"Diantara banyak nya bintang dilangit, tuhan pasti punya alasan kenapa hanya beberapa yang ditakdirkan untuk bersinar paling terang." -Rea.
•••
"Ma, Aku boleh nanya?"
Desi yang sedari tadi berkutat dengan laptop didepan nya, terpaksa membagi konsentrasi pekerjaan nya dengan Puteri nya itu.
Desi menghela napas panjang, malam ini benar-benar melelahkan untuk nya. Belum lagi wanita itu sedikit tidak enak badan dan kurang fit dari hari biasa nya, mungkin karena terlalu sibuk membagi waktu antara pekerjaan kantor dengan pekerjaan rumah.
Tentu saja Desi tidak bisa begitu saja mengabaikan Rea, puteri satu-satu nya itu hanya karena sebuah pekerjaan. Mengingat selang beberapa tahun lalu, betapa hancur nya Rea saat kehilangan Daniel.
"Iya, apa?" tanya Desi setelah menatap sedetik Rea yang juga menatap Desi dengan dua roll rambut yang masih menempel di poni nya.
"Dulu yang nembak duluan itu Mama atau Papa?"
Pertanyaan itu. Pertanyaan yang membuat Rea sedari tadi gelisah akhir nya terucap juga, dengan keringat dingin yang merembes dipelipis nya.
Desi yang mendengar dengan jelas pertanyaan Rea sedikit terkejut, lalu akhir nya mengerti kemana arah pembicaraan ini. Desi sendiri bahkan mengerti siapa yang bersangkut pautan dengan pembicaraan ini. Kasa. Sebagai ibu nya, Desi paham betul kalau Rea memang menyukai Kasa dari awal Rea bertemu. Walau kesan yang Rea tunjukkan saat bertemu dengan Kasa pertama kali justru terlihat sebalik nya.
Desi akhir nya memutuskan untuk mematikan laptop nya dan menutup benda pipih itu, menopang dagu nya sambil menatap intens Rea yang mulai risih.
"Kenapa liat-liat?" Tanya Rea yang berusaha untuk mengalihkan mata nya dari Desi.
Desi tersenyum penuh arti, dengan tatapan yang masih sama. "Kamu.. Suka sama Angkasa?"
"STUPID!"
refleks, mata Desi membola kaget. "Heh, omongan nya. Kamu jangan teriak-teriak bisa ga?"
"Ya abis, Mama kok nuduh aku begitu?" Sungut Rea sambil menatap Desi gregetan.
Desi tersenyum miring, menatap Rea songong. "Kamu udah pantes tanya masalah ini ke pakar nya langsung."
"P-pakar? Pakar apaan, sih? Ya udah aku gajadi tanya aja." Ujar Rea antara kesal dan salah tingkah.
"Eh, duduk dulu!" Perintah Desi tegas.
Mau tidak mau, Rea akhir nya memilih untuk duduk ditempat nya. Lagipula, Rea ingin mendapatkan jawaban yang pasti dari Desi.
Desi yang awal nya duduk berseberangan dengan Rea, memutuskan untuk pindah ke dekat puteri nya. Wanita berkulit putih dengan mata bulat berwarna cokelat bening itu menyandarkan badan nya ke Sofa putih nya, lalu memainkan ujung rambut Rea.
Desi menghembuskan napas nya, "Kalo kata Mama, sih.. Nggak perduli mau siapa duluan yang nembak. Mau itu cowok nya dulu, atau cewek nya. Cinta itu bukan tentang siapa yang nembak duluan atau gimana cara nembak nya, tapi tentang siapa yang mau saling menjaga komitmen untuk hubungan mereka."
Jemari Desi tetap memainkan ujung rambut Rea, membuat cewek itu memejamkan mata menikmati permainan tangan Desi. Rasa nya benar-benar rileks dan ingin sekali langsung melompat ke kamar untuk segera tidur.
"Dulu waktu pertama kali Mama kenal Papa, Mama malah benci banget sama Papa karena Papa itu nyebelin dan sok banget. Tapi semakin hari, kelakuan Papa kamu udah kebiasaan ada di hidup Mama. Jadi pas Papa nggak ada, Mama baru ngerasa gimana arti kehilangan. Mama juga baru sadar kalo ternyata, dari awal Mama udah ke semsem sama Papa. Perasaan benci dan kesal itu, ternyata adalah perasaan nyaman sekaligus cinta. Tapi kamu tahu sendiri kan, gimana gengsi nya cewek."
