Awalnya Brayn ingin mengantar Alexa ke rumah Alexa. Tapi berhubung Brayn sudah menyuruh pegawainya untuk mengantar sepeda Alexa kerumahnya, maka Brayn tak jadi mengantar Alexa pulang, Brayn malah membawa Alexa ke rumahnya.
"Tante Alice sama Bella kemana, mas?" tanya Alexa pada Brayn.
Brayn menatap Alexa tajam, "Sudah berapa kali saya bilang, jangan panggil saya mas. Saya bukan anak mama kamu," Brayn memperingati Alexa.
Alexa menyengir lebar, menampakkan gigi putih nan rapihnya. "Kan kamu lebih tua dari aku, lagi pula sebutan mas itu sopan. Apa lagi sebentar lagi kita akan menikah," Alexa main mata pada Brayn diujung kalimatnya.
Brayn langsung melotot, dia tak menyangka kalau Alexa ternyata tak sependiam seperti yang ia kira.
"Suka kamu aja lah, mama dan Bella lagi keluar arisan. Pulangnya bakalan lama. Kalau mau nunggu, tunggu aja disini. Saya mau istirahat dulu." Setelah mengatakan hal itu, Brayn langsung pergi meninggalkan Alexa sendirian. Dia tak ingin berlama-lama dekat-dekat dengan Alexa, bisa-bisa gila jika Brayn bicara pada Alexa yang mulai menunjukkan sifat tak tau malunya.
Alexa menghela nafasnya kecewa saat melihat Brayn pergi meninggalkannya sendirian.
"Yahh ... sendiri lagi gue. Padahal juga sebentar lagi gue mau nikah sama dia, tapi tetap aja dianya dingin kayak kulkas berjalan. Guenya dianggurin terus," Alexa memanyunkan bibirnya kesal.
Sepeninggalan Brayn, Alexa langsung pergi menuju kolam renang. Di samping kolam renang ada taman kecil yang indah nan nyaman. Suasananya cocok untuk menangkan pikiran yang sedang riuh.
"Nasib gue gini amat ya. Gue bingung sama jalan hidup gue sendiri," Alexa langsung mendudukkan bokongnya di atas bangku taman.
"Dulu punya pacar, uda sayang-sayangan uda cinta-cintaan, eh tau-taunya gak direstui sama orang tuanya. Dan sekarang ...," Alexa menggantung ucapannya.
"Sekarang punya calon suami kok sama aja. Emang disayang sama calon mertua, tapi calon suaminya gak peka, jangankan peka, ngelirik aja enggak. Mungkin nikah sama gue karena terpaksa banget kali ya," Alexa memasang wajah sendunya.
"Ngomong-ngomong soal cinta, gue beneran kangen masa SMA. Dimana Daniel benar-benar memperlakukan gue seperti ratu," Alexa menunduk kan kepalanya, rasanya salah satu kelemahan Alexa itu mengingat masalalu. Jika sudah mengingat masalalu, Alexa bisa menjadi cengeng seketika.
"Kenapa sih, takdir ngasih gue jalan hidup yang rumit? Gue liat orang-orang bahagia aja tuh, rasa-rasanya cuma gue doang yang sengsara," mata Alexa mulai memanas. Hatinya mulai mencolos.
"Lelaki yang benar-benar gue uda anggap sebagai calon jodoh gue, nyatanya gak sebaik apa yang gue kira. Cinta yang uda emang benar-benar gue dan dia rasakan, harus kandas tertelan restu orang tua," Alexa tak sadar, setetes air matanya kini mulai turun membasahi pipi.
"Gue yang uda terbiasa dengan dia, tiba-tiba langsung kehilangan karena paksaan. Sumpah, saat itu hati gue benar-benar sakit rasanya. Hati sakit, harga diri diinjak-injak, benar-benar uda lengkap banget penderitaan gue saat itu."
"Gue tau kalau gue bukan berasal dari keluarga yang kaya. Bahkan orang tua juga gue gak punya. Tapi, apa iya semua itu mengalahkan yang namanya cinta? Nyatanya mereka tega pisahin gue dan Deniel hanya karena kehidupan gue yang seperti ini," air mata Alexa mengalir semakin deras.
"Kalau dipikir-pikir, emang siapa sih yang mau terlahir seperti ini? Siapa sih yang mau jadi anak gak punya orang tua, anak yang harus memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Siapa yang mau? gue juga gak mau. Itu semua permainan takdir, apa gue bisa rubah? enggak kan." Alexa mengelap air mata yang semakin mengalir deras di pipinya.
"Kenapa mereka harus nilai gue dari cover? Bahkan mereka gak butuh waktu 5 menit untuk nge-judge kalau gue ini gak baik. Pandangan mereka benar-benar sempit."
Alexa menangis, sesungguhnya Alexa sangat jarang menangis. Dia selalu menyimpan rapat-rapat kesedihannya itu. Dia tak ingin kalau orang lain tau kalau hidupnya belum bahagia. Dia hanya ingin terlihat bahagia di mata orang-orang. Dia hanya ingin orang-orang tau, kalau harta, dan tahta bukan penentu bahagia tidaknya seseorang.
Alexa terkekeh kecil, yang lebih mirip dengan tawa miris, "Orang pikir gue bahagia-bahagia aja. Orang pikir gue gak punya uang, gak makan, hidup susah, banyak masalah, tapi tetap bahagia. Tetap ceria, tetap tertawa. Tapi mereka gak tau dibalik itu semua ada apa," Alexa sudah terbawa suasana. Mungkin jika selama ini dia hanya memendam masalahnya sendiri, maka saat ini lah waktu yang tepat untuk mengeluarkan segala unek-unek yang ada di hatinya.
"Manusia juga ada lelahnya, mengeluh itu wajar. Hanya saja penyampaiannya yang berbeda. Gue bukan tipe orang yang kesedihannya harus diumbar. Gue bukan tipe orang yang ingin dikasihani, gue juga bukan tipe orang yang ingin terlihat sok tegar. Inilah gue, ini Alexa. Alexa yang jika ada masalah lebih memilih diam, Alexa yang selalu terlihat bahagia dan ceria, padahal hatinya juga sedang terluka. Alexa yang selalu punya prinsip, 'Hidup untuk dijalani, jangan pernah menyerah. Jika punya masalah, jalani saja. Semua akan membaik seiring berjalannya waktu'. Bukan tak punya luka atau pun duka, hanya saja gue yang berbeda cara mengekspresikannya." Alexa memandang ke arah depan, tatapannya kosong, rasanya saat ini benar-benar seperti bukan Alexa yang sedang duduk di taman.
"Gue uda terlalu capek dengerin kata-kata orang. Hinaan, cemooh, dibenci, jadi bahan penghibahan, semuanya uda gue rasakan. Hati ini uda kebal, telinga juga sudah tebal. Komentar kalian gak akan bisa mengubah dan mempengaruhi jalan hidup gue, hanya saja terkadang hati gue lelah."
"Rasa ingin mundur dan menyerah itu pasti ada. Tapi takdir memaksa gue untuk tetap berjuang. Entah ini hukuman atau tanda sayang, yang pasti takdir lebih suka gue yang selalu berjuang, gue yang selalu kuat dan pantang menyerah. Takdir gak akan pernah biarin seoarang Alexa menjadi sosok yang kehilangan semangat hidupnya. Takdir selalu memaksa gue untuk tetap bangkit, tetap kuat dan tegar. Walaupun terasa berat, tapi takdir dan waktu sudah bersekongkol untuk menciptakan Alexa yang kuat." Begitulah Alexa. Jika dirinya merasa lelah, maka dia akan mengeluh, dia akan mengeluarkan semua unek-unek di hatinya. Tapi setelahnya, Alexa kembali menyemangati dirinya supaya tidak menjadi orang yang putus asa.
"Nangis aja, orang hidup butuh ekspresi. Kalau bahagia ya tertawa, kalau sedang sedih ya menangis. Semuanya ada porsinya masing-masing, jangan memaksa lebih untuk jadi kuat. Menangis bukan berarti lemah, sedih bukan berarti kalah."
Alexa menoleh ke belakang. Dia terkejut saat tiba-tiba terdengar suara seseorang dari arah belakangnya.
Orang itu bersedekap d**a, "Simpel kan? Nangis selagi masih punya air mata dan rasa iba. Itu berarti tandanya kamu normal."
Alexa masih diam, dia tidak menyangka kalau sejak tadi ada orang yang menyaksikan sesi curhat pada dirinya sendiri.
"Gak usah sok malu-malu, kamu gak malu-malu aja uda malu-maluin kok," ujar Brayn itu dengan santainya. Ya, orang itu adalah Brayn.
Alexa melotot, matanya membelakak lebar, "Enak aja bilangin aku malu-maluin!! Aku sunat juga lidah kamu nanti, selangcang itu menghina orang cantik." Alexa mengancam Brayn, dia sudah mengeluarkan wajah garangnya.
"Tuh kan, baru aja menye-menye, tapi sekarang uda kumat lagi bringasannya," Brayn langsung berbalik badan, dia pergi meninggalkan Alexa sendirian.
"Eh tunggu!! tungguin aku dong!!" Dengan sigap Alexa langsung mengejar Brayn.