Undangan

1936 Kata
Setelah motor yang ditumpangi Gia keluar dari area rumah sakit, Melvin melihat jam dinding yang terletak di belakang meja resepsionis, masih pukul 10 kurang, batinnya. Lelaki tersebut memutuskan kembali ke ruangan sang kakak untuk menikmati udara dari balkon, atau berbincang ringan dengan Rachel seraya menunggu pasien selanjutnya tiba. Ceklek! "Salam dulu, Vin. Jangan asal masuk gitu, kalau ada pasien kayak Gia tadi, gimana? Reputasi kakak nih yang jadi taruhan," omel Rachel saat melihat Melvin masuk lalu duduk begitu saja di sofa sembari mengangkat satu kakinya. Sedangkan Melvin sendiri tak mempedulikan ucapan sang kakak yang entah sudah berapa kali terlontar. Ia bukan tipe lelaki yang mudah menuruti keinginan orang lain sekalipun tentang kesopanan. Namun anehnya, dengan modal wajah tampan serta kecerdasannya mampu membuat ia sukses menjadi sosok populer di kampus. Karena bagi Melvin, kepribadian baik dan buruk itu harus balance. "Eh iya, Gia sakit apa, kak?" tanyanya, ia memang sudah memendam pertanyaan tersebut bahkan sejak melihat Gia di ruangan kakaknya. Rachel yang memang sedang membaca riwayat kesehatan Gia yang baru saja keluar beberapa menit lalu menatap sang adik, "Nggak sakit apa-apa, kok, dia sehat. Ini riwayat kesehatannya baru aja keluar. Mau kamu antar nggak ke rumahnya?" Dengan cepat Melvin menggeleng. Gila saja, ia tidak ingin kembali berurusan dengan kekasih Gia jika nanti tak sengaja bertemu ketika ia mengantar riwayat kesehatan tersebut ke rumahnya. Tak lama kemudian Melvin mendecak, jawaban dari sang kakak kurang memuaskan rasa penasarannya, "Tapi kenapa dia temuin kakak? Nggak mungkin kan dia kesini karena nggak kenapa-kenapa? Sakit mental ya?" tanyanya dengan frontal. "Hush! Itu privasi antara pasien sama dokter, Vin. Kami nggak boleh tau," jawab Rachel. Ya sudahlah, batin Melvin. Rencananya ia akan berkata bahwa dirinya juga mengenal kekasih Gia, namun karena fakta tersebut mungkin bukan sebuah hal menarik bagi Rachel, maka ia urungkan perkataannya dan kembali terdiam menatap langit-langit ruangan. "Kamu ngapain ke sini? Lagi nggak ada kuliah?" kini ganti wanita berjas putih tersebut yang bertanya namun tetap tak mengalihkan pandangannya dari berkas-berkas di atas meja. Melvin menggeleng lalu berkata, "Lagi kosong. Mau jemput Arsa jam 11 nanti." Setelah tak mendapat jawaban apapun dari sang kakak, Melvin menegakkan tubuhnya menatap wanita tersebut, "Kak, lo nggak pengen ketemu Arsa?" lanjutnya. Rachel yang tadinya tengah fokus menulis sesuatu di atas kertas tiba-tiba terdiam lalu membalas tatapan Melvin. "Vin, kita udah bicarakan hal ini kan waktu itu? Kakak pasti akan ketemu Arsa kok kalau senggang, sekarang lagi nggak ada waktu aja," tutur Rachel dengan nada sehalus mungkin, ia sedang tidak ingin bertengkar dengan Melvin yang emosinya mudah tersulut jika berdebat dengannya. Mendengar penuturan dari Rachel membuat Melvin mendecih, "Bukan nggak ada waktu, lo nya aja yang nggak ada nyali buat ketemu Arsa. Iya, kan?" Jika perdebatan ini diteruskan, maka kepala Rachel akan ikut panas dan tidak bisa berpikir jernih. Di satu sisi, masih ada dua pasien lagi yang sudah memiliki janji temu dengan dirinya. Wanita tersebut kemudian memutuskan kontak mata antara ia dengan Melvin, lalu beralih membuka fitur kamera di ponselnya untuk mengirimkan berkas riwayat kesehatan Gia kepada Gama. "Kamu mending pergi sekarang deh. Pasien kakak 5 menit lagi udah datang," ucap Rachel di sela kegiatannya. Melvin yang memang sudah kepalang kesal akhirnya berdiri, "Oke gue pergi sekarang. Tapi jangan nyesel kalau Arsa nanti nggak anggap lo ada," ucapnya lalu membuka pintu dan menutupnya dengan cukup keras. Rachel pura-pura tak mendengarkan apa yang dikatakan oleh Melvin. Namun setelah sang adik menutup pintu, nafas berat terdengar dari arah wanita tersebut, ia kemudian menjatuhkan kepalanya di atas meja. Jika ada yang berkata bahwa seorang psikolog terkadang tidak bisa mengobati dirinya sendiri, itu mungkin benar. Karena saat ini, Rachel tengah merasakan hal tersebut. *** Pagi harinya, Gia mulai berkuliah seperti biasa setelah izin tidak masuk satu hari karena harus bertemu dengan dokter Rachel, riwayat kesehatannya pun sudah dikirim bersamaan dengan sang kakak yang menghubunginya kemarin malam. Hal itu membuat Gia bisa menjalani pagi dengan penuh semangat, apalagi ketika bersama sosok yang kini duduk di kursi kemudi, tengah menatapnya hangat dengan senyum yang selalu terulas yang anehnya tak membuat si perempuan merasa bosan sama sekali. "Sampai ketemu di apart sore nanti, Sayang," ucap Desta lalu bergerak mencium kening Gia yang kemudian dibalas dengan ciuman pipi, lalu pamit turun dari mobil untuk masuk kelas. Sepanjang koridor kampus menuju kelasnya pagi ini, Gia terus mengulum senyum, hari ini ia harus bahagia, doktrinnya dalam hati. Karena hari ini adalah hari dimana dirinya tidak akan pulang ke rumah. Melainkan ke apartemen, mengadakan makan malam bersama para orang-orang terdekatnya, dan tentu saja dua kali lebih senang ketika sang kekasih menyetujui rencana Gia tanpa marah sedikitpun. Desta memang sengaja mengiyakan kemauan Gia walaupun dalam hati ia sangat enggan bertemu dengan Arhan. Lelaki tersebut tidak ingin Gia murung di hari pertamanya melakukan sebuah keputusan besar untuk pindah dari rumah yang telah ditinggalinya selama 20 tahun. Toh, Desta juga akan ikut makan malam, jadi ia bisa tetap mengawasi sikap Arhan. Lalu, dengan kepindahan Gia, apakah gadis tersebut akan memasak sendiri makanannya hingga pagi sampai malam? Tentu saja tidak, Gia bahkan tidak bisa memasak air. Ia akan meminta bantuan Desta untuk membuatkan masakan dan tentu saja sang kakak telah memberi kekasihnya uang lebih. Untuk pembantu yang berada di rumah juga tetap dipekerjakan. Tugasnya lebih ringan karena sekedar membersihkan area dalam rumah sekaligus merawat tanaman agar tetap terawat dan rumah masih terkesan hidup, walaupun tak ada orang di dalamnya. "Hei!" Seruan diikuti dengan sebuah tangan yang merangkul pundaknya membuat Gia terkejut, dengan cepat ia memutar kepalanya 90° ke sumber suara. Terlihat Arhan dengan gaya rambut barunya kini tengah tersenyum menatap Gia hingga mata lelaki itu menghilang. Lalu, terdapat pula Yena yang berdiri di belakang Arhan dengan tatapan malas. "Arhan jangan gitu, dilihat banyak orang," ucap Gia mengingat mereka masih berada di koridor, gadis tersebut kemudian melepas rangkulan tangan Arhan dengan lembut. Sikap Arhan yang terlalu tiba-tiba tidak bisa membuat Gia menghindarinya. Padahal Arhan juga sudah mendapat peringatan dari Desta agar tidak mendekati Gia, tetapi anehnya lelaki itu hanya menganggap sebagai angin lalu dan tetap berinteraksi dengan Gia. Tentu saja di luar sepengatahuan Desta, jika tau pun Arhan sudah dipastikan lari terbirit-b***t seolah melihat algojo yang akan menghukumnya. Selanjutnya mereka bertiga berjalan beriringan menuju kelas, Arhan sesekali membalas sapaan para idolanya dengan lambaian tangan atau bahkan ciuman jauh hingga membuat Yena merasa mual dan Gia yang tertawa. Ketika telah sampai di kelas, ketiganya lagi-lagi duduk berurutan dengan Gia yang berada di tengah sebagai perantara sekaligus penyekat apabila Arhan dan Yena kembali bertengkar seperti beberapa waktu lalu. Mata Yena kemudian melihat sebuah jam yang melingkar di pergelangan tangannya, dosen akan masuk sekitar 5 menit lagi. Ia akan memanfaatkan waktu kosong ini untuk mulai bertanya kepada Gia, tentang apapun pertanyaan yang memang telah ia siapkan sejak kemarin. "Gia, kenapa lo kemarin nggak masuk kuliah?" tanyanya, Arhan yang juga penasaran pun ikut mendekat ke arah mereka berdua. "Gia ke rumah sakit." Jawab sang empu seraya mengeluarkan binder dan tiga pena berbeda warna dari dalam tasnya. Arhan dan Yena saling pandang lalu mengerutkan dahinya, "Lo sakit?" tanya si lelaki. Gia menggelengkan kepalanya lalu menatap mereka berdua secara bergantian, "Aku sehat, kok. Cuma cek kesehatan yang emang rutin 2 minggu sekali, disuruh sama kak Gama," jawabnya. Keduanya ber'oh' ria saat mendengar penuturan dari gadis tersebut. Orang kaya, batin mereka. Arhan dan Yena tidak pernah rutin mengecek kesehatan masing-masing, mungkin hanya ketika ada event amal donor darah baru mereka melakukannya. "Terus gue tanya deh, Kak Desta itu baik nggak sama lo? Kok kelihatannya galak gitu, sih? Apalagi waktu tarik tangan lo di parkiran kemarin lusa," cerocos Yena dengan menampilkan wajah kesalnya ketika mengingat tragedi pertengkaran ringan kala itu. Gia sejenak terdiam, ia tidak suka jika sang pangeran dinilai buruk oleh orang lain. Desta itu baik, manis, tegas, tampan, dan tentunya sangat romantis, ia saja tidak bisa lepas atau bahkan membantah kalimat-kalimat perintah yang dilontarkan sang kekasih ibarat tengah terhipnotis. "Kak Desta baik, kok, sama aku. Dia selalu bikinin sarapan, ajak aku makan croissant di Mula Cafe, terus temenin nonton film di rumah," tutur Gia yang kemudian membuat Yena terdiam. Apakah benar? Pikirnya. Memang semua yang dikatakan Gia benar, tetapi tentang perlakukan buruk Desta kepada gadis tersebut tentu saja tak masuk dalam list ucapannya. Gia dengan mudah melupakan apa saja hal buruk yang Desta lakukan dan menganggap itu murni karena kesalahannya sendiri. "Oh, iya! Kalian mau nggak makan malam di apartemen aku yang baru? Sama kak Desta juga, biar makin kenal," lanjut Gia. Sekali lagi, Arhan dan Yena saling pandang. Lelaki itu tentu saja takut jika bertemu dengan Desta, tetapi ia juga tidak bisa menolak ajakan Gia yang polos nan menggemaskan ini, apalagi jika soal makanan. "Emang nggak apa-apa sama Kak Desta?" tanya Arhan lirih. Gia menganggukkan kepalanya penuh semangat, "Nggak apa-apa kok, Kak Desta juga setuju. Pokoknya kalian harus datang nanti jam 7 malam, oke?" Kedua teman gadis itu akhirnya ikut menganggukkan kepala setuju hingga berhasil membuat senyuman Gia dua kali lebih lebar. Lalu, tak lama kemudian dosen mata kuliah ? datang, dan ketiganya pun memulai pelajaran dengan khidmat, mungkin. Di tempat lain, Melvin yang hanya ada satu mata pelajaran dan itu pun akan di mulai siang nanti kini tengah berada di apartemen sang kakak, menikmati roti bakar berisi selai kacang di atas sofa sembari membiarkan matanya mengikuti arah gerak Rachel yang memang selalu sibuk di pagi hari. Setelah adu mulut kemarin, keduanya kini kembali normal seakan tidak ada hal yang terjadi. Melvin juga pagi-pagi sekali sudah berkunjung ke apartemen tanpa meminta maaf akan kata-katanya yang kurang baik kemarin. Tabiat lelaki tersebut memang seperti itu, Rachel sudah terbiasa. "Arsa gimana, Vin?" tanya sang perempuan sembari memasukkan beberapa berkas ke dalam tas miliknya. "Nggak gimana-gimana, makin ganteng sama tengil aja dia. Terus tanya kabar lo juga, kangen pengen ketemu, katanya," tutur Melvin tanpa mengurangi atau melebihi ucapan dari sosok Arsa kemarin. Rachel hanya mengangguk mengerti, tak lama kemudian ia teringat akan undangan makan malam dari Gia malam nanti lalu beralih menatap sang adik. "Diundang Gia buat makan malam di apartemen barunya, berangkat sama kakak ya," ucap Rachel. "Temenin kakak. Kamu udah sering kakak bantu biar nggak dimarahin sama papa loh, masa nggak mau bantu kakak? Cuma sekedar duduk manis di mobil terus nikmatin makan malam," imbuhnya sebelum Melvin berhasil melontarkan sebuah kalimat protes. Pemuda itu kemudian menghela nafas panjang, memang semua itu harus ada balas budinya, kan? Tetapi kakaknya ini selalu meminta balas budi bahkan ketika Melvin tak meminta bantuan agar dibela di depan sang papa. Anggukan kepala dari yang lebih muda membuat Rachel lega. Tujuannya mengajak Melvin bukan hanya sebagai teman perjalanan saja, tetapi juga untuk sesuatu yang lebih. Karena lelaki tersebut memiliki kemampuan untuk membaca kepribadian orang hanya dari gerak-geriknya saja. Pukul 7 malam, di atas meja makan berbentuk bundar dengan ukuran cukup besar, kini telah terhidang berbagai makanan mulai dari main course, hingga dessert yang dimasak oleh sang pembantu dan sebagian lagi dipesan melalui sebuah aplikasi online. Gia yang masih memakai celana training tersenyum puas setelah menata piring-piring berisi makanan tersebut di meja. Sedangkan Desta yang sudah rapi kini masih sibuk menuang sirup berperisa jeruk dan minuman soda ke dalam pitcher kaca. Tak lama kemudian, terdengar ketukan pintu yang diketuk berulang kali hingga membuat keduanya saling tatap. "Biar aku aja yang buka, kamu ganti baju dulu." Ucap Desta sembari membawa minuman tersebut mendekat ke arah meja makan. Gia lalu menganggukkan kepala dan langsung berlari kecil menuju kamarnya untuk berganti baju yang lebih sopan namun tidak terlalu formal karena ini hanya sekedar makan malam biasa. Tok! Tok! Tok! Ketukan tersebut masih terus berbunyi hingga membuat lelaki itu sedikit gusar. Dengan cepat Desta langsung berjalan menuju pintu, lalu membukanya dengan cukup kasar seakan tak peduli siapa tamu yang datang sangat awal malam ini. "Selamat malam, Gia!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN