"Maaf, aku rindu ...."
Rania tidak tahu harus menjawab apa, ia bahkan terkejut meski tidak dapat menyembunyikan rona bahagia di kedua pipinya, beruntung blush on yang ia gunakan lebih dari cukup untuk menutupi itu semua. Keduanya jelas memiliki ketertarikan yang sama namun patah berkali-kali dengan jenis luka yang lebih dari kecewa membuat baik Dave maupun Rania menahan diri dari menyatakan perasaannya lebih lagi. Tidak ada yang mau kecewa, seseorang yang bersama untuk waktu yang lama sekalipun dengan mudah memberi luka apalagi ia dan pria sempurna ini yang baru saling mengenal dalam hitungan hari.
Keduanya lebih sering mencoba memikirkan apa-apa yang hendak mereka utarakan namun faktanya yang terjadi selalu sesuatu yang diluar dugaan bahkan bukan bagian dari rencana seolah hatinya selalu mengambil alih situasi yang terjadi setiap kali Dave dan Rania bersama.
Sinar matahari masuk dari celah gorden yang terbuka sebagian dari balkon yang menghadap langsung ke ramaikan ibukota namun tidak cukup mengganggu tidur Sany yang sangat ia butuhkan, bahkan angin semilir yang masuk tidak membuatnya sadar bahwa harusnya ia sudah beranjak dari tempat nyaman tersebut. Tidak sebelum Vino mengoceh dan menarik selimutnya dengan upaya sederhana dan tanpa perlawanan apa pun.
Sany menghabiskan malamnya dengan sebotol anggur merah yang usianya sudah 5 tahun yang ia simpan baik-baik untuk kondisi semacam ini, ia meminumnya tanpa gelas dengan kaki yang tinggi dan memilih langsung menenggaknya dari ujung botolnya dengan cara paling bar-bar dari seorang wanita dengan gaun glamornya. Vino membiarkan Sany, ia tidak mau menyebut nama siapa pun yang menjadikan alasan wanita cantik itu melakukan hal semacam ini dan ia tidak ingin lagi mendebat apa pun atau Sany akan menjadi lebih buruk lagi esok hari. Setiap orang memiliki caranya sendiri untuk menyembuhkan diri dari terlukanya hati.
Sany terus memikirkan tentang keputusannya untuk meninggalkan pria itu, setiap kali Sany memikirkannya ia akan menyesal dan menyesal. Ia ingin berlari dan meminta Dave kembali untuknya, ia akan melakukan hal bodoh dengan menekan nomor Dave berkali-kali kemudian mengurungkan niatnya lagi hingga ia melempar benda tipis itu menjauh darinya. Sany menangis kemudian berhenti dan melakukannya lagi sampai rasanya tidak ada lagi air mata yang mampu ia tumpahkan. Ia sadar bahwa setiap keputusan memiliki resiko namun Sany membayarnya dengan harga yang mahal.
Sany tidak pernah cemburu pada lingkungan kerja Dave atau bahkan pada wanita manapun yang mengagumi prianya itu, ia tahu bahwa resiko yang harus ia terima dari bersama seorang pria hebat adalah mengesampingkan hatinya untuk urusan semacam ini karena dunia yang Sany jalani lebih dari itu. Dave yang dengan santainya melihat Sany dipeluk pria lain atau melakukan pose yang intim dengan wanita itu yang tanpa perasaaan bersalah apa pun memaksa Dave untuk menerima bagaimana pekerjaannya.
Namun ternyata menjadi pria sabar seperti Dave adalah hal yang sulit, masih bisa tersenyum meski di hadapannya ada hal yang tidak ia sukai ternyata bukan perkara mudah. Sany bahkan terluka hanya dengan sekali melihatnya, ia merasa sesak melihat Dave masih baik-baik saja seolah yang terjadi diantara keduanya tidaklah penting. Dave yang tidak menoleh padanya dan tidak peduli bahkan jika hatinya patah. Pria itu tentu saja tahu bahwa Sany pasti hadir di sana namun dengan sengaja menggoreskan luka dan rasa malu dengan membawa wanita lain seakan tengah mengolok-olok keputusan yang ia buat.
