Hope

1817 Kata
“Anak cantik, ayo bangun." Ucapan pelan nan lembut disertai usapan tangan besar di dahinya, sontak membuat gadis yang kini tengah meringkuk di atas kasur tanpa selimut, terbangun dan beberapa kali mengerjapkan matanya karena belum terbiasa dengan sinar mentari yang masuk tanpa malu menembus gorden jendela kamar berwarna putih. “Eh jangan tidur lagi, kita kan mau ketemu dokter Rachel hari ini,” ucap Gama saat melihat sang adik hampir kembali tertidur, lalu menarik pelan lengan kecilnya hingga posisi Gia saat ini menjadi terduduk. Hari ini, kedua kakak beradik tersebut bersama, Desta akan pergi mengunjungi dokter Rachel untuk proses perpindahan caregiver dari Gama ke Desta. Gia sendiri tidak cemas karena sebelum tidur kemarin malam, sang kakak sudah berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ditambah dengan caregiver barunya adalah Desta, kekasihnya sendiri, jadi tidak ada hal yang harus ia takuti untuk sekarang, kan? “Kamu mandi dulu ya, kakak tunggu di luar. Kalau udah selesai nanti kakak gendong ke ruang makan, oke?” tutur Gama setelah menepuk pipi Gia agar nyawa gadis itu terkumpul sepenuhnya. Karena masih merasa sangat mengantuk, Gia hanya mengangkat jempol tangannya lalu turun sembari berjalan gontai menuju kamar mandi. Gama saat ini telah duduk di sofa berukuran lumayan besar yang terletak di depan kamar Gia dan sudah siap dengan pakaian sederhana. Karena rencananya, lelaki tersebut memang tidak akan pergi ke kantor, melainkan akan menghabiskan waktu bersama Gia sebelum ia pergi ke Singapura 2 hari mendatang. Sweater skechers berwarna hitam, celana kain abu-abu serta sepatu sport yang satu brand dengan sweater tersebut, membuat Gama dua kali lebih tampan daripada memakai jas dan sama sekali tidak terlihat telah berumur 30 tahun. Namun, bukan berarti jika ia memakai jas maka wajahnya terlihat buruk, Gama justru terlihat sangat mapan dan berwibawa, idaman semua kaum hawa. Setelah kurang lebih satu setengah jam melakukan kegiatan di dalam rumah seperti memasak nasi goreng, mencuci piring bekas spaghetti bolognese yang menemani mereka berdua menonton film kemarin malam, serta menuang americano pemberian Desta ke dalam botol minum, Gama dan Gia saat ini telah berada di dalam mobil dan akan langsung menuju 'Mula Cafe' untuk menjemput kekasih dari si gadis. “Kak Desta sering izin buat libur kerja kira-kira kena marah managernya, nggak?” tanya Gia di tengah perjalanan mereka berdua menyusuri jalan raya yang lumayan sepi, karena sudah melewati jam-jam rawan macet ditemani dengan lagu grenade dari Bruno Mars. “Nggak tau, coba nanti biar kakak yang tanya ke pacar kamu,” jawab Gama disertai kerlingan mata menggoda, hingga membuat wajah Gia seketika berubah menjadi merah muda. “Adik kakak udah gede ya, kakak jadi pengen punya pacar juga,” celetuk lelaki tersebut saat mobil yang mereka tumpangi saat ini berhenti sejenak di lampu merah, tangan kiri Gama kemudian terulur mengambil botol minum transparan berisi americano dan langsung meminumnya. “Loh, Gia kira kak Gama sama dokter Rachel ada hubungan,” ucapan dari Gia sontak membuat Gama tersedak minumannya, lagi. Tapi beruntung, kali ini ia tidak sampai menyemburkannya atau terpaksa akan membeli baju ganti di supermarket terdekat. Dulu, atau lebih tepatnya sekitar satu tahun yang lalu, Gia pernah menangis hebat ketika tau bahwa dokter Rachel berkunjung ke rumahnya dan membawakan mereka berdua sarapan yang menurut sang kakak sangat enak. Gia sempat tidak suka terhadap dokter Rachel karena mengira bahwa dokter tersebut adalah kekasih Gama, ia tidak ingin kakaknya membagi kasih sayang antara dirinya dengan dokter itu, kekanakan memang. “Memang kamu nggak akan nangis kalau kakak ada hubungan dekat sama dokter Rachel?” tanya Gama, lelaki tersebut tentu saja tidak menyebut istilah ‘pacaran’ karena kata-kata tersebut agaknya lebih pantas bagi para remaja, ia sadar jika dirinya sudah tua. Gia mengangguk, “Nggak apa-apa, kan Gia nanti sama kak Desta,” jelasnya. Walaupun sang adik telah menyetujui Gama menjalin kasih dengan dokter Rachel maupun wanita lain, tetapi sampai saat ini Gama masih belum memikirkan hal tersebut apalagi sampai ke jenjang pernikahan walaupun umurnya sudah tak lagi muda. Toh, tidak ada orang tua yang berusaha menuntutnya untuk segera menikah seperti di sinetron-sinetron. Ia masih ingin fokus bekerja, dan tentu saja menjaga Gia sampai gadis tersebut mendapatkan lelaki yang benar-benar tepat. Perjalanan keduanya ditemani dengan percakapan ringan serta menyanyikan lagu-lagu dari band kesukaan mereka hingga tak sadar telah sampai di depan bangunan ‘Mula Cafe’. Berhubung manager dari cafe itu adalah teman semasa kuliah Gama, ia sedikit bernegosiasi agar Desta bisa pulang lebih awal seperti siang ini. Namun sebagai ganti, junior Gama tersebut harus tetap masuk di jatah liburnya hari Kamis depan. Tak ingin menunggu waktu lama, Gama dan Gia memutuskan untuk menunggu Desta dari dalam mobil saja. Lalu, tak sampai 5 menit, lelaki dengan setelan kemeja khas kerjanya keluar sembari menenteng kantong yang Gia yakini berisi croissant serta strawberry smoothies, minuman favoritnya jika mampir di cafe. Ah, dan jangan lupakan juga senyuman yang selalu mengembangz menyapa beberapa pelanggan di bagian teras cafe hingga membuat Gia yang saat ini sudah berada di kursi belakang sedikit cemberut dibuatnya. “Siang mas Gama, Gia!” sapa Desta setelah masuk ke dalam mobil yang sejurus kemudian dijawab anggukan kepala oleh Gama, namun tidak dengan Gia. Merasa sapaannya tak mendapat jawaban dari sang kekasih, Desta menengok kan kepalanya ke belakang, menatap Gia yang saat ini fokus dengan ponsel miliknya entah mengetik sebuah pesan atau hanya berselancar di sosial media. “Cemburu tuh gara-gara lo senyum-senyum sama pelanggan,” ucap yang lebih tua karena sedari tadi memang memperhatikan perilaku sang adik. Mendengar hal itu membuat Gia langsung membulatkan mata dan memulai aksi protesnya dengan mengeluarkan nada-nada suara yang merengek tak terima. Sedangkan dua orang lelaki di bangku depan hanya mengiyakan semua bentuk protes Gia agar tidak menangis sembari tertawa kecil. *** Sekitar 20 menit kemudian, mereka telah sampai di rumah sakit yang berukuran besar dan cukup terkenal dengan jejeran dokter-dokter spesialis terbaik serta alat-alat kedokteran hingga fasilitas pasien yang sangat lengkap, dan tolong jangan tanya berapa uang yang perlu dikeluarkan dalam sekali kunjungan. Gama, Gia, serta Desta saat ini tengah duduk berjejer di sofa tunggu bersama dokter Rachel yang juga mendudukkan dirinya di sofa single. Jujur saja, Desta sangat merasa tidak nyaman ketika netra hitam dibalik kacamata dengan frame classic itu menatapnya intens. Awalnya biasa saja, hingga sampai masuk ke hitungan 5 menit, mata lelaki tersebut mulai bergerak ke sana kemari berusaha untuk menghindari tatapan dokter Rachel, ia bingung kenapa hanya dirinya saja yang ditatap. Dokter Rachel membuang nafasnya, sama seperti Desta, ia juga merasa tidak nyaman melihat gerak-gerik lelaki itu. Entah ada apa, yang jelas Rachel merasa hatinya tidak ikhlas jika membiarkan Desta menjadi caregiver bagi Gia. Tetapi mengingat kemarin Gama meneleponnya di tengah malam dan bercerita bahwa Gia sangat menyukai Desta membuat perempuan tersebut mau tak mau harus percaya, dirinya juga bukan peramal yang mampu mengetahui isi hati seseorang. “Desta Winarta. 24 tahun, bekerja sebagai staff pelayanan di Mula Cafe, lulusan baru Universitas MG jurusan ilmu komunikasi. Sejak kecil tinggal di panti asuhan Kasih Bunda hingga lulus SMA, lalu keluar untuk mencari penghasilan sendiri dan saat ini tinggal di sebuah apartemen kelas sederhana yang berada tak jauh dari kampus tempatmu kuliah dulu, benar?” Penuturan dari dokter Rachel sontak membuat Desta meneguk ludahnya. Untuk informasi di kalimat pertama memang ia tidak mempermasalahkan hal itu, tetapi informasi mengenai dirinya yang berasal dari panti asuhan membuat Desta tak percaya bahwa dokter tersebut mengetahui seluk beluk kehidupannya. Agaknya, Desta lupa bahwa dokter Rachel menerima informasi tersebut dari Gama yang pada dasarnya memiliki koneksi dimana-mana. Desta menganggukkan kepala sebagai jawaban berbarengan dengan tangan putih dokter Rachel yang mengambil sebuah dokumen di atas meja kaca. Sedangkan Gama hanya diam saja melihat interaksi dua orang tersebut sembari sesekali menanggapi permintaan Gia agar melihat game yang sedang gadis itu mainkan. “Dokumen ini berisi hal yang boleh dan tidak boleh kamu lakukan sebagai seorang caregiver, gaji setiap bulan, serta beberapa informasi mengenai calon ‘pasien’ kamu. Jika setuju, bisa langsung tanda tangan di bagian belakang,” jelasnya lalu memberikan dokumen tersebut kepada Desta. Dokumen perjanjian seperti ini memang perlu dibuat agar caregiver tidak berperilaku semena-mena serta memiliki batasan dengan pasiennya walaupun posisi Desta adalah kekasih Gia sendiri. Gama dan Rachel tidak ingin mengambil resiko dengan membiarkan Desta menjadi ‘pangeran’ tanpa mempertimbangkan hal lain yang dirasa akan merugikan Gia nantinya. Di dalam dokumen tersebut juga berisi denda serta hukuman penjara yang sudah tercantum dalam KUHP jika Desta melakukan kejahatan, penipuan, maupun pelecahan terhadap pasiennya. Setelah melihat nominal gaji yang akan diberikan setiap bulan hingga membuat binar tercetak jelas di manik matanya, Desta tanpa basa basi langsung membubuhkan tanda tangan di atas materai perjanjian yang terletak di halaman paling belakang dokumen. Toh, ia juga akan membaca ulang peraturan itu nanti jika telah sampai rumah. “Gia." Ucap dokter Rachel sembari memegang tangan gadis yang masih asik bermain dengan ponselnya secara pelan hingga membuat Gia mengalihkan atensinya. “Capek nggak duduk terus? Ikut dokter tidur di ranjang sana, yuk!" Lanjutnya sembari mengarahkan jari telunjuk ke arah ranjang rumah sakit yang langsung mendapat anggukan kepala dari Gia. Salah satu cara menghipnotis seseorang adalah menjadi ramah dengan orang tersebut, mengeluarkan nada menyenangkan serta memberikan perhatian lebih kepada pasien agar mereka merasa dilindungi sekaligus menjadi patuh, sama seperti yang dilakukan dokter Rachel kepada Gia saat ini. Rachel kemudian menuntun Gia untuk merebahkan dirinya di atas kasur, tak lupa sembari terus mengelus telapak tangan dingin yang lebih kecil dari miliknya, Gia gugup saat ini. “Rileks, anak cantik,” layaknya anak kecil, ucapan tersebut membuat hati Gia merasa senang. “Oh iya, tahun ini Gia pengen pergi ke negara mana lagi?” tanya psikolog tersebut dengan nada halus. Gia memang selalu memiliki daftar negara yang ingin ia kunjungi ketika liburan, walaupun tidak pernah menjadi kenyataan. Setelah berpikir cukup lama, akhirnya Gia membuka suara, “Aku pengen ke Switzerland. Mau lihat salju sambil naik Cable Car di Titlis,” tuturnya menyinggung nama gunung Titlis yang berada di pegunungan Alpen dengan ketinggian berkisar 3029 meter tersebut. Mendengar penjelasan dari gadis dengan dress selutut berwarna putih polos itu membuat dokter Rachel tersenyum hangat. “Udah larut malam, Gia nggak ngantuk?” Kata ‘larut malam’ dan ‘mengantuk’ sengaja diucapkan dengan penuh penekanan agar pasien bisa terbawa suasana. Berhubung Gia merupakan salah satu pasien yang memiliki pengendalian pikiran cukup buruk, dengan cepat ia langsung menguap seakan hari telah malam padahal jam masih menunjukkan pukul 2 siang. “Kalau dokter hitung sampai tiga, Gia tutup mata ya, dengerin semua penjelasan dari dokter. Oke cantik?” Gia kembali mengangguk paham. “Satu ....” “Dua ....” “Tiga ...." Tangan yang tadinya sempat berada dalam genggaman dokter Rachel mulai melemas, menandakan bahwa gadis tersebut telah berada di alam bawah sadarnya. Lagi-lagi dokter Rachel tersenyum, lalu menolehkan kepalanya ke arah dua lelaki yang sedari tadi hanya diam dan melihat. “Siap?” Gama dan Desta kompak menganggukkan kepala lalu berjalan dan duduk di sebelah ranjang tempat Gia berbaring. Semoga keputusannya kali ini benar-benar tepat dan Gia akan baik-baik saja bersama Desta, batin sang kakak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN