Suara nyaring yang berasal dari benda-benda jatuh di dalam kamar, teriakan keras seorang laki-laki, ditambah dengan klakson mobil yang tak henti-hentinya dibunyikan dari luar menemani pagi Gia yang cukup ricuh.
Beberapa alat rias serta skincare yang telah dipakai, dilempar begitu saja ke atas kasur. Ini adalah hari pertama Gia masuk kuliah. Dan dengan bodohnya, ia terlambat bangun padahal gadis tersebut yakin bahwa alarm sudah di pasang pukul 6 pagi.
Kring!!
Entah sudah berapa kali dering telepon dari sang kekasih yang sudah berada di dalam mobil membuat Gia semakin terburu-buru.
Gia adalah gadis yang tidak bisa melakukan suatu pekerjaan dengan gesit, ia justru akan semakin lambat dan kacau jika ada orang yang dengan sengaja menyuruhnya untuk cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya.
Ini semua berawal dari kemarin malam, ketika si gadis diajak jalan-jalan menikmati dinginnya udara malam bersama Desta.
Terlalu larut dalam obrolan di warung pinggir jalan membuat Gia pulang sekitar pukul satu dini hari, belum lagi adegan dramatis antara keduanya yang sama-sama tidak ingin pergi terlebih dahulu ketika telah sampai gerbang rumah serta adegan cium jauh yang entah berlangsung berapa menit, membuat gadis tersebut tidur tepat pukul 2 pagi.
Setelah selesai menyisir rambut panjangnya, Gia kemudian bergumam tentang apa saja hal yang belum ia lakukan. Belum memakai ikat pinggang, belum memasukkan alat tulis ke dalam tas, belum sarapan, dan tunggu ... dimana kertas identitas yang ia buat kemarin?
Dengan cepat gadis tersebut langsung membuka semua laci yang berada di dalam kamarnya, diikuti dengan selimut serta karpet yang tak luput ia buka namun tak ditata seperti sedia kala. Tetapi nihil, kalung identitas itu tak ada di seluruh sudut ruangan.
Sudahlah, Gia ingin berteriak saat ini juga. Tetapi percuma, hal tersebut tentu saja tidak bisa membuatnya lebih cepat selesai dan bahkan mungkin akan memperlambat waktunya menuju kampus.
“Gia!!"
Teriakan Desta bertepatan dengan Gia yang baru keluar dari pintu utama. Nafasnya memburu, tangan sebelah kanan gadis tersebut membawa ikat pinggang berwarna hitam sedangkan sebelah kirinya membawa satu botol s**u cokelat, dan jangan lupakan pula sebuah tas ransel berukuran sedang berisi alat tulis yang belum ia kaitkan resletingnya.
“Aduh Kak, kertas identitas Gia hilang!" rengek Gia, pelupuk netra madunya kini sudah dipenuhi cairan bening yang akan siap tumpah kapan saja.
Desta dengan raut wajah masamnya karena mau tak mau terpaksa harus ikut telat berangkat kerja pada akhirnya berjalan keluar dari mobil, sembari mengangkat tinggi-tinggi sebuah kertas karton bertulisan identitas Gia yang sempat gadis itu titipkan kepada dirinya karena tidak ingin ketinggalan saat bangun tidur tadi.
“Udah, nangisnya kalau beneran telat aja. Sekarang masuk mobil,” perintah sang lelaki setelah membenarkan resleting tas ransel milik si gadis yang saat ini tengah tersenyum sumringah, lalu mendorongnya pelan agar masuk ke dalam mobil.
Suasana di dalam mobil cukup hening hingga bising kendaraan yang berasal dari luar dapat masuk ke pendengaran mereka berdua, baik Gia maupun Desta sama-sama tidak ingin membuka pembicaraan.
Gia bahkan saat ini sibuk memakan satu sisir roti yang sempat ia bawa, sedangkan Desta memilih untuk diam karena jika ia mengeluarkan suara, secara otomatis fokusnya akan terpecah dan laju kendaraan yang ia jalankan sekarang akan sedikit melambat.
Jarak dari rumah Gia menuju kampus bisa dibilang cukup jauh karena harus melewati cafe tempat Desta bekerja dan itu akan membuatnya mengulur waktu lebih lama.
Desta sebenarnya ingin langsung berangkat kerja tanpa menghiraukan keadaan Gia, tetapi karena Gama berjanji akan memberikannya gaji tiap bulan, lelaki tersebut mau tak mau harus mengantar jemput sang kekasih mulai hari ini.
Desta sendiri memilih untuk tetap bekerja di ‘Mula Cafe’ walaupun gaji di sana lebih sedikit daripada uang bulanan dari Gama. Pemuda berkulit putih dengan surai hitam itu memiliki persepsi bahwa tempat dimana ia pertama bekerja, adalah tempatnya membuka rezeki yang tidak boleh ditinggalkan dengan alasan menjaga Gia begitu saja. Toh, ia juga masih merasa nyaman bekerja di cafe sembari menyalurkan hobinya, yaitu bernyanyi.
Beruntung lelaki yang telah tinggal lama di Jakarta ini tau jalan-jalan alternatif untuk menghindari kemacetan ibu kota di hari Senin. Pada akhirnya, mereka berdua sampai di kampus sekitar 5 menit sebelum acara dimulai.
Gia yang masih panik karena takut terlambat dengan segera menyambar tas ranselnya yang berada di kursi penumpang bagian belakang, kemudian mencium tangan Desta lalu berlari keluar dari mobil meninggalkan sang kekasih yang saat ini tengah dilanda kebingungan.
“Gia!!” Desta kembali berteriak dari balik kaca mobil yang telah diturunkan setengah hingga membuat Gia terpaksa menghentikan langkahnya lalu berbalik menatap lelaki tersebut.
“Harusnya cium pipi, bukan cium tangan!” protes Desta tak terima, sedangkan yang mendapat omelan hanya melambaikan tangannya ke udara lalu kembali lari masuk ke dalam gedung kampus menuju aula utama.
***
Entah sudah berapa menit Gia habiskan hanya untuk bertabrakan dengan orang-orang hingga botol minumnya terjatuh, bertanya kepada kakak tingkat yang justru berakhir menyesatkan dan mendapat godaan sana sini hingga membuat dirinya ingin menangis sekarang juga.
Walaupun sempat tersesat, akhirnya Gia berhasil menemukan dimana letak aula berkat satpam yang tidak sengaja ia temui saat berkeliling tadi. Namun, pintu aula sudah tertutup rapat, gadis tersebut kemudian menengguk ludahnya kasar. Jika dirinya masuk, pasti akan mendapat hukuman dari kakak tingkat. Tetapi jika ia memilih untuk pergi, pasti juga akan dicari, batinnya bermonolog.
Ketika segala kemungkinan buruk asik berputar di dalam kepala gadis yang saat ini memakai setelan hitam putih, tiba-tiba ada sebuah tangan besar mendorong paksa tubuh kecilnya yang mengakibatkan pintu berwarna cokelat itu terbuka dengan lebar hingga membuat Gia kaget bukan kepalang, lalu mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru aula.
Ah, ternyata hanya ada sekumpulan mahasiswa baru yang sekarang tengah menatapnya heran. Sedangkan tempat duduk para panitia ospek saat ini bahkan masih kosong, Gia akhirnya bisa bernafas lega sembari mengelus dadanya pelan.
“Jangan di tengah jalan dek, ayo duduk!”
Eh!
Mendengar perintah seperti itu membuat Gia dengan cepat menolehkan kepala ke belakang, menatap sosok yang tadi sempat mendorong dirinya hingga masuk ke dalam aula tanpa sopan santun sedikitpun.
Di hadapannya kini terdapat sekitar 6 mahasiswa dengan jas almamater berwarna biru tua yang juga berbalik menatapnya, satu diantara mereka terdengar bersiul ketika melihat wajah manis Gia.
Tidak ingin suasana manjadi lebih canggung atau ia akan mendapat kritikan pedas, Gia langsung menundukkan setengah badannya dan berlari duduk di lantai aula bersama para mahasiswa baru lainnya.
Kegiatan pengenalan lingkungan kampus lewat sebuah power point serta penjelasan dan sambutan dari ketua BEM sekaligus rektor kampus berjalan dengan lancar.
Para panitia juga mengatakan bahwa tidak ada ospek fakultas hingga membuat para mahasiswa baru bisa bernafas lega karena menurut isu yang beredar, ospek fakultas terkenal lebih menyeramkan daripada ospek universitas.
Setelah kegiatan utama selesai, kini para mahasiswa diarahkan oleh panitia ospek agar berkumpul sesuai dengan dengan nama fakultas masing-masing untuk menerima sebuah barang kenang-kenangan. Cenderamata tersebut nantinya akan berfungsi sebagai bentuk diterimanya mahasiswa baru sebagai anggota keluarga fakultas masing-masing.
Gia terlihat berjalan mengikuti entah siapa yang berada di depannya, menuju tempat panitia fakultas berada. Tubuh yang tidak begitu tinggi membuat gadis tersebut susah untuk membaca papan nama di setiap meja dan berakhir mengikuti sosok perempuan berpostur tubuh jangkung dengan warna tali kalung identitas yang sama dengan miliknya.
Dua strangers tersebut terus berjalan kurang lebih sekitar 10 meter dari tempatnya duduk tadi hingga berhenti di suatu meja dengan tulisan “Fakultas Ekonomi Bisnis”.
Di tempat ini, mahasiswa kembali dibagi menjadi dua barisan agar tidak memakan waktu lama, dan Gia memutuskan untuk pergi ke barisan dengan kakak tingkat laki-laki sebagai panitia yang duduk di hadapan meja.
“Hai!”
Gadis dengan kunciran kuda tersebut cukup terkejut ketika disapa oleh seorang perempuan yang sempat dirinya ikuti tadi, perempuan berkulit sawo matang itu ternyata mengambil barisan tepat di sisi sebelah kanan Gia.
