Vino menarik Sany ketika menyadari wanita itu berjalan ke arah yang berlawanan dengan tatapan nanar, ia menarik lengan wanita itu dan melihat bulir air mata di pelupuk hampir jatuh dari maniknya yang berwarna cokelat.
"Sany stop!" Vino menghentakkan bahu wanita di hadapannya ketika Sany masih terus saja menatap pada dua orang yang terlihat sempurna saat bersama, Vino tahu siapa pria di sana dan ia mengerti kenapa Sany bersikap seperti ini,
"Sany, inget elo punya goals yang harus lo capai, lo harus naik piramida yang jadi target lo dan keputusan ngelepasin Dave artinya lo udah siap dengan semua konsekwensinya."
Sany mendadak tuli, meski ia dapat melihat gerakan bibir dari Vino namun ia tidak paham apa yang sahabatnya itu ucapkan segalanya terlihat gelap dan Sany tidak mengerti harus bersikap bagaimana. Ia butuh alkohol, bahkan di situasi bagaimanapun Sany membutuhkannya.
"Vino, gue mau pulang," ucap Sany lirih, "Please!" bibir Sany terkatup dengan gigi geraham yang ia rapatkan menahan marahnya yang memuncak.
Vino menarik nafasnya dengan gusar, "Sany coba inget lagi berapa banyak effort yang udah lo mati-matian lakuin, pengorbanan lo selama ini, dan semuanya kalah cuma karena hal ini?" Pria itu bertolak pinggang, "Liat kanan kiri lo, mereka semua orang-orang yang bisa buat mimpi lo jadi nyata. Wake up come on!!"
Sany memeluk tengkuknya dengan kedua tangan dalam keadaan frustasi ia berada dalam situasi dilema di mana harus menyaksikan seseorang yang sebenarnya tidak siap ia lepaskan berada dalam rengkuhan wanita lain namun satu sisi ambisius dalam dirinya memintanya mati-matian untuk bertahan di sana.
Hingga pada akhirnya Sany memilih untuk kembali duduk di mejanya, mengusap dengan halus sudut matanya yang masih basah dengan selembar tisu. Apapun yang terjadi ia harus tetap angkuh berdiri dalam tujuannya sendiri. Begitulah ketika mimpinya ia rangkum saat dulu, saat ia baru menelusuri lika liku dunia yang penuh kilatan kamera ini, ia sudah memutuskan untuk jatuh cinta di bawah sorot lampu yang hanya tertuju padanya, jadi mengapa ia menyerah hanya pada hal sepele ini saja. Ya, hal sepele.
Sany tidak menyadari seseorang dari meja lainnya menatap wanita itu dengan berbeda, ia tersenyum dengan cara yang aneh setiap kali Sany bereaksi atas apa pun bahkan hanya dengan menenggak minumannya membuat pria itu menelan ludah. Pria itu berbisik pada seseorang di belakangnya hingga pria itu juga memandang Sany kemudian ia mengangguk. Ada sebuah rencana yang Sany tidak akan menyadarinya.
Sementara Rania tengah menikmati perhatian kecil dari Dave yang tidak henti-hentinya, keduanya duduk satu meja dengan sepasang suami istri dari sebuah perusahaan properti yang cukup terkenal, dua orang yang terlihat masih sangat romantis bahkan di usianya yang sudah tidak lagi muda hal itu tentu saja membuat Rania terpesona. Bagaimana mungkin dua orang dengan karakter dan segala perbedaannya bisa hidup bersama untuk waktu yang lama dan beruntungnya Rania ketika dua orang tersebut dengan berbaik hati menceritakan kisahnya.
"Kau tahu, buatlah jatuh cinta itu menjadi sederhana." Ucap wanita tua itu pada Rania, "Kau harus membuka dirimu dulu untuk siap menerima cinta itu datang." Jelasnya saat Rania bertanya soal rahasianya bertahan dengan suaminya itu.
Rania masih tampak bingung, itu teori klise semua orang akan mengatakan bahwa jatuh cinta sederhana, "Tapi Bu, apa yang bisa buat Ibu bertahan sama Bapak?" Rania semakin penasaran.
"Nah ini pointnya," wanita tua itu menjulurkan kepalanya mendekat pada Rania, "Kita harus hidup dengan orang yang kita terima hidupnya dan menerima hidup kita."
"Bayangkan kamu akan menghabiskan waktu yang sangat lama mengabdi pada pria yang hadirnya saja membuat kamu tidak nyaman, yang suaranya saja membuatmu ketakutan. Tidak ada pasangan yang sempurna tapi setidaknya kamu harus bisa menganggap ocehannya adalah lelucon yang menyenangkan dan marahnya adalah karena cintanya untuk kamu."
Rania mengangguk sambil tersenyum ia mengerti apa maksud ucapan wanita tua itu yang terdengar begitu puitis, kata-katanya jelas menggambarkan betapa hubungannya sangat menyenangkan. Rania kemudian mencari Dave ke sekeliling mengedarkan pandangan ke semua arah dan dengan cepat Rania bisa mengenali Dave bahkan hanya dari punggungnya saja, bahunya yang tegap dengan bentuk rambut yang di sisir rapi ke belakang. Ia tahu Dave di sana. Dan pria itu seolah merasakan tatapan Rania padanya, Dave berbalik matanya langsung dapat menemukan Rania yang menatapnya dengan senyum. Pria itu melambaikan tangan memberi isyarat pada Rania dan wanita itu berkedip seolah mengiyakan.
Ia tidak mengerti bagaimana membuat jatuh cinta itu menjadi sederhana, hanya saja bagian dimana hidup dengan seseorang yang menerima hidup Rania dan dapat ia terima hidupnya seolah mengusik batin wanita itu, entah kenapa ia langsung berpikir bahwa itu Dave, tiba-tiba saja nama pria itu terlintas dibenaknya begitu saja.
Rania belum lama mengenal Dave tapi cara pria itu memperlakukan orang di sekitarnya membuat Rania tanpa sadar berpikir bahwa Dave juga akan bisa menerima hidupnya, menerima masa lalu dan traumanya yang hampir gagal menikah kala itu.
Dave menyapa beberapa orang kolega bisnis yang ternyata menghadiri acara yang sama, meninggalkan Rania di mejanya sebentar yang tengah asyik berbicara dengan wanita tua yang duduk satu meja dengannya dan sepertinya satu frekuensi. Meski entah kenapa ia ingin obrolan ini cepat selesai dan ia bisa kembali duduk di samping Rania mendengarkan celotehan manja dari wanita itu atau bahkan suara tawanya yang menular. Dave tanpa sadar tersenyum menutup mulutnya dengan punggung tangan saat ia menyadari ekspresi bawah sadarnya.
Acaranya selesai pukul 11 malam ketika Dave mengantar Rania pulang ke rumahnya yang memakan waktu 15 menit itu pun seandainya Rania tidak meminta berhenti di sebuah warung bakso kecil dan memutuskan untuk menikmati late dinner nya.
"Laper?" tanya Dave heran ketika Rania langsung melahap baksonya tanpa menawarkannya pada Dave.
"Maaf ...," rengek Rania,
Dave tertegun, tingkah manja wanita di depannya ini membuatnya tidak bisa menghirup oksigen dengan baik. Rania terlihat sangat menggemaskan dan hampir membuat Dave mencubitnya.
"Aku tadi cuma makan beberapa potong pastry dan itu enggak cukup." Wanita itu tersenyum memamerkan deretan giginya yang putih, "Kamu enggak?"
"Kamu aja, aku kenyang liat kamu makan." Ledekan Dave membuat Rania tertawa dan lagi-lagi tawanya menular.
"Aku kalo boleh milih gak pergi ke acara semacam itu, kenapa yaa. Ngerasa beda kasta aja." Jelas Rania sambil menertawakan opininya sendiri.
Dave memberinya tatapan bertanya menunggu penjelasan dari wanita yang tengah memasukkan saus lagi ke mangkuk baksonya itu hingga warna merahnya membuat Dave menggeleng.
"Aku suka hidup dengan rules aku sendiri dan kadang di lingkungan dimana kita di nilai harus baik itu mencekik banget sih." Jelasnya.
"Buat aku juga gitu, tapi beradaptasi itu penting. Aku bahkan ketemu beberapa kolega dan klien di sana. Itu bagus buat bisnis kita." Dave tersenyum.
Rania mengangguk tanda setuju ia juga mengingat seandainya saja tadi tidak ada teman di mejanya pasti Rania sudah kebosanan. "Tapi diluar semua itu, aku seneng bisa pergi bareng kamu." Ia tersenyum lagi-lagi membuat Dave terpesona.
"Makasih juga ya Rania untuk buat aku terus-terusan terpesona."