Mata Rea terbuka perlahan, lalu mengangguk ragu setelah lama berpikir. Cerita Desi memang serupa dengan apa yang ia rasakan saat ini. Tetapi, Rea sendiri masih ragu kalau ia benar-benar mencintai Kasa.
Membayangkan bagaimana respon Kasa saat cowok itu tahu bahwa ia menyukai Kasa saja sudah cukup membuat Rea stres.
Aku N-nggak mungkin suka Kasa kan? Seenggak nya nggak secepat ini. Batin Rea cemas.
"Cewek itu terkadang suka gengsi, mikirin gimana pede nya doi lah, gimana reaksi doi pas tau lah. Sampe mereka ga sadar, pikiran dangkal mereka yang bikin mereka menyesal." sambung Desi.
Otak Rea dangkal? Diam-diam, Rea mendengus kesal. Namun tidak lama menyadari sesuatu bahwa semua pernyataan yang Desi katakan memang benar.
"Ta-tapi, Ma.. Kalo ternyata doi nya nggak suka gimana?" tanya Rea, suara nya putus-putus karena gugup.
Desi tersenyum. "Ya kalo nggak suka arti nya dia nggak pantes buat kamu. Dia terlalu Naudzubillah buat kamu yang terlalu subhanallah."
Rea menutup mulut nya, menahan semburan tawa nya. "Hahaha, apaan sih, ma. Kok jadi gitu,"
"Pada dasar nya, setiap manusia itu nggak ada yang nggak saling sayang atau nggak cinta sesama manusia lain nya. Mereka hidup saling bergantungan, menatap sama manusia lain nya dengan diri nya sendiri. Kalau mereka cinta dan sayang dengan dirinya sendiri, otomatis mereka juga sayang dengan manusia lain nya. Rasa sayang dan cinta itu lah yang dinamakan Kepedulian." Jelas Desi panjang lebar. "Kalo ada cowok yang bilang bahwa dia nggak sayang dan nggak cinta sama kamu, arti nya apa?"
"... Dia--nggak sayang sama diri nya sendiri?"
"Bukan, arti nya dia Homo. Hahaha!" Jawab Desi lalu tertawa keras.
Rea membelalakkan mata nya, lalu menatap sebal Desi dengan lelucon nya yang receh itu. Tetapi diam-diam, Rea bersyukur karena Desi menemani nya sampai sekarang. Walau Rea baru beberapa minggu tinggal dengan Desi. Tapi Rea tetap bersyukur karena dengan ada nya Desi, Rea bisa menuntut kasih sayang Desi yang 12 tahun lama nya tidak ia dapatkan.
"Kok Homo, sih? Mama aneh, deh." cetus Rea.
Desi menyentuh pipi Rea, menarik nya pelan hingga Rea menatap kearah nya. "Denger, ya.. Cuman orang buta aja yang nggak mau sama kamu."
Deg
Cuman orang buta
Cuman orang buta
Orang buta?
Orang buta itu siapa? Siapa orang buta? Kasa? Kasa buta ya? Eh, Kasa buta? Kasa emang buta? Kasa nggak suka aku?
Sedetik kemudian, Rea membeku ditempat nya.
Desi yang mulai sadar ada yang salah dengan kalimat nya, berusaha untuk memperbaiki kata-kata nya. "Eh, maksud Mama.. Cuman orang yang nggak waras aja yang ga suka sama kamu. Bukan orang buta, kok. Kalo Kas--Orang buta masih ada kemungkinan kok."
Rea tersadar ketika bahu nya diguncang pelan oleh Desi, ia tersenyum tipis. "Iya, apaan sih. Aku nggak apa-apa kok. Nggak ada hubungan nya. Mau orang buta kek, tuli kek. Nggak ada ngaruh nya juga,"
"Tapi--"
"Ma, aku keluar ya?"
Desi mengernyitkan dahi. "Kemana malam-malam gini?"
"Mau ke toko buku aja, kok. Lagian ini masih jam setengah delapan."
Tanpa menunggu jawaban dari Desi, Cewek itu berlalu pergi meninggalkan Desi yang diam membeku ditempat nya.
"Eh, maksud Mama.. Orang buta kemungkinan nya gede kok! Gedeeee banget!!" teriak Desi sekeras nya.
•••
"Cuman orang buta yang nggak suka sama kamu."