“Gue tadi tau kok kalau lo ikutin. Nama gue Yena, nama lo siapa?” lanjutnya, dari cara gadis yang diketahui bernama Yena tersebut menyapa Gia, ia bisa langsung menyimpulkan bahwa Yena adalah orang yang sangat asik untuk diajak bicara. Mungkin Gia nanti akan meminta id line gadis tersebut agar bisa memiliki teman baru.
Baru saja Gia hendak membalas sesi perkenalan yang dibuka oleh Yena tadi, suara interupsi seorang lelaki dari depan kemudian membatalkan niatnya dan langsung membuat gadis tersebut mengatupkan bibir, ia tidak sadar jika sekarang adalah gilirannya untuk menerima cenderamata.
“Oh, kamu yang tadi nggak berani buka pintu karena takut telat, ya?” ucapan itu sontak membuat Gia yang tadinya menunduk kembali mengangkat kepalanya.
Ah, ternyata lelaki tersebut adalah senior yang tadi sempat bersiul ke arahnya.
Senior dengan papan nama “Nanon” yang tertempel di bagian atas logo universitas almamaternya tersebut mengambil alih daftar hadir yang sempat berada di meja lain, kemudian menyerahkannya kepada Gia agar segera ditandatangani.
“Setelah itu tulis nama lengkap sama alamat kamu disini, ya.” Lanjutnya sembari menunjukkan sebuah tabel yang hampir penuh dengan nama-nama para mahasiswa lain.
Gia kembali mengangguk dan mulai menulis, sedangkan senior tersebut terus menatap wajah manis di hadapannya dengan senyum yang mengembang hingga lesung pipit di pipi sebelah kanannya tercetak jelas. Saatnya menjahili junior, batin lelaki itu.
“Dek, kalau misal kamu pengen jadi anggota Hima atau BEM, visi misi kamu kira-kira apa?”
Senyuman jahil tersebut ikut memudar beriringan dengan nada suara Nanon yang terdengar dingin dan serius.
Jujur saja, Gia sebenarnya sama sekali tidak memiliki niatan untuk daftar organisasi-organisasi kemahasiswaan seperti apa yang diucapkan oleh seniornya tadi. Ia bahkan ingin kuliah online sembari merebahkan dirinya di atas kasur empuk daripada harus duduk selama berjam-jam setiap harinya.
“Saya ingin mengharumkan nama organisasi serta ikut berkontribusi penuh dalam memajukan serta mewujudkan impian organisasi, kak,” jelas gadis tersebut dengan senyuman manis yang hampir saja membuat Nanon ikut tersenyum.
Lagi pula, tidak mungkin kan Gia berkata jujur bahwa dia tidak ingin masuk organisasi manapun? Bisa dipenggal kepalanya nanti.
“Mengharumkan nama organisasi? Mau kamu siram pakai parfum apa? Gucci, Prada, Channel, atau Switzal baby?” tanya lelaki tersebut saat matanya tak sengaja menangkap nama sebuah brand terkenal yang tertempel di tas ransel milik Gia. Ia dapat dengan mudah menebak bahwa adik tingkatnya ini hidup dengan bergelimang harta.
“Lalu memajukan organsiasi, memang kamu mau dorong sampai tengah jalan? Dan yang terakhir mewujudkan impian, kamu kira selama ini kakak-kakak nggak berhasil mewujudkan impian organisasi, gitu?” lanjutnya dengan nada yang tetap dingin hingga membuat Gia menjadi ketakutan.
Ia tidak pernah diperlakukan seperti ini sebelumnya, dan kenapa harus Gia yang mendapat pertanyaan tersebut? kenapa para mahasiswa lain tidak? Ingin sekali gadis tersebut berlari keluar dari aula saat ini juga.
“Ada ap– loh, Gea?” semua pasang mata yang tadinya menatap ke arah Gia dan Nanon dengan kompak mengalihkan pandangan mereka menuju lelaki berpostur tubuh lumayan tinggi, kulit sawo matang, serta rambut hitam legam yang berdiri tepat di belakang Nanon.
“Biasa Vin, lagi ngelatih mental maba. Eh, tapi namanya Gia bukan Gea,” nada bicara Nanon kini mulai berubah menjadi lebih hangat seperti awal tadi serta sedikit memberi koreksi atas ejaan nama Gia yang salah.
Lelaki yang sebelumnya berdiri beberapa meter di belakang Nanon sama sekali tidak mendengarkan penjelasan dari temannya, ia justru mendekati Gia lalu memegang dagu gadis tersebut hingga sedikit terangkat ke atas.
Baik Nanon maupun para senior yang lain cukup terkejut ketika melihat raut wajah ketakutan serta keringat yang menetes deras dari dahi Gia. Padahal, kalimat yang dikatakan oleh Nanon tadi tidak terlalu kejam bahkan hanya terkesan mengejek, tetapi ekspresi Gia sangat jauh bertolak belakang dengan ekspektasi mereka semua.
Melihat hal itu membuat lelaki tersebut langsung menyambar sebuah gelang tali berwarna hitam dari atas meja yang akan digunakan sebagai tanda penerimaan, lalu menyeret Gia keluar dari aula.
Ya Tuhan, apalagi ini? Batin Gia putus asa.