan kening. "Dessert apaan?"
"Entah apa namanya ribet banget gua ga inget. Pokoknya buatan Sashi ga pernah failed."
Jeff baru ngeh bahwa yang dimaksud Franky adalah Sashi. "Oh, oke."
"Lo liat tuh anak ga sih? Gue telepon dari tadi ga aktif. pondoknya juga gelap."
Jeff mengedikkan bahu. "Mana gue tahu."
Setelah mennyebutkan beberapa pesanan kepada waiters, Jeff duduk di meja Franky smabil menunggu pesanannya selesai. Ia masih penasaran dengan sikap Sashi tadi siang yang seperti orang panik, tepat setelah mnegatakan bahwa tas ibunya mirip dengan miliknya. Ketika sadar, Jeff berusaha untuk tidak memikirkan hal tersebut karena bukan urusannya. Ia hanya melihat Franky dan JAmie bermain remi dengan seru, hingga waiters datang membawakan makanan.
"Pak Jeff, ini pesanannya mau saya anterin aja ke pondok?"
"Ga usah, biar saya aja yang bawa."
"Sama sekalian ini, pesan dari Mbak Sashi, katanya buat orangtuanya Pak Jeff. Tadi dia bikin sore-sore di sini."
"Oke, thank you."
Jeff pun pamit kepada Franky dan jamie untuk kembali ke pondok. Hatinya merasa aneh ketika mengetahui Sashi memasakkan sesuatu untuk keluarganya.
***
Janji dalam setengah jam sudah pulang, ternyata ibunya Jeff sampai di cottage dua jam kemudian. Ia membawa banyak sekali paperbag berisi baju, sepatu, tas dan parfume. Jeff tahu ibunya memang jarang sekali belanja, namun sekali kesempatan itu ada dan sedang dalam mood yang besar, Ibunya bisa lepas kontrol.
"Ini belanja segini banyak buat stock berapa tahun, Mam?"
"Ah kamu ini! Mumpung ada diskon, tauk!"
Diskon memang selalu jadi kambing hitam. "Tapi mama udah makan, kan?"
"Udah tadi sama Bu Putu dan Wayan. Kami makan sushi," jawab ibunya. "Jeff, coba liat. Menurut kamu ini lucu, ga?"
Ibunya memperlihatkan sebuah blouse berwarna biru muda dengan belahan agak panjang di bagian punggung. Sementara bagian pundaknya terdapat pita yang mempercantik blouse tersebut.
"Bagus, tapi masa mama mau pake ginian? Kayak ABG."
"Eh, ini buat Sashi! Ga tau kenapa pas liat baju ini, mama langsung keingetan Sashi. Pasti cantik kalo dipake sama dia. Iya ga?"
Jeff hanya mengangguk. "Dia juga tadi bikinin mama sama papa dessert tuh."
"Oya? Dessert apaan?"
"Yang salad mama bilang kemaren itu. Tadi chefnya yang ngasih tahu."
"Huzarensla? Waahh enak tuh kalo dimakan sekarang pasti seger. Kebetulan tadi abis makan sushi, mama belum cuci mulut. Telepon deh, Jeff suruh anterin ke sini."
"Ada kok di kulkas udah Jeff mabilin tadi."
Jeff pun beranjak untuk mengambil saladnya. Ia sendiri sudah mencicipi dan mengakui bahwa apa yang dibuat Sashi selalu enak. Begitupun dengan ibunya yang tampak antusias membuka plastic wrap dan langsung mneyendoknya.
"Waahhh... enak banget! Ini bahkan lebih enak dari huzarensla yang mama makan di acara nikahan anaknya temen mama itu loh, Jeff! Mama jadi penasaran apa Sashi pernah sekolah culinary gitu, ya?"
"Ga tahu juga, Jeff belum pernah nanyain."
"Kamu sih jarang banget ngajak ngobrol. Padahal kan dia anaknya asik kalo udah ngobrol, ramah juga."
Jeff tidak tahu mengapa ibunya sangat terobsesi pada Sashi. Ia hanya takut pada akhirnya ibunya akan kecewa karena tahu profesi Sashi yang sebenarnya. Ia bahkan tidak pernah membelikan baju untuk Alina.
"Mam, Jeff balik ke pondok dulu, ya. Udah ngantuk."
"Oke, Nak. Kamu istirahat dulu aja. Mama bentar lagi abis makan ini, beresin belanjaan, terus langsung istirahat juga."
"Sip." Jeff mencium pipi ibunya, lalu pergi.
Di luar ia sempat berjalan pelan sebentar sambil memerhatikan pondok Sashi yang gelap gulita. Entah wanita itu ada di sana atau tidak. Jeff berpikir untuk memberikannya pekerjaan dengan salary yang cukup untuk kebutuhannya sehari-hari. Mungkin Sashi bisa ditempatkan sebagai chef, kalo memang wanita itu mau. Memang, pendapatannya mungkin tidak akan bisa menandingi dengan profesinya saat ini. Namun Jeff berharap Sashi menyetujuinya.
Jika Sashi menolak, maka Jeff tidak tahu harus menawarkan apa lagi. Ia tidak tahu kemampuan Sashi yang lainnya. Ia tidak bisa terus menempatkan Sashi berada di sekeliling keluarganya. Di sisi lain, Jeff menyukai personality Sashi, namun di sisi lain hatinya menolak untuk mneyukainya karena hal yang sangat fatal tadi.
Jeff terus berjalan hingga sampai di pondoknya sendiri. Mungkin pemikiran tadi akan ia bicarakan dengan Sashi besok.