Kisah 5 - Tetangga dan CFD

1734 Kata
Dua tahun lalu Sepulang dari masjid setelah menunaikan ibadah salat subuh—Ricon sudah terbiasa membantu Pak Sardi—tetangga yang sudah sangat banyak membantu Ricon selama ini. Ricon hanya membantu dan memilah yang akan dijual kembali ke toko buah milik Pak Sardi yang berada di Pasar Induk Caringin dan satu lagi di kasawan Cicadas kota Bandung. Sama halnya dengan pagi ini—Ricon memilah buah mangga dan pisang. Kebetulan saat ini adalah musim panen buah mangga. “Amang … ini buahnya sudah saya pilah,” kata Ricon pada Pak Sardi yang dipanggilnya amang atau paman dalam bahasa Sunda. “Ah … iya, nuhun. Con … ke dapur gih, makan. Bibi udah nyiapin sarapan tuh, “ Perintah Sardi pada Ricon. “Nanti aja , Mang.” Dari arah tangga terdengar suara gadis yang masih serak seperti baru bangun dari tidurnya. Gadis itu masih memakai piyama tidur lengan pendek dan celana panjang berwarna biru dengan motif Doraemon. Persis seperti piyama tidur anak-anak. Gadis itu mengacak-acak rambutnya sembari berteriak. “Ayah …. “ ucapnya memanggil ayahnya dengan menguap lebar. “Gina! Malu atuh ih. Ada Uda Ricon loh!” seru Sardi. Gina—nama gadis itu membeliak kaget. Gina lupa bahwa tiap subuh begini—Ricon akan datang ke rumahnya membantu ayahnya. Gina terlalu lelah karena semalam dia baru tidur pukul satu dini hari untuk menyelesaikan proses revisi skripsinya. Gina saat ini adalah mahasiswi semester delapan di Universitas Pendidikan Indonesia mengambil pendidikan strata satu di fakultas manajemen jurusan manajemen katering. Gina berteriak kencang, “Aaa …. Ayah, kumaha, sih, Uda Ricon, hush … hush … sana pulang dulu! Gina lagi muka bantal nih!” cebik Gina yang kembali berlari ke arah atas menuju kamarnya. Ricon menggeleng dan tersenyum tipis melihat tingkah Gina. Gadis kecil yang usianya berjarak tujuh tahun dengannya itu seperti adiknya sendiri. Ricon begitu menjaganya. Bagi Ricon keluarga Pak Sardi layaknya keluarga pengganti. Semenjak kepergian kedua orang tuanya untuk selama-lamanya. Ricon memutuskan untuk mengontrakkan rumah tersebut. Dan kini Ricon sendiri mengontrak sebuah rumah kecil tepat di sebelah rumah Pak Sardi. Ricon berpamitan untuk pulang setelah selelesai membantu Pak Sardi. Setelah Ricon masuk ke dalam rumahnya dan sedang duduk di atas sofa kecil berwarna abu tua—ponselnya berdering menandakan sebuah notifikasi pesan whatssapp. Gina Mn [Uda jahat ih. Masuk rumah Gina nggak bilang-bilang. Malu tahu.] Ricon tergelak. Gina aneh-aneh saja , batinnya. Sudah tahu itu adalah kebiasaan Ricon setiap subuh masih saja marah-marah. Ricon memang tidak diberi gaji oleh Pak Sardi—ia sendiri menolaknya. Bagi Ricon kehangatan keluarga Pak Sardi-lah yang bernilai lebih besar dari gaji itu sendiri. Ricon pun mengetik barisan kata membalas pesan Gina. Gina sedang duduk di atas tempat tidurnya—memeluk guling yang diletakkannya di atas paha sembari menunggu balasan pesan dari Ricon. Membayangkan betapa berantakan penampilannya tadi membuatnya malu. Biasanya sebelum Ricon di rumahnya—Gina sudah bangun. Tapi justru kali ini dia terlambat. Alhasil dia belum sempat merapikan penampilannya. Terutama rambutnya yang sudah sangat berantakan sekali. Uda Ricon [Iyah, Uda minta maaf.] Gina mendengus kesal. Hanya empat kata! Begitu-lah memang seorang Capricorn Wicaksana. Tak banyak bicara. Selalu tenang dan dewasa. Lantunan Azan dari suaranya yang berat dan serak seakan menjadi alarm di pagi hari yang senantiasa membelai telinga Gina. Gina pun seakan memiliki ide. Ini hari minggu dan sudah lama ia tak jalan-jalan dengan Ricon—mungkin jalan-jalan pagi ke CFD Dago akan menyenangkan. Begitu pikirnya. Gina Mn [Uda ayo ke CFD yok! Dah lama nih nggak jalan-jalan ma aku.] Uda Ricon [Ayo] Gina Mn [Oke. Gina mandi dulu ya. Uda tunggu aja di rumah. Nanti Gina yg ke rumah Uda.] Uda Ricon [Oke. ] Gina berseru girang. Gadis itu pun segera berlari menuju kamar mandi. Ricon selalu menjaga Gina sebagai seorang kakak. Ricon sendiri tidak pernah melewati batasan diantara mereka. Gina sendiri masih meraba-raba akan perasaannya terhadap Ricon. Bahkan Gina pun tahu—dengan wajah tampan Ricon dan usia yang sudah matang, harusnya Ricon sudah bisa membangun rumah tangga. Tapi hingga saat ini—Gina tak pernah tahu perempuan mana yang dekat dengan Ricon. *** “Uda, rame banget ya CFD,” ucap Gina sembari menatap ke segala arah—yang dijawab dengan anggukan oleh Ricon. Jalanan Ir Juanda atau yang sering disebut sebagai kawasan Dago itu menjelma layaknya lautan manusia. Begitu banyak orang-orang yang berlalu lalang. Bercakap-cakap menikmati hangatnya sinar mentari yang menyapa kota Bandung pagi ini. “Mau sarapan?” tanya Ricon. “Mau, Uda. Tapi Gina mau sarapan nasi pecel aja yang di depan FO itu aja, yang ke arah jalan gelap nyawang. Kayaknya enak pecelnya, “ jawab Gina dengan binar matanya yang indah. Ricon pun tersenyum tipis kemudian dia mengangguk—dan mereka segera berjalan menuju penjual nasi pecel tersebut. Saat sampai di depan penjual pecel tersebut—Gina dan Ricon segera memesan makanan yang mereka inginkan. Ricon membeli dua botol air minum--kemudian membuka botol minum kemasan tersebut dan memberikannya pada Gina. Membuat Gina sedikit tersipu. Perlakuan Ricon yang lembut membuat Gina sering salah tingkah. Namun lagi-lagi Gina menepis bahwa Ricon hanya menganggapnya sebagai seorang adik. “Makasih, Uda.” Dari belakang mereka, terdapat satu pasangan yang cukup menarik perhatian Gina. Si pria yang memakai topi hitam yang kini sedang membuka topinya dan menyisir rambut hitamnya ke arah belakang sedang tertawa menanggapi perempuan di hadapannya. Pria itu tampan dengan khas wajah oriental dengan kulit putih pucatnya—namun matanya tak terlalu sipit. Wajahnya cukup tegas tapi melihat bagaimana pria itu tertawa terlihat sebagai orang yang cukup ramah. Sedangkan si perempuan tersebut berwajah blesteran mirip wajah bule. Rambutnya lurus sepunggung dengan warna rambut yang Gina yakin di cat dan di hightlight. Tapi tidak terkesan norak. Justru sangat pas dengan wajah cantik bermata bulat serta bibirnya yang dihiasi oleh lipgloss warna nude—membuat bibirnya yang mungil tampak semakin sensual. Cantik banget tuh cewek! Pekik Gina dalam hati. “Lihatin apa?” tanya Ricon yang cukup penasaran. “Uda, cewek blesteran itu cantik ya?” Gina malah mengajukan pertanyaan. Ricon pun mengikuti arah pandang Gina—menatap seorang gadis cantik berwajah blesteran yang kini sedang menguncir kuda rambutnya. Astagfirullah! Seru Ricon dalam hati. Begitu ia melihat gadis blesteran itu meskipun memakai jaket parasit berwarna merah mudah—namun Ricon menyadari bahwa resleting jaket itu tak dikancingkan dengan benar—membuat perut rata dan ABS-nya tercetak jelas karena hanya memakai sport bra namun ditutupi dengan jaket parasit yang terbuka. d**a Ricon berdersir. Kembali ia menyerukan maaf pada Sang Pencipta karena melihat yang bukan hak-nya. Namun bukannya mengalihkan pandangan tapi justru kini netra Ricon bersirobok dengan gadis bule itu. Membuat Ricon menahan napas untuk sedetik karena senyuman dan anggukan kepala dari gadis blasteran tersebut pada Ricon. Kembali Ricon pun mengalihkan pandangan. Pipinya tampak bersemu. Ia mencuri pandang ke arah Gina yang tampaknya masih sibuk memperhatikan pasangan tersebut. “Mereka serasi banget, ya, Uda. Yang cewek seksi wajanya bule gitu. Terus yang cowok cakep wajah kayak oppa-oppa gitu. Kalau punya anak pasti tuh anaknya bibit unggul secara wajah dan gen, “ cerocos Gina yang hanya ditanggapi oleh Ricon dengan senyuman tipis. “Kalau Gina pakai pakaian sport kayak cewek itu cocok