"Cuman orang buta."
Rea menghentikan langkah nya, menyentuh pelipis nya lelah. Sedari tadi, bayangan itu mengganggu pikiran nya. Cewek itu masih memikirkan kata-kata Desi. Sebenarnya, sepintas tidak ada yang aneh dengan kalimat Desi. Tetapi Rea rasa ada yang menusuk hati nya ketika Desi dengan satu kata 'Buta' itu.
Pertanyaan yang Rea sesalkan, kenapa Desi harus mengatakan Buta? Kenapa tidak tuli? Atau kenapa tidak bisu? Tunggu, Kenapa Rea harus takut akan sesuatu yang Rea sendiri ragu? Memang nya ada masalah apa kalau Desi mengatakan Buta?
Tetapi aneh nya, kenapa Rea malah tidak bisa melupakan ini semua.
Dan hati kecil nya tidak lagi dapat berkelit, bahwa kini pikiran Rea mulai dipenuhi oleh Kasa.
Rea menggelengkan kepala nya berulang kali, berusaha untuk menjauhkan pikiran-pikiran aneh dati kepala nya. Setelah itu, cewek yang masih menggunakan celana denim pendek itu menoleh kekanan dan kekiri.
Taman kompleks.
Bahkan saking asyik nya Rea memikirkan ucapan Desi, Rea sampai tidak sadar kalau kini Rea sudah ada di taman ini.
Rea sebenarnya enggan menuju ke tempat ini. Bukan hanya karena udara malam lumayan dingin, tetapi karena Rea memang berniat ke toko buku. Karena sudah sampai ditempat ini, Rea memutuskan saja singgah di tempat itu.
Rea mengedarkan pandangan nya, kebanyakan taman diisi oleh beberapa remaja. Yah, Rea cukup tahu diri sebenarnya mengingat ia tidak memiliki seorang kekasih seperti pasangan remaja didepan nya. Tetapi tidak memiliki kekasih bukan berarti seseorang melarang nya kemari, kan?
Rea duduk di kursi taman, lalu mengarahkan pandangan nya lagi ke pasangan remaja didepan nya. Kemudian Rea mencebikkan bibir nya kesal, ia sudah muak dengan pemandangan ini. Antara muak dan.. Iri.
"Aduh!"
Ujung kepala sebuah pesawat kertas menabrak dahi Rea. Sebenarnya efek yang ditimbulkan pesawat kertas itu tidak seberapa sakit, tetapi karena pesawat kertas itu datang tiba-tiba, jadi lah Rea refleks menggaduh karena kaget.
Pesawat kertas yang itu terhuyung dan jatuh ke pangkuan Rea. Cewek dengan eskpresi setengah kesal itu mengambil pesawat kertas origami berwarna merah muda itu, lalu memicingkan mata nya tajam ke sekitar nya. Namun tidak ada yang membuat Rea tahu siapa pemilik pesawat kertas itu.
Mata Rea meneliti pesawat kertas itu dengan tatapan intens.
"Sori, itu pesawat kertas gue."
Suara itu akhir nya membuat Rea menghentikan aktifitas nya yang sedang meneliti pesawat kertas itu.
Seorang cowok tinggi, dengan wajah yang sulit Rea gambarkan.
Bukan, itu bukan Kasa. Mata cowok itu hitam legam, menatap Rea dengan pandangan bagai elang. Hoodie hitam nya menyempurnakan penampilan nya dengan sepatu kets berwarna putih.
"Lo gapapa?" tanya nya.
Rea sempat terhanyut dengan suara cowok itu yang cenderung lembut. Rea bahkan sempat menebak bahwa cowok didepan nya adalah cowok tipikal yang lembut dan tidak pernah membentak ataupun marah.
Rea menyerahkan pesawat kertas itu kearah cowok itu setelah lama memandangi cowok didepan nya. "Lain kali, jangan sembarangan nerbangin ginian ke tempat yang rame. Emang nggak sakit, sih. Tapi bikin orang kaget," Ujar Rea mengomel.
Cowok itu menerimanya, memandang Rea dengan alis tertaut lalu tertawa lebar. "Hahaha, lo kaget ya?"
Apa-apaan ini orang? Dia ngeledek? Pikir Rea kesal.
"Ya siapa yang gak kaget coba, aku kira tadi itu santet." Jawab Rea asal.
"Masih harus gitu percaya sama yang gituan? Iman lo cetek, sih. Belajar agama sama gue aja,"
"Lah? Kamu kok jadi ngeledek, sih? Kan Kamu yang salah!"
Cowok itu menggaruk tengkuk nya yang tidak gatal, lalu menyodorkan tangan kanan nya dengan telapak tangan terbuka.
"Sori, ya! Hahaha, gue becanda. Nama gue Ken, baru pindah disini."
Rea tidak langsung menjawab, ia menatap telapak tangan terbuka dari cowok yang mengaku bernama Ken itu lalu beralih ke wajah Ken. Akhir nya, Rea membalas tangan Ken dengan wajah masih kesal.
"Rea." Balas nya singkat.
"Eh, lo nggak mau nanya apa gitu?"
"Gak."
"Yah, kenapa?" Tanya Ken dengan raut wajah yang dibuat-buat. "Padahal gue ngarep nya lo tanya ke gue, udah punya pacar apa belom? Gitu."
Rea menatap Ken jengkel, "Dih, sok ganteng."
"Makasih, banyak yang bilang gue ganteng sih."
Emang iya, sih.. Pikir Rea.
"Tadi itu," Rea melirik kearah tangan kiri Ken, dimana pesawat kertas origami itu masih berada di sana. "Kamu ngapain mainin pesawat kertas gitu? Kayak bocah aja."
Hah! Sukurin, dia pasti malu deh. Pikir Rea puas.
Namun reaksi Ken malah tidak sesuai dan bahkan jauh dari harapan Rea. Cowok berhidung runcing dengan bibir merah alami itu tampak tertawa lebar, lalu menunjukkan pesawat kertas milik nya.
"Kata Mama gue dulu, kalo lagi rindu sama seseorang.. Gue harus bikin pesawat kertas dan tulis harapan di sayap pesawat nya. Kalo pesawat nya terbang selama sepuluh detik atau lebih, tanda nya harapan lo bakal terwujud." Jelas Ken semangat. "Tapi kalo pesawat nya turun sebelum sepuluh detik, harapan lo nggak kewujud. Dan bisa jadi, orang yang lo kangenin lagi sibuk atau nggak rindu balik sama lo." sambung nya tanpa jeda.
Rea tertawa kecil, menatap Ken tidak percaya. "Kamu masih percaya sama yang gituan?"
"Enggak," Ken menggeleng.
"Ya terus?"
"Soal nya itu saran dari Mama gue, dan kebetulan yang gue rindu in itu Mama gue sendiri. Ada pengecualian disini, ketika gue rindu sama orang yang udah nyaranin tentang pesawat kertas ini sama gue.. Maka gue harus percaya sama semua omongan nya. Termasuk sama pesawat kertas ini."
"Jadi.. Kalo gitu, aku harus percaya sama omongan kamu? Dan kalau suatu saat nanti aku kangen sama kamu yang aku yakin nggak akan pernah terjadi itu, aku harus..?"
"Terbangin pesawat kertas kayak gini." Lanjut Ken senang.
Rea terkekeh pelan, lalu menggeleng. "Nggak lah, kita kan baru kenal. Nggak mungkin lah, mustahil. Kamu pergi ya udah, arti nya selesai."
"Gue pernah baca buku tantang Suara dunia, dimana ditulis kalo mulut berkata demikian maka yang bakal terjadi hal sebalik nya." Ujar Ken.
Rea membelalak, memukul lengan Ken kesal. "IH, TERUS KENAPA KAMU NGASIH TAU NYA KE AKU?!"
Ken tertawa puas, lalu menahan pergelangan tangan Rea. "Sengaja, soal nya.. Kayak nya gue suka sama lo."
Rea menatap Ken dengan mata membola sempurna, mulut terbuka. Cewek itu memang mengagumi Ken, namun dia tidak benar-benar mencintai cowok itu. Apalagi secepat ini.
Rea menjauhkan tangan nya dari tangan Ken, lalu menelan saliva nya yang tiba-tiba mencekik tenggorokan nya. "Kamu gila ya?!"
"Hahaha!" Ken tertawa semakin keras. "Tapi tenang aja, Gue ga bakal bikin lo kangen kok. Karena gue bakal ada sama lo, nggak pergi kemana-mana. Kalo bisa, sih.." sambung nya setelah tawa nya mulai reda.
"Jadi gimana?" Tanya Ken dengan seringaian lebar. "Lo tertarik?"
#
To be continues