Sany menenggak lagi alkohol di tangannya, duduk di balkon apartemennya yang mewah dan menatap keluar ke ramainya ibukota, meski hari sudah larut namun jalanan masih berkelap-kelip dengan lampu kendaraan dengan santainya menonton Sany yang seolah redup sendirian. Sany merangkak meraih ponselnya yang tadi ia lempar hingga ke bawah sofa menarik layarnya mencari kontak siapa pun yang bisa ia jadikan pelampiasan namun wanita itu akhirnya menyerah. Ia hanya bisa tersenyum sinis menyadari bahwa ia tidak pernah benar-benar memiliki seseorang di hidupnya, tidak ada teman yang dengan senang hati mendengar bagaimana ia terluka tidak ada yang pernah benar-benar bertanya apa ia baik-baik saja. Sany menangisi dirinya semakin dalam, Dave ternyata telah meninggalkan seseorang yang paling kesepian di dunia dengan hingar bingar semu, teman-teman yang hanya muncul atau menyapa saat ia mengadakan pesta atau bercengkrama sebagai bagian dari basa basi semata. Vino mungkin pengecualian tapi Sany tahu pria itu pasti tidak akan mengangkat ponselnya dan mendengarkan ocehan Sany ketika Vino sendirilah yang baru saja mengantarnya pulang.
Ponselnya kini tidak lagi berdering seperti beberapa minggu lalu, tidak ada yang sekedar bertanya bagaimana Sany menghabiskan harinya yang melelahkan dan monoton yang seringkali membuatnya merasa bosan untuk menjawab hal yang sama. Dave yang bersedia ada untuknya bahkan meski pria itu sibuk sekalipun, ia menjadikan Sany prioritas utamanya.
Tubuh Sany lemas, alkoholnya sudah habis namun ia malas beranjak dan mengambil botol lainnya sementara tidak ada siapa pun untuk ia mintai pertolongan. Wanita mabuk itu memeluk kedua lututnya dan menyandarkan kepalanya pada dinding kaca tebal di belakangnya, ia mungkin akan menghabiskan malamnya di tempat itu tanpa niat untuk naik ke atas tempat tidur yang nyaman. Namun menyadari dirinya yang terbangun di atas tempat tidurnya yang lembut membuat rencana dalam otaknya gagal. Ia pasti bangkit dan pindah sendiri tanpa sadar atau Vino memindahkannya ketika pria itu datang. Terserah saja.
"Udah teler gini masih mau party nanti malam?" Vino tampak keheranan namun jawaban Sany pasti tidak berubah.
Pria itu merapikan heels yang Sany pakai semalam dan tergeletak di sembarang tempat, bahkan dress yang belahan kakinya tinggi itu tersingkap dan sudah tidak melakukan fungsinya dengan seharusnya, seandainya itu pria lain sudah pasti ia melakukan hal tidak pantas pada wanita cantik ini namun Vino bahkan tidak tertarik untuk menyentuh tubuhnya, bukan karena ia tidak normal namun bersama Sany untuk waktu yang lama melihatnya dalam busana minim bagaimanapun menjadikan Vino terbiasa seolah itu bukanlah hal yang aneh. Hubungan keduanya murni platonik dan Sany menyadari hal itu juga.
"Vin ...." Sany masih terbaring di tempat tidurnya ketika ia dengan lirih memanggil nama pria itu.
Vino mendekat tanpa menjawab wanita yang menyembunyikan sebagian wajahnya di atas bantal, air mata Sany meleleh tanpa suara isak tangis atau meratap seperti kemarin-kemarin. Gadis itu jelas terluka namun ia tidak bisa melakukan apa pun karena Sany sendiri yang memilih jenis lukanya. Vino menarik nafas dan memindahkan kepala Sany ke atas pangkuannya merapikan rambut berantakan wanita itu tanpa bertanya apa pun. Sekali lagi, bukan ia tidak ingin menenangkan Sany namun wanita itu punya caranya sendiri untuk sembuh dari luka.
"Vin, gue gak tahu kalo akan sesakit ini ngeliat dia sama orang lain." Suaranya begitu pelan hingga beberapa bagian tidak terdengar jelas.
"San, jangan kalah dalam pertempuran yang elo buat sendiri. Waktu enggak bisa diulang gimanapun caranya dan elo harus bertanggung jawab sama pilihan lo sendiri."
"Come on!" Vino menarik tubuh Sany agar ia duduk di hadapannya meski dengan susah payah, "You can do it, trust me!!"
Sany menangis memeluk Vino yang menyediakan bahunya untuk ia bersandar dan menumpahkan perasaannya, bagaimanapun Vino memotivasi wanita itu semuanya tetap ada pada pilihan Sany sendiri.