Suatu Malam

1671 Kata
Satu minggu kemudian. Jam dinding berbentuk kotak dengan ukuran sedang yang akan berdentang setiap pukul dua belas malam, kini jarum pendeknya telah sampai pada angka 9. Lagu-lagu lawas dari grup musik bernama One Direction terhitung sudah berputar entah ke berapa kali, namun tetap tak membuat gadis yang saat ini tengah sibuk dengan potongan kertas karton di hadapannya bergerak untuk mematikan atau sekedar mencari lagu yang lain. Jika ditanya apakah ia merasa bosan? Maka jawabannya tentu saja, tetapi gadis tersebut tidak memiliki banyak waktu untuk melakukan hal sepele seperti mematikan pemutar musik yang lampu baterainya sudah merah. Biar sekalian mati sendiri saja, pikirnya dalam hati. Besok adalah hari pertama Gia masuk kuliah, dan ia harus bersyukur karena masa pengenalan lingkungan kampus atau yang lebih akrab disebut ‘ospek’, tahun ini hanya dilaksanakan selama satu hari atas persetujuan semua mahasiswa dan para dewan kampus, mengingat banyaknya hal melenceng yang biasanya dilakukan oleh para kakak tingkat. Gia masuk fakultas ekonomi bisnis. Sebenarnya, ia tidak tau apa saja yang harus dipelajari saat kuliah karena sang kakak lah yang mendaftarkan dirinya kuliah ketika baru lulus SMA homeschooling dua bulan lalu. Jujur saja, jika diberi pilihan, mungkin gadis itu memilih untuk berdiam diri di dalam rumah atau ikut Gama ke Singapura saja. Namun, biarpun sudah memiliki warisan perusahaan, pendidikan juga hal yang penting bagi sang kakak, Gia mau tak mau harus menuruti keinginan Gama. Setelah mendapat pemberitahuan mendadak dari grup obrolan kampus khusus mahasiswa baru, Gia dengan buru-buru langsung membuat sebuah kartu nama dari kertas karton yang akan dikalungkan ke dalam lehernya besok pagi. Sebenarnya tidak mendadak, ini semua memang salah Gia, ia terlambat membuka pesan di dalam ponselnya karena sibuk menemani Desta membuat kue di cafe dari siang hingga sore hari. Setelah memastikan kartu nama buatannya memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh pihak kampus bersama kakak tingkat, akhirnya Gia bisa bernafas lega dan langsung merebahkan tubuh kecil yang masih berlapis kaos berukuran besar serta celana training tersebut di atas karpet bulu. Kotak pemutar musik berwarna cokelat yang sempat memutar banyak lagu hingga terus berulang itu akhirnya Gia matikan. Mungkin dirinya akan pindah tidur di kamar tamu, kemudian menyuruh pembantu untuk membersihkan kekacauan yang ia buat di dalam kamarnya besok pagi. Pikiran Gia saat ini tengah melayang jauh. Selama ini, dirinya selalu berada di dalam rumah dan sesekali keluar bersama sang kakak maupun Desta, ia sama sekali tidak memiliki teman yang berusia sama dengannya. Lalu, bagaimana jika besok Gia tidak bisa memiliki teman baru, mengingat bahwa ia adalah gadis yang cukup susah untuk memulai percakapan? Bagaimana jika ia dikucilkan atau bahkan mendapat perundungan? Bagaimana jika— Kring!! Dering suara cukup keras seketika memecah lamunan Gia, ponsel yang entah kenapa bisa berada di bawah kakinya tersebut langsung ia ambil. Layar utama ponsel pintar berlogo apel yang telah tergigit sebagian itu menampilkan sebuah panggilan masuk dari sang kekasih, Desta. “Halo,” ucapnya membuka percakapan. “Halo cantik, bisa bukain gerbang nggak? Kakak di depan, nih!” jawab seseorang di seberang sana yang langsung membuat Gia membulatkan matanya dan berlari menuju balkon kamar. Benar. Ketika menggeser pintu berbahan dasar kaca yang berada di sisi sebelah kiri kamarnya, manik mata Gia menangkap sosok lelaki dengan motor matic serta hoodie berwarna abu-abu kini tengah melambaikan tangan ke arahnya sembari tetap menempelkan ponsel di telinga. “Ayo turun, tapi jangan lupa pakai jaket ya, Sayang!” Mendengar perkataan manis yang juga keluar dari mulut manis si lelaki membuatnya seketika merona. Tanpa basa-basi, gadis itu kemudian mematikan sambungan telepon lalu mengambil jaket yang ia rasa hangat tanpa berganti bawahan. Gia berpikir, mana ada orang yang memakai celana formal pada jam setengah 10 malam, selain para kasir minimarket ataupun pegawai lembur? m Kembali lagi, setelah dirasa warna jaket dan training yang ia pakai tidak bertabrakan, Gia langsung berlari turun ke bawah. “Aku mau nemuin Kak Desta dulu di luar!” pamitnya setengah berteriak kepada pembantu yang entah masih bangun atau sudah menjelajahi alam mimpi. Gia memang selalu dibiasakan oleh Gama agar berpamitan ketika akan pergi sebelum sang kakak berangkat ke Singapura satu minggu yang lalu. Tangan putih dengan jari lentik serta kuku tak pernah dibiarkan panjang tersebut menyentuh pagar besi rumah yang cukup dingin, sepasang mata Gia menatap binar netra jelaga lelaki yang juga ikut menatap mata madunya. Keduanya saling melempar senyum manis hingga sejurus kemudian sang lelaki sedikit mencondongkan wajahnya, mendekat ke teralis besi hingga membuat si gadis sedikit mundur ke belakang. “Kakak berasa jadi narapidana yang dikunjungi sama isterinya." Mulut Desta memang ajaib, seluruh kata-kata yang keluar pasti selalu sukses membuat Gia tertawa maupun merona. Dan kali ini, tawa Gia memecah keheningan malam kompleks perumahan tersebut. “Kamu pasti lagi mikir yang enggak-enggak masalah kuliah besok, kan? Cari jagung bakar sambil naik Becky, yuk!” Ajak lelaki tersebut sembari menepuk pelan jok motornya. Sedangkan Gia saat ini terlihat sedikit berfikir, ini adalah kali pertama dirinya naik sepeda motor dan keluar di malam hari, apakah tidak apa-apa? Tetapi ia juga sungkan jika menolak ajakan Desta yang sudah jauh-jauh datang ke rumahnya. “Kakak katanya tadi lagi ngumpul sama temen-temen?” Gia balik bertanya. Pasalnya, sebelum mengerjakan tugas tadi, Desta sempat mengirim pesan bahwa lelaki tersebut akan berkumpul bersama teman-temannya serta pulang ke apartemen larut malam. Lelaki yang beberapa senti lebih tinggi dari kekasih cantiknya tersebut menggeleng pelan, “Kakak izin pulang duluan karena pengen ketemu si cantik yang kepalanya lagi berisik ini. Jadi, ayo kita jalan-jalan!” Jawabnya sembari mencolek dagu Gia yang lagi-lagi terlihat salah tingkah. Mereka berdua memutuskan untuk berkeliling terlebih dahulu, membelah jalanan malam yang mulai sepi serta menikmati angin dingin sembari diiringi canda dan tawa. Tak jarang pula candaan atau godaan yang terlontar dari mulut Desta hanya ditanggapi dengan kata “Hah?” oleh Gia karena telinganya tidak dapat menangkap suara Desta yang terperangkap dalam helm. Ucapan Desta yang mengatakan bahwa dirinya ingin mencari jagung bakar memang benar-benar ia lakukan. Setelah kurang lebih berjalan sekitar 6 kilometer dari komplek perumahan, keduanya akhirnya menemukan sebuah warung bongkar pasang yang terletak di trotoar jalan. Warung berukuran kecil yang buka setiap jam 9 malam tersebut menjual berbagai macam makanan pengganjal perut seperti roti bakar, pisang keju, serta jagung bakar. Lampu temaram serta bising beberapa kendaraan bermotor yang berlalu lalang tak membuat mereka merasa risih sama sekali. “Gia Gia!! Kakak punya tebak-tebakan nih,” seru Desta yang baru saja menyusul Gia untuk duduk di atas karpet setelah selesai memesan makanan, lelaki tersebut berusaha untuk mendapat perhatian dari gadis yang sedari tadi fokus menatap jalanan. Setelah dirasa Gia sudah mengalihkan fokusnya dan menatap Desta dengan penuh minat, lelaki tersebut mulai berkata, “Kamu tau nggak kenapa Woody and Buzz jadi karakter utama dari film Toy Story?” tanyanya. Gia menggelengkan kepala bingung. Tidak bisanya Desta memberikan tebak-tebakan seperti ini, apalagi tebakan yang cukup aneh, “Nggak tau, emangnya kenapa?” “Karena kalau aku dan kamu jadinya love story. Keren, kan, tebakan kakak!" Tebakan yang menurut sebagian orang sangat tidak berbobot tersebut justru membuat seulas senyuman di bibir ranum Gia mengembang. Mendapat godaan dari Desta adalah kesenangannya tersendiri, walaupun harus berusaha mati-matian menahan agar wajahnya tidak merona di depan publik seperti saat ini. “Kakak kakak!! Gia juga mau nanya deh,” ucap Gia menirukan nada bicara Desta beberapa saat lalu, hingga membuat sang kekasih tersenyum gemas. Jika saja tidak di tempat umum, sudah dipastikan pipi berisi gadis itu saat ini akan menjadi bulan-bulanan kecupan serta cubitan Desta. “Dari angka 1 sampai 10, cinta kakak ke Gia itu udah sampai di nomor berapa?” lanjutnya. Desta sedikit berpikir saat mendengar pertanyaan dari Gia, ia harus memikirkan alasan yang tepat agar dapat membuat wanita dihadapannya ini percaya dengan kata-katanya. “Sepuluh.” Hening kemudian mengambil alih untuk beberapa detik, si lelaki dengan sengaja menggantung kalimatnya agar Gia merasa penasaran akan alasan Desta. “Ibaratnya tuh, kakak udah sayang banget sama Gia sampai nggak mau lirik sana sini. Gia itu cantik, manis, baik, lucu, semuanya ada di kamu," jelas Desta. "Nggak tentang fisik aja, tapi hati Gia juga baiknya nggak ketulungan sampai buat kakak pengen nikahin kamu saat ini juga. Kakak itu salah satu laki-laki yang beruntung banget bisa dapat bidadari cantik kayak Gia." Imbuhnya sembari mengelus pelan pipi berisi milik si gadis hingga membuat empunya berkaca-kaca, sang kekasih memang sangat romantis. “Eh, kok pembahasannya jadi dalam gini sih, bukannya tadi kamu lagi mikir buruk karena besok mau kuliah ya?” Desta yang menciptakan suasana romantis, Desta pula yang menghancurkan suasana tersebut. Pemuda itu memang sengaja mengalihkan pembicaraan karena tidak ingin Gia menangis dan membuatnya malu di hadapan para pelanggan lain. “Iya." Si gadis menganggukkan kepalanya beberapa kali, "Kakak waktu pertama kuliah gugup juga nggak? Gia takut nanti kena marah sama kakak tingkat,” lanjut Gia sembari memajukan bibirnya lucu. “Karena kakak udah berhadapan sama dunia luar sejak SMA, jadi nggak ngerasa gugup sih. Toh, masa ospek cuma satu hari, kan? Kayaknya nggak ada deh kegiatan perpeloncoan mahasiswa baru mengingat ini udah bukan zamannya,” tutur Desta, ia bisa berkata seperti itu karena lelaki tersebut juga pernah kuliah di tempat kekasihnya kuliah saat ini. “Kalau marah-marah sih wajar, penataran itu namanya. Tapi kamu tenang aja, kampus kamu belum pernah ada tuh berita tentang maba yang meninggal karena kena ospek,” lanjutnya hingga membuat Gia sontak memukul bahu Desta dengan dompet yang ia bawa. “Bukannya nenangin, malah bikin makin takut!” omel gadis tersebut yang hanya dijawab dengan tawa ringan dari Desta. Tak lama kemudian, sesi obrolan ringan sepasang kekasih itu terpaksa harus berhenti sejenak karena jagung bakar serta dua s**u hangat pesanan Desta telah terhidang di atas meja kecil. Aroma barbeque yang mendominasi membuat perut Gia keroncongan, padahal ia tadi sudah sempat makan satu porsi mie instan dengan nasi ketika masih di rumah. “Kalau makan pelan-pelan ya, sayangnya kakak. Nggak ada yang mau ambil jagung bakar kamu kok." Ucap Desta sembari membersihkan noda saus yang berada di sudut bibir sang kekasih menggunakan jempol tangannya hingga membuat Gia mematung untuk beberapa saat. Ah, ada kah yang bisa melihat banyak kupu-kupu berterbangan dari dalam perut Gia saat ini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN