Membuka Diri

1201 Kata
Rania pergi ke Bakery miliknya sejak pukul 7 pagi mengecek proses produksi sebelum semua cake di pajang di depan, sedangkan florist-nya tidak seperti bakery yang harus siap lebih awal tempat itu buka pukul 9 pagi dan cukup untuk memberinya waktu menghandle keduanya di tambah lagi ia punya orang-orang kepercayaan yang siap memberinya laporan. Dave tidak mengiriminya pesan lagi sejak mengajak bertemu semalam, Rania ingin menyapanya lebih dulu namun rasanya akan sangat canggung sehingga ia mengurungkan niatnya. Entah kenapa saat pria itu tidak memberinya kabar malah membuat Rania gelisah namun ia lebih memilih menjadi munafik membohongi dirinya sendiri juga orang lain bahwa ia tidak rindu. Tidak. Wanita itu menggeleng dengan pemikiran yang bergulat di otaknya ketika tangannya bahkan tidak berhenti mengatur kemudi, ia melakukan dua hal sekaligus dengan sangat baik. Perlu waktu 20 menit untuk sampai di florist miliknya, sementara Rachel sudah sibuk dengan meeting yang akan mereka mulai sebentar lagi. Rachel memang mengurus dua bisnis Rania sekaligus, wanita itu memiliki ketertarikan yang sama terhadap bunga dan kue. "Venue kali ini di sebuah cafe milik si pengantin pria, dia mau semua bunga yang fresh di sana. Kita bisa lihat tempatnya besok, gimana?" "Bu ... Gimana?" panggil Rachel, "Rania?" ia mulai memanggil namanya dengan informal. Ketika namanya disebut kesadaran Rania kembali, ia hanya memutar-mutar ballpoint miliknya sambil melamun tanpa sadar tidak mendengarkan meeting hari ini dan terkejut menatap Rachel, sahabatnya itu hanya menghembuskan nafas melihat sikap Rania tersebut. "Besok kita cek venue soal wedding nya pak Andry sekalian sama WO-nya. Bisa?" "Oke." Jawabnya singkat, Rania juga tersenyum kikuk mendapati dirinya tidak berkonsentrasi. "Disty kamu ikut juga ya." "Siap Mbak." Jawab gadis berjilbab itu. "Mikirin apa?" tanya Rachel ketika meeting selesai dan keduanya masih duduk di sana. "Chel ...." "Eumm?" "Enggak, enggak jadi ...." Rania mengurungkan niatnya untuk bercerita membuat Rachel malah semakin bertanya-tanya namun Rachel tahu Rania akan bercerita apa pun ketika dia siap. Ponsel yang Rania letakkan di atas meja bergetar dan berbunyi bip pelan hanya untuk memberitahunya bahwa seseorang mengirimkan pesan yang harus ia baca. Rania meraih benda tipis tersebut dengan cepat seakan itu adalah bom waktu yang siap meledak jika tidak segera di buka. Rachel mengernyit karena sikap aneh yang ditunjukkan sahabatnya itu hingga Rania menatap Rachel dan wanita itu tahu bahwa atasannya ini butuh privasi. "Jangan kebanyakan ngelamun, ada setan lewat bahaya loh!" celoteh Rachel sambil menepuk bahu Rania, wanita itu tidak menjawab selain hanya tertawa dengan renyah. Ia buru-buru membuka pesan yang Dave kirim untuknya, dan senyumnya semakin lebar ketika Dave berniat menjemputnya untuk makan siang. Rania dengan gemas menggigit ujung ponselnya yang tidak melakukan kesalahan apa pun. "Kamu pasti sibuk banget ya?" Dave mengawali pembicaraan keduanya dalam mobil. "Enggak, aku punya banyak waktu luang. Aku ... bisa makan siang santaaaiii banget hari ini, besok atau lusa." Rania mengigit bibir bawahnya sendiri ketika sadar bahwa ia sudah mengoceh tidak jelas, "Sorry ...." Lirihnya. Dave tidak bisa menahan tawa hingga ia harus menutupi mulutnya dengan sebelah tangan sementara tangan yang lainnya mengendalikan kemudi, Rania benar-benar membuatnya tidak bisa tampil sebagai pria kaku dan pendiam di depannya, Dave bahkan tidak berhenti tertawa atau tersenyum hanya karena celotehan sepele yang dilontarkan padanya. Keduanya pergi untuk makan pasta di sebuah restoran Italia yang Dave sukai dan ternyata Rania pun pernah mengunjunginya, aneh. Jakarta menjadi terasa sempit ketika semua tempat pernah keduanya kunjungi bahkan fakta bahwa Kania dan Rania adalah teman sekolah lebih membuatnya merasa ini adalah takdir aneh yang terjadi bukan karena kebetulan. "Aku mau aglio olio." Rania memesan terlebih dahulu hingga pelayan pria di samping kanannya mengulang pesanan wanita itu. Dave melongo dengan tidak percaya sambil meletakkan menu book yang dipegangnya, "Jangan bilang kamu mau pesan ice lychee tea juga." "Kamu peramal Dave?" pekik Rania, ia memang hendak memesan minuman segar tersebut. "Semua orang pasti pesan Ice lychee karena aglio olio cukup oily bukan?" "Oke, argumen yang bagus." Dave setuju, kali ini pun pasti hanya kebetulan saja makanan favorit mereka sama. Pria itu kemudian mencoba pasta yang lain dan berharap menyukainya juga, Dave bukan orang yang mau mengalah meski hal kecil namun ini hanya soal makanan dan Dave juga tidak merasa bahwa hal itu perlu diperdebatkan. Ia suka bagaimana banyak hal merubah dirinya dengan cara yang tidak biasa seakan hidupnya selama ini terkungkung dalam tempurung dan tidak mau di usik dengan cara apa pun. "Rania ...." "Hmm?" gadis itu mengangkat kepalanya dan menatap ke arah Dave yang duduk di hadapannya. Dave kemudian menceritakan bagian paling tidak menyenangkan dari hubungannya dengan seorang wanita yang tidak ingin ia sebut namanya, bagaimana hubungan keduanya harus berakhir juga bagaimana ia menata hidupnya setelah itu. Dave jelas lebih beruntung karena logikanya masih berjalan dengan baik bahkan setelah menyudahi hubungannya dengan seseorang yang harusnya menemani sisa hidupnya, menjadi support system dan tempat ia pulang yang orang sebut , rumah. "Tapi Tuhan selalu punya takdirnya sendiri, bukan?" Dave tersenyum miring menatap Rania, "Menikah dengan dia mungkin hanya keputusasaan aku aja. Karena aku berpikir udah saatnya aku melakukan hal itu dan dia yang ada di samping aku saat itu walaupun ada banyak hal yang gak bisa aku toleransi dari dia, ada banyak pola pikir yang enggak satu jalan tapi aku cuma berpikir harusnya dia." Dave berhenti sejenak, menceritakan hal semacam itu juga membuatnya lelah karena hal itu jelas menyimpan kekecewaan juga dalam dirinya. Dave tidak bisa pungkiri ia merasa membuang tiga tahun berharga dalam hidupnya untuk mentolerir keberadaan orang lain, menjadikan wanita itu prioritas sementara ia tidak diperlakukan serupa. Rania tertegun, ia kehilangan kata-kata dan tidak tahu harus berkomentar seperti apa pada pengalaman pahit orang lain, kisah cintanya terasa tidak seburuk yang dibayangkan ketika ada kisah lainnya yang hampir serupa, ketika ada orang lain di hadapannya yang juga memendam trauma namun masih angkuh berdiri dan menjelaskan pada dunia bahwa hal itu tidak memengaruhinya. "Coba kamu bayangin kalau aku menikah sama dia dengan segala sifatnya yang sekali lagi gak bisa aku toleransi dengan cara berpikir kita yang berbeda, berapa lama sebuah pernikahan akan bertahan?" Rania tersenyum dengan matanya yang berkaca-kaca menahan perasaan terluka yang tiba-tiba terbuka begitu saja namun terasa tidak lagi menyedihkan seperti dulu, ia mungkin menangisi bagaimana ia dengan bodohnya berfokus pada bagaimana seseorang menyakiti dirinya dan tidak berpikir ada rencana Tuhan kenapa ia dipisahkan dengan cara semacam itu, dengan kenyataan yang ia sadari meski di akhir kisahnya. Bagaimana jika hari itu dia menikah lalu mengetahuinya lebih lama lagi, Rania bukan hanya akan terluka namun ia bisa saja terpuruk dalam jurang yang lebih dalam. "Kamu tahu, aku suka kalau kamu mau membuka diri kamu tapi seandainya itu masih buat kamu terluka, aku lebih baik enggak tahu." Rania meletakkan garpu yang dipegangnya dan menatap Dave sambil menyeka sudut matanya yang hampir meneteskan air mata, entah ... Rania benar-benar tidak tahu karena apa ia menangis. "Lagi pula, Rania yang aku kenal adalah Rania yang aku temuin di restoran Jepang beberapa minggu lalu, Rania yang single dan cerewet." Wanita itu jelas tidak dapat menahan tawa mendengar lelucon Dave tersebut, kesedihannya mendadak hilang padahal Dave tidak sedang menghiburnya. Bagaimana cara Dave bernegosiasi dengan trauma yang Rania miliki membuatnya merasa menjadi lebih baik, merasa bahwa ada luka yang sedang ia tertawakan dan tidak terasa perih lagi. "Anyway Rania, aku ngajak kamu makan siang bukan buat ngehibur kamu aja." "Maaf, tapi aku rindu ...."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN