Menerima tawaran masuk dari Rachel membuat Gia menganggukkan kepala, lalu mengikuti dokter bergelar master tersebut masuk ke dalam ruangan yang bernuansa putih. Ruangan itu memiliki beberapa interior layaknya rumah yang berbeda dengan beberapa ruang dokter lainya. Tak lupa pula aroma pengharum ruangan citrus yang menguar.
Dokter Rachel sebenarnya lebih menyukai aroma teh hijau sebagai pengharum ruangan. Namun berhubung tak banyak orang yang menyukai aroma tersebut, bahkan sang adik saja selalu protes ketika berkunjung ke apartemen miliknya, maka ia mengubahnya menjadi aroma yang biasa disukai orang.
Aroma yang terbuat dari ekstrak jeruk, lemon, dan berbagai buah-buahan lain yang masih dalam keluarga jeruk ini juga memiliki manfaat bagi banyak orang, termasuk para pasien Rachel seperti; mengurangi stres, meningkatkan suasana hati, meningkatkan memori, serta memberi kesan ruangan yang bersih dan segar.
Gia melepas kacamata hitamnya lalu mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan ketika telah duduk di sofa, ia mencari sosok laki-laki yang sempat mendahuluinya masuk ke dalam, namun tak menemukan siapapun di sana.
Setelah menutup gorden pintu kaca yang mengarah pada balkon, dokter Rachel kemudian berjalan mendekati Gia sembari membawa satu gelas penuh berisi air putih.
"Apa kabar, Gia? Apakah semuanya berjalan baik?" tanya Dokter Rachel dengan sangat bersahabat.
Sebenarnya tidak baik, namun tidak juga buruk. Semua hal baik dan buruk datang sesuai porsinya masing-masing, tinggal bagaimana saja kita menyikapi kedua hal tersebut.
Gia yang dari awal sudah berjanji kepada Desta agar tidak berkata apa saja kejadian buruk yang ia alami kini menggelengkan kepalanya lalu berkata, "Semuanya baik-baik aja, Dok."
Bukan Rachel namanya jika percaya begitu saja dengan ucapan sang pasien, wanita tersebut bisa membaca dari mata bahwa Gia tengah menyembunyikan sesuatu tapi apa? Entahlah, ia tak bisa menebak.
Ah, tunggu. Ada sesuatu yang baru ia sadari dari wajah Gia.
"Mata kamu kenapa sembab? Pasti habis nangis ya?" tanyanya dengan nada sedih diikuti ekspresi yang sama, ini juga sebagai pancingan agar Gia ikut terbawa suasana lalu berkata jujur.
Tetapi tidak, karena sejak awal Gia memang diharuskan menuruti apapun yang dikatakan oleh sang caregiver, dan Desta juga sudah memperingatkan dirinya, gadis tersebut tetap berbohong walaupun sedikit merasa gugup.
"Iya, kemarin nonton film sedih banget. Gia jadi nangis semalaman," jawab Gia lalu tertawa kecil.
Sejenak keadaan menjadi hening, dokter Rachel terus menatap si gadis. Sedangkan yang di tatap kini sibuk dengan pikirannya yang berisik, Gia takut kebohongannya akan diketahui oleh sang dokter.
Tak lama kemudian terdengar helaan nafas panjang dari yang lebih tua. Bagaimanapun juga, Rachel tidak bisa memaksa pasiennya untuk berkata jujur, yang bisa ia lakukan hanyalah terus membujuk. Jika mereka tetap tidak mau mengumbar masalahnya, satu-satunya jalan keluar adalah ....
"Kamu mau terapi hipnotis, nggak? Nanti sekalian infus vitamin kayak waktu itu," tawar Rachel tepat seperti apa yang Desta tebak.
Lagi-lagi Gia menggelengkan kepalanya, "Boleh nggak kalau Gia nolak tawaran dokter Rachel? Gia baik-baik aja kok, serius!" ucapnya dengan wajah serius yang terkesan dibuat-buat namun terlihat lucu menurut lawan bicaranya.
Ya, mau bagaimana lagi? Rachel rasa Gia tidak ingin menceritakan apa yang ia pendam karena hal itu mungkin hanya masalah sepele. Tetapi, bagaimana jika ternyata masalah besar? Karena setiap masalah yang selalu dipendam pasti akan meledak suatu saat nanti bagaikan sebuah bom waktu.
Rachel cukup khawatir, ia takut kejadian saat Gia berusia 17 tahun kembali terjadi.
Kala itu, Gia juga pernah memendam masalahnya sendiri hingga membuat Gama kewalahan karena gadis tersebut terus menangis tanpa tau apa alasannya. Lalu pada akhirnya, Rachel harus menghipnotis Gia agar bisa tenang sekaligus jujur.
Ah, wanita tersebut harus kembali membujuk Gia. Tidak hari ini, mungkin nanti ketika Gia sendiri sudah siap.
"Oke deh, tapi nanti kalau ada apa-apa Gia bilang sama dokter ya. Oh iya, kakak kamu gimana kabarnya?" tanya dokter Rachel mengalihkan pembicaraan agar Gia tidak merasa sukar jika terus dipaksa untuk berkata jujur.
Sejurus kemudian raut wajah Gia berubah menjadi masam, "Kak Gama udah dua hari nggak ada telfon atau kirim pesan ke Gia. Mau aku chat duluan tapi takut nanti marah," tuturnya. Gia memang tidak pernah mengubungi sang kakak terlebih dahulu walaupun sedang merindukannya.
"Mungkin kak Gama nya lagi sibuk di sana. Nanti coba dokter hubungin deh, terus bilang kalau adiknya yang cantik ini lagi kangen." Goda Rachel sembari mencubit pelan hidung mancung Gia yang direspon tawa oleh gadis tersebut.
Percakapan mereka berikutnya hanya seputar masalah kuliah dan Rachel yang menceritakan kejadian-kejadian lucu dari para pasiennya.
Gia sendiri memang sangat senang jika bertukar cerita dengan dokter Rachel, wanita tersebut selalu merespon semua cerita Gia dengan baik dan bercerita tentang hal-hal yang menarik pula.
"Eh, Gia juga mau pindah ke apartemen deket kampus loh, dok!" seru gadis itu hingga membuat dokter Rachel kembali menampilkan raut wajah terkejut.
Hampir satu bulan tidak bertemu Gia ternyata gadis tersebut telah membuat beberapa keputusan yang cukup besar, semoga saja Gia benar-benar sudah dewasa, batinnya.
"Oh, ya? Kapan?" tanya Rachel antusias.
"Besok waktu pulang kuliah langsung ke sana sama kak Desta. Kalau barang-barang aku udah dipindahin dari satu minggu yang lalu, sih. Dokter Rachel dateng ya, kita makan malam bareng!" undang Gia penuh semangat hingga membuat dokter Rachel mengangguk, mana mungkin ia menolak ajakan gadis manis di hadapannya saat ini.
Apalagi ini adalah kali pertamanya makan malam bersama Gia dan Desta, Rachel akan menggunakan kesempatan ini untuk lebih tau tentang kepribadian kekasih Gia.
Tak selang beberapa lama, ketika masih asik bertukar cerita, tiba-tiba suara gorden yang dibuka paksa mengejutkan kedua wanita cantik tersebut.
Dari arah balkon, terlihat seorang lelaki berkaos biru tua dengan celana hitam kini tengah berusaha keluar dari kain gorden yang terjatuh, lalu melilit sebagian tubuhnya.
Gia tentu saja tau siapa lelaki itu. Dia adalah laki-laki yang sempat mendahuluinya masuk ke dalam ruangan, lengkap dengan raut wajah dingin, alis yang ditautkan serta kalung rantai yang memang selalu melingkar di leher. Sosok tersebut adalah Melvin, kakak tingkatnya.
Dan yang membuat Gia bingung sekarang adalah, kenapa Melvin datang ke sini? Apakah ia juga salah satu pasien dokter Rachel? Tetapi mengapa sejak tadi berada di balkon?
"Kenapa di tutup pakai gorden segala, sih? Biasanya juga enggak, bikin repot aja," omel lelaki tersebut.
Hening. Tak ada jawaban dari dokter Rachel maupun Gia yang masih asik memandangi Melvin.
Tau bahwa ada yang mengawasi tingkah laku anehnya berusaha lepas dari jeratan kain gorden, Melvin kemudian mengarahkan pandangannya menuju ke arah sofa, pemuda itu cukup terkejut ketika melihat Gia yang kini menatapnya.
Tunggu, apakah benar Gia atau justru ....
"Kamu ini kenapa sih, Vin? Sama gorden aja diajak berantem." Rachel berjalan mendekati Melvin, lalu ikut membantu melepas lilitan gorden tersebut. Sedangkan sang adik sendiri masih setia menatap fokus sosok yang duduk di sofa.
"Gea?"
Ah, lagi-lagi Melvin salah menyebut namanya, batin Gia.
"Maaf, Kak Melvin. Nama saya Gia," koreksi juniornya sembari menampilkan senyuman canggung yang dijawab anggukan kepala ringan oleh Melvin.
"Ya, itu maksud gue. Ngapain lo kesini?" Pertanyaan yang terdengar seperti kalimat sarkas untuk mengusir tersebut sukses membuat nyali sang lawan bicaranya menjadi ciut.
Dokter Rachel yang mendengar perkataan kasar Melvin seketika memukul pelan bahu pemuda itu. Namun, detik berikutnya ia sadar bahwa percakapan singkat mereka berdua terdengar cukup akrab, wanita itu lalu menatap Melvin dan Gia secara bergantian.
"Kalian berdua udah saling kenal?" tanyanya kemudian.
Baik Melvin maupun Gia sama-sama mengangguk membenarkan.
"Adik tingkat," ucap Melvin seadanya.
Dunia memang memiliki cara untuk menjawab pertanyaan yang bahkan belum sempat Rachel tanyakan waktu itu, ia kira Melvin tidak akan kenal dengan Gia.
Namun ternyata, mereka berdua saat ini saling menyapa, atau mungkin sudah akrab? Sepertinya tidak, mengingat sikap Melvin yang agak buruk membuat Rachel tak percaya jika keduanya berteman dekat.
"Gia, kakak tingkat kamu yang bandel ini adik dokter, loh. Dia emang sering banget tiba-tiba masuk ke ruangan cuma buat nikmatin pemandangan kota dari balkon," ujar Rachel ketika melihat raut wajah bingung dari Gia.
Hal yang sedari tadi membuat otaknya berisik juga akhirnya terjawab. Gia benar-benar tidak menyangka sosok berpendidikan serta sangat hangat dalam berbicara ternyata memiliki adik yang sifatnya sangat bertolak belakang.
Gia lalu mengangguk, melihat jam di pergelangan tangan yang telah menunjukkan pukul 10 kurang lima belas menit, lalu kembali menatap kedua kakak beradik yang masih asik berbincang entah membicarakan masalah apa.
"Dokter Rachel, sesi konsultasi Gia udah selesai, kan? Gia boleh pulang, nggak?"
Rachel kemudian menatap Gia dengan senyum hangat lalu berjalan mendekat, "Boleh, kok. Gia pulang naik apa? Mau di antar sama Melvin aja, nggak?" tawarnya karena Gia tadi sempat berkata bahwa Desta tengah bekerja di cafe.
Melvin mendelik, bisa-bisanya sang kakak berkata demikian tanpa meminta persetujuan dari dirinya terlebih dahulu.
Sebenarnya lelaki itu juga tak masalah, tetapi ketika ingat bahwa ia dan Gia cukup sulit dalam menemukan topik pembicaraan, serta si gadis yang memiliki kekasih cukup menakutkan membuat Melvin harus berfikir dua kali.
Gia sendiri dengan mantap menolak tawaran dokter Rachel, ia sudah berjanji kepada kekasihnya agar tidak dekat-dekat dengan lelaki lain tanpa persetujuan Desta. Di satu sisi, Gia juga ingin merasakan bagaimana rasanya order sebuah ojek online karena selama ini selalu dilarang oleh Gama entah apa alasannya.
"Nggak usah, Dok. Gia mau pesan mobil aja," tolaknya halus.
"Oke kalau itu mau Gia. Tapi biarin Melvin antar kamu ke bawah sampai supirnya datang ya?"
Gia lagi-lagi mengangguk, mereka berdua akhirnya pamit pergi dari ruangan Rachel dengan Melvin yang terlihat enggan. Tujuannya datang kemari adalah untuk menenangkan pikiran sekaligus mengajak sang kakak pergi, tapi kenapa berubah menjadi bodyguard gadis ini?
Perjalanan menuju lobi rumah sakit yang berada di lantai satu hanya ditemani dengan keheningan. Baik Gia maupun Melvin sama-sama tidak ingin membuka percakapan terlebih dahulu, keduanya tidak tau apa yang harus dikatakan.
Dalam hati Gia sangat bersyukur ketika sebuah notifikasi bahwa supir yang ia order ternyata sudah berada di depan rumah sakit, gadis tersebut akhirnya tak perlu berlama-lama berada di samping Melvin yang penuh intimidasi.
"Udah dateng supirnya?" tanya Melvin secara tiba-tiba ketika keduanya telah berada di lobi. Lelaki itu memang memiliki kebiasaan buruk, yaitu mengintip isi ponsel orang lain sama seperti apa yang ia lakukan pada Gia beberapa saat lalu.
"Iya, tapi Gia nggak tau yang mana," jawabnya.
Melvin sedikit heran ketika Gia tidak tau mobil mana yang akan menjemputnya. Padahal, di dalam tampilan ponsel terdapat fitur untuk melihat nama serta wajah supir sekaligus plat nomor mobil yang dipakai, "Sini, coba pinjem ponselnya," pinta Melvin.
Gia yang bingung pun akhirnya menyerahkan ponsel miliknya kepada sang senior, sembari sesekali menyapu pandangan ke seluruh area luar rumah sakit. Hingga tiba-tiba, seorang lelaki berbalut jaket serta helm hijau lengkap dengan sepeda motor matic berhenti tepat di depan mereka berdua.
"Mbak Gia, ya?" tanya lelaki itu.
Gia dan Melvin sama-sama menatap bingung, netra yang lebih tua kemudian beralih menatap ponsel Gia lalu membulatkan matanya.
"Lo kok pesan yang motor? Bukannya tadi bilang mobil?" tanya Melvin, telunjuk tangannya menunjukkan sebuah gambar berbentuk sepeda motor yang tertera di dalam layar ponsel.
"Loh, Gia kira kalau langsung pesan gitu yang datang mobil," jawabnya polos.
Gadis ini ... kenapa bodoh sekali, batin Melvin tak percaya.
Namun apa boleh buat, ketika melihat sang supir motor yang memiliki beberapa kerutan di wajah coklatnya membuat keduanya merasa tak tega jika membatalkan orderan Gia.
"Yakin gak apa-apa naik motor? Lo pakai dress loh," walaupun terkesan cuek, sebenarnya Melvin juga termasuk pemuda yang peduli akan keselamatan serta keamanan orang-orang terdekatnya, apalagi Gia yang polos ini.
Gia mengangguk, entah untuk yang ke berapa kalinya pagi ini. Ia kemudian mulai naik ke atas jok motor, membernarkan letak dress-nya agar tidak terbuka saat terkena angin lalu memakai helm yang senada dengan sang supir.
"Gia pulang dulu ya, kak Melvin. Dadah!" Serunya sembari melambaikan tangan hingga membuat Melvin terdiam sejenak lalu ikut membalas lambaian tangan itu.
Kenapa ekspresi gadis ini selalu berubah-ubah? Sejenak menjadi pendiam, dan sejenak pula berubah menjadi ceria seakan mereka berdua telah berteman dengan sangat dekat.