enggak, ya, Uda. Tapi perut Gina meski masih rata Cuma enggak se-seksi cewek bule itu, sih.” ucapan Gina tersebut membuat mata Ricon melotot kaget. Kemudian tanpa sadar ia mengarahkan matanya pada perut Gina. Kemudian Ricon pun menyentil pelan hidung Gina dengan jari telunjuknya. Membuat Gina mengaduh pelan. “Pakai pakaian yang cocok dan sesuai kamu aja. Jangan dipaksain meniru orang lain.” Gina tertawa tipis melihat respons Ricon yang demikian. “Iya-iya, entar aja kalau Gina udah nikah. Gina bakal pakai baju sport bra gitu di depan suami Gina.” Kembali Gina tertawa karena Ricon yang tampak pasrah karena Gina yang sepertinya malah tampah mengerjainya. Karena makanan nasi pecel mereka telah habis. Ricon beranjak dari tempatnya hendak membayar makanan mereka. Saat berdiri di depan si penjual nasi pecel—Ricon mendapati laki-laki yang disebut oppa-oppa oleh Gina tampak kebingungan. Meraba-raba kemudian menepuk-nepuk celana sport warna hitam selutut kemudian Ricon dapat mendengar decakan lidah dari laki-laki tersebut. Sebuah suara yang merdu membelai telinga Ricon kembali membuat Ricon merasa gugup. “Rian, what’s wrong?” tanya gadis bule itu memanggil laki-laki yang dipahami Ricon mungkin bernama Rian. “My wallet. Kayaknya ketinggalan apa terjatuh ya?” “Ada apa aja di dalamnya?” tanya gadis bule itu tampak ikut kebingunan juga. “Cuma uang sih dua ratus ribu. Kartu-kartu gue di tas yang gue tinggal di hotel, sih. Gue balik ke hotel aja dulu, ya, ambil uang lagi. Elo tunggu disini aja buat jaminan.” “Sorry … maksud kamu?!” gadis bule itu berseru. Matanya membelalak lucu karena ucapan teman laki-lakinya tersebut. Kemudian gadis itu mendengus kasar. “Maaf,” ucap Ricon pelan dan sopan—membuat pasangan di depannya itu menoleh ke arah Ricon. “Bila tidak keberatan, biar saya saja yang membayar makanan dan minuman Mas dan Mbak-nya.” Ricon menatap laki-laki itu yang kini alisnya tampak terangkat pertanda agak terusik. “Maaf, maksud saya daripada Mas nya harus kembali ke hotel.” Ucap kembali Ricon dengan tak enak hati. “Maaf Mas, jadi merepotkan. Bisa tinggalin nomer HP-nya aja Mas nanti kita ganti. “Enggak usah, Mbak. Saya hanya berniat membantu.” Kembali Ricon menegaskan. Kemudian tanpa banyak basa-basi lagi, Ricon segera membayar makanan dan minuman kedua orang tersebut dan dirinya serta Gina. Saat hendak mengarah berjalan pada Gina, langkah Ricon terhenti karena panggilan gadis bule tersebut. “Terima kasih, ya, Mas, atas bantuannya. Maaf merepotkan,” ucap gadis itu dan menyenggol lengan Rian dan di balas dengan cebikan Rian. “Apasih, Bel.” “You must to say thank you to him,” bisik Belinda pada Rian. Yang hanya di respons Rian dengan dengusan malas. Kemudian Rian menyodorkan tangannya pada Ricon, “Terima kasih, Mas, sudah dibantu. Semoga dibalas dengan Tuhan.” Ucapan Rian malah mengundang senyum Belinda dan Ricon. Tapi kemudian Ricon pun membalas jabatan tangan Rian. Untuk sesaat entah mengapa Rian dan Ricon sama-sama terpaku. Saat mereka saling menjabat tangan dan kini semakin erat membuat dahi mereka berkerut. Ada sesuatu semacam sekelebat bayangan yang baik Rian dan Ricon lihat. Sebuah kecelakaan mobil yang entah dimana. Tak hanya itu saja, bahkan mereka seakan merasakan sesuatu yang aneh yang tak tahu itu apa. Mengalir dalam pembuluh darah mereka. Mengusik ketenangan keduanya secara tiba-tiba. Dan dalam masing-masing diri mereka bertanya-tanya, “Ada apa dengan diriku?” *** Kisah 4 dan Kisah 5 ini adalah adegan flashback sebelum kecelakaan yang menimpa mereka di Kisah 3 ya. Part selanjutnya di kisah 6 akan mulai kembali di masa sekarang saat mereka Rian dan Ricon mengalami koma. Siapa nih kira-kira yang bakal bangun dari koma duluan? yuk jangan lupa tap love dan komentar yaa. hatur Tengkyu
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN