Langkah kaki panjang berbaur dengan suara ketukan ringan dari sepatu pantofel hitam, menemani perjalanan Gama menuju mobilnya yang berada di luar kantor. Tangan kanannya terlihat memegang satu cup kopi, sedangkan tangan sebelah kirinya terlihat sibuk membuka pesan dari seseorang hingga akhirnya ia memilih untuk berhenti sejenak sembari meminum kopi.
@Destaa
[Mas Gama, gue jadian sama Gia!]
“Uhuk!!”
Lelaki yang mendapat pesan teks tersebut sontak tersedak dolce latte dalam cup kertas miliknya hingga membuat beberapa orang yang berlalu lalang di lobi kantor menatap Gama dengan tatapan penasaran sekaligus aneh.
Bisa dipastikan, Gama saat ini merasa malu ketika melihat pakaian kantor serta lantai yang kotor akibat ulahnya beberapa saat lalu.
Persetan dengan rasa malu, toh tidak akan ada yang berani menertawakan direktur seperti dirinya atau mereka akan mendapat surat peringatan, pikir Gama dalam hati
Setelah kembali menormalkan air mukanya, dengan cepat Gama membuang cup tersebut ke dalam tempat sampah dan berjalan keluar dari kantor, tak lupa memanggil salah satu petugas kebersihan yang kebetulan berada di sekitar sana untuk segera membersihkan kekacauan yang ia buat.
Apakah Gama terkejut? Iya! Tentu saja. Walaupun lelaki itu sendiri yang menyuruh Desta untuk lebih dekat dengan Gia, tetapi ia sama sekali tidak menyangka bahwa sang adik akan menerima cinta Desta secepat ini.
Kemudian tunggu, kenapa Gia tidak mengatakan hal ini kepada dirinya terlebih dahulu? Bukankah seharusnya ia harus meminta izin kepada caregiver nya untuk melakukan suatu keputusan?
Pada akhirnya, agenda pulang lebih awal untuk memasak makan malam bersama sang adik, terpaksa Gama batalkan karena harus segera bertemu dengan dokter Rachel. Gama rasa ia harus menceritakan semua yang Gia alami kepada dokter tersebut atau dirinya akan kembali salah langkah.
Tok! Tok! Tok!
Pintu apartemen terbuka perlahan, menampilkan sosok dokter cantik dengan pakaian santai dan rambut yang diikat sederhana, atau bahkan terlihat lumayan berantakan. Matanya yang memang sudah minus berat harus memakai kacamata walaupun tidak sedang bekerja.
Sepulang dari rumah sakit tadi, Rachel memang langsung dihubungi oleh Gama hingga membuat dirinya mau tak mau kembali menerima pasien di luar jam kerja.
Iya, lelaki yang seumuran dengan dirinya saat ini sudah ia anggap sebagai pasien, karena hampir tiga kali dalam kurun waktu satu minggu Gama selalu menemuinya dan menceritakan tentang bagaimana keadaan sang adik.
“Kamu penasaran kenapa Gia nggak bilang lebih dulu waktu dia diajak pacaran sama Desta?” tanyanya setelah mempersilahkan Gama untuk duduk di sofa berwarna coklat, sembari menuang teh ke dalam cangkir yang sudah ia siapkan sejak 5 menit lalu.
Gama mengangguk, bukankah memang seharusnya seorang caregiver memiliki kekuasaan penuh atas tubuh ‘pasien’nya? Tapi kenapa Gia justru melakukan hal-hal yang diluar perintah Gama? Tidak biasanya sang adik seperti ini, batinnya dalam hati.
“Kamu pernah pakai nada caregiver kamu biar Gia mau jalan sama Desta, kan?” sekali lagi, tebakan dokter Rachel selalu tepat sasaran, seolah perempuan cantik itu bisa membaca pikiran serta kembali ke masa lalu.
Apakah perempuan tersebut adalah seorang penjelajah, atau cenayang? Bukan, ia adalah seorang psikolog handal, dengan janji temu cukup sulit dan gaji besar.
“Seorang pengidap Cinderella Complex Sindrom seperti Gia itu butuh seseorang yang sangat memperhatikan dia, Gam, dan kamu aku lihat akhir-akhir ini sibuk sama masalah pekerjaan. Lalu Desta, eia datang membawa semua perhatian dan kasih sayang,” Rachel sengaja memberi jeda pada kalimatnya karena tubuhnya tiba-tiba terasa panas ketika melihat dua kancing kemeja atas Gama yang dibiarkan terbuka.
“–Jadi, di saat yang bersamaan juga kamu tanpa sadar memberi perintah Gia buat mau ikut sama cowok itu. Ya, pada akhirnya sisi Cinderella Gia akan lebih memihak ke seseorang yang lebih perhatian ke dia, daripada caregiver yang saat ini terkesan menelantarkannya. Tapi tenang aja, dia masih tetap nurut sama kamu kok,” lanjutnya setelah meminum beberapa teguk teh beraroma melati yang berada di atas muka meja ruang tamu.
Gama kembali mengangguk sembari mencerna penjelasan dari Rachel, seharusnya ia merasa senang karena pada akhirnya Gia tidak begitu bergantung kepada dirinya dan Gama bisa dengan segera mengurus kekacauan di Singapura.
“Mending kamu tanya dua-duanya dulu deh, Gam. Siap nggak si Desta itu ngerawat Gia, dan Gia sendiri udah yakin belum sama Desta. Nanti kalau udah ada jawabannya kamu bawa kesini, kita mulai perpindahan caregiver,” ucap Rachel dengan lembut, wanita tersebut memang pantas dijadikan penasihat untuk Gama.
Lagi-lagi Gama mengangguk entah untuk yang ke berapa kali sore ini, jam sudah menunjukkan pukul 6 sore dan ia harus segera kembali pulang ke rumah agar bisa bertemu dengan Desta terlebih dahulu untuk menanyakan hal yang baru saja dijelaskan oleh Rachel.
“Gue balik dulu, ya. Makasih, solusi sama teh buatan lo enak,” pujinya sembari mengelus pelan puncak kepala Rachel hingga membuat si perempuan mematung untuk beberapa saat.
Mereka berdua memang sudah terkenal dekat sejak jaman kuliah hingga sekarang, tetapi keduanya sama-sama tidak ingin melangkah lebih jauh karena memiliki alasan satu sama lain. Apalagi ketika Rachel pernah menghilang beberapa tahun, hal itu membuat semuanya kembali dimulai dari nol.
***
Di tempat lain, ada seorang gadis yang tak henti-hentinya merona karena otaknya terus memutar kejadian dimana Desta menyatakan cinta saat di cafe sore tadi.
Rasa bahagia dan malu bercampur menjadi satu hingga membentuk warna merah jambu, karena kejadian tersebut adalah pertama kali Gia memeluk seorang laki-laki selain sang kakak di depan banyak orang sekaligus.
Mereka berdua kini berada di dalam mobil yang terhitung sudah 2 menit berhenti tepat di depan pekarangan rumah Gia.
Sang lelaki sama sekali tidak terlihat akan membuka pintu mobil yang terkunci dalam waktu dekat karena masih ingin memandangi wajah Gia yang dua kali lebih manis saat merona. Dalam hati, Desta tidak pernah berhenti mengucap syukur karena telah beruntung mendapatkan gadis secantik, dan sekaya Gia tentunya.
“Eh Gia, kamu dengar sesuatu nggak?” tanya Desta secara tiba-tiba hingga membuat Gia secara spontan menolehkan kepalanya. Kepala yang sejak tadi menatap ke arah jendela, kini telah beralih sepenuhnya ke arah sang lelaki.
“Ada apa, Kak?” nada lirih atau bahkan terkesan bisik-bisik yang Gia buat karena justru membuat Desta ingin tertawa, gadisnya ini memang sangat polos dan menggemaskan.
“Agak dekat sini coba, biar jelas." Jawabnya sembari menarik pelan lengan kekasih kecilnya, hingga jarak kepala Gia dengan d**a bidang milik Desta hanya tersisa beberapa senti.
“Detak jantung aku kalau dekat kamu tuh rasanya kayak abis minum kopi, kenceng banget,” lanjutnya hingga sukses membuat Gia kembali merona lalu menarik diri, menjauh dari Desta yang tertawa kencang.
Lelaki manis tersebut memang ingin menggoda Gia agar suasana di dalam mobil tidak menjadi hening.
Pasalnya, sejak pulang tadi, si gadis hanya diam saja sambil sesekali mencuri pandang ke arahnya lalu membuang muka ke arah jendela, kemudian kembali tersenyum sendiri layaknya anak SD yang baru saja jatuh cinta hingga membuat Desta berusaha sekuat mungkin menahan agar dirinya tidak mencium pipi berisi milik Gia.
“Kamu kalau jadi pacar kakak, kamu harus siap nerima gombalan receh tiap hari, Gi.” Gia tertawa kecil mendengar penuturan dari Desta.
“Eh, tapi kita beneran pacaran kan? Jangan-jangan kamu cuma nggak mau kakak merasa malu aja tadi, makannya nerima tawaran kakak buat jadi pacar kamu?”
Pertanyaan tersebut sejurus kemudian membuat Gia kelabakan, ia takut Desta berpikiran yang tidak-tidak. Gadis dengan mata hitam tersebut kemudian menggelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri dengan gerakan cukup cepat sembari mengangkat kedua jarinya ke atas.
“Enggak, Gia juga beneran suka sama kak Desta, kok,” ucapnya.
Seulas senyuman tipis tercetak di bibir berisi milik si lelaki, tangan putihnya kemudian ia biarkan terulur untuk mengelus puncak kepala yang lebih muda dengan lembut hingga membuat Gia memejamkan matanya dan ikut tersenyum karena merasa nyaman, persis seperti seekor anak kucing.
Selesai dengan adegan manis dua manusia yang sedang dimabuk asmara, kini Desta sudah memarkirkan mobil milik Gia ke dalam garasi serta mengambil sepeda motornya. Sedangkan Gia sendiri sudah terlebih dahulu pamit menuju kamar karena Gama menyuruhnya untuk segera membersihkan diri.
Iya, kegiatan mengelus puncak kepala Gia terpaksa Desta selesaikan ketika sang kakak dari gadis tersebut yang entah sejak kapan pulang, mengetuk pintu mobil dengan tidak sabar sembari menempelkan seluruh permukaan wajahnya ke kaca mobil hingga membuat mereka berdua sedikit terkejut.
Desta kemudian mendorong motornya hingga sampai di depan rumah Gia, memarkirkannya dengan hati-hati lalu berjalan mendekati Gama yang saat ini tengah duduk sembari melahap satu porsi toast. Jika dilihat dari penampilannya yang sangat acak-acakan apalagi kemeja kotornya, Desta bisa menebak lelaki berkepala tiga tersebut telah melewati hari-hari yang suram.
“Lo yakin sama Gia?”
Pertanyaan itu membuat Desta terkejut, ia bahkan belum sempat mendudukkan dirinya di atas kursi, tetapi Gama sudah bertanya hal yang menurutnya cukup berat.
Jika Gia normal, dengan mudah Desta akan menjawab ‘iya’. Namun melihat kondisi Gia saat ini, jika menjawab ‘iya’ pun Gama pasti tidak percaya, pikirnya.
“Ya kalau gue sih yakin, Mas. Tapi nggak tau, mas Gama yakin nggak kalau Gia sama gue?” balas Desta. Gama tidak menjawab, ia hanya mengangguk-anggukkan kepala.
Sejauh ini, sifat Desta ke Gia memang sangat lembut bagaikan merawat sebuah porselen mahal yang langka, tetapi ia juga harus memastikan kebenarannya dulu kepada Gia, siapa tau sang adik merasa takut atau tidak nyaman berada di dekat Desta.
“Besok masih kerja, kan? Buruan pulang deh,” titah Gama mengusir Desta secara halus karena dirinya juga ingin segera merebahkan badan tuanya di atas kasur.
Setelah sekitar 2 menit berada di luar rumah sembari memastikan bahwa Desta akan kembali menutup gerbang setelah mengeluarkan motornya, Gama berjalan masuk ke dalam tak lupa membuang bungkus toast miliknya terlebih dahulu.
Langkah kaki yang tadinya ingin cepat-cepat beranjak menuju kamar, sekarang berubah menjadi naik ke lantai dua, ia akan menemui Gia dan menanyakan perihal Desta yang menembaknya sore tadi. Semoga saja gadis kecilnya belum tertidur, batin Gama.
Panjang umur, pikirnya. Karena sebelum ia mulai mengetuk pintu, sang adik sudah terlebih dahulu keluar dari kamar sembari membawa satu gelas kosong yang ia yakini akan diisi s**u hangat.
Gia juga sudah menuruti perkataannya yang meminta agar gadis manis tersebut segera membersihkan diri dengan berganti pakaian.
“Kak Gama mau ke kamar Gia?” tanya yang lebih muda.
Mungkin kalian akan bosan dengan Gama yang selalu menganggukkan kepalanya, tapi si pemilik kepala tidak pernah bosan melakukan hal tersebut.
“Gia mau buat s**u? Ayo kakak temenin sekalian ngobrol di bawah,” ajaknya hingga membuat Gia tertawa senang lalu mulai bergelantungan di lengan kekar milik sang kakak, sembari sesekali melempar candaan ringan.
Karena jam masih menunjukkan pukul 9 malam dan rasa lelah yang Gama alami tadi tiba-tiba menghilang setelah melihat senyum manis Gia, mereka berdua kemudian memutuskan untuk menonton sebuah film detektif dengan latar belakang suasana Inggris pada zaman dahulu.
Di saat tengah asik melihat sang tokoh utama yang berusaha memecahkan sebuah permainan kata sebagai petunjuk keberadaan sang ibu, Gama tiba-tiba teringat sebuah hal yang sebenarnya harus ia tanyakan kepada Gia sejak tadi.
Berhubung akan ada drama jika Gama bertanya langsung, maka ia memutuskan akan bertanya sebagai seorang caregiver kepada pasiennya agar Gia menjadi patuh.
“Gia anak baik, kan?” tanyanya dengan nada yang tegas serta dingin hingga membuat Gia mengalihkan atensinya penuh kepada sang kakak, ia mengangguk pelan.
“Gia pacaran sama Desta? Kenapa nggak tanya kakak dulu?” lagi-lagi ia mengangguk.
“Maaf, tapi kak Desta baik. Gia sayang sama kak Desta, kakak sering ninggalin Gia sendirian di rumah. Tapi kak Desta enggak." Tuturnya sembari menundukkan kepala ke bawah yang sejurus kemudian membuat Gama tersenyum tipis dan mengangkat dagu adiknya.
“Mau nggak dijagain Desta?” mata madu gadis tersebut sontak berbinar sempurna, ia kembali mengangguk penuh semangat.
“Tapi kenapa? Maksud Gia, Kak Gama mau kemana?” tanya Gia dengan lembut. Jika saja Gama tidak mengeluarkan nada seorang caregiver, bisa dipastikan saat ini Gia merengek protes dan meminta penjelasan.
“Kakak kan mau pergi ke Singapura, tapi kakak masih sayang sama Gia kok. Kakak janji bakal bawa banyak oleh-oleh pas pulang nanti, oke?” jelas Gama tak kalah lembut hingga membuat Gia menurut lalu memeluk erat tubuh besar yang masih berbalut kemeja kotor sang kakak.