Berkunjung 1

1841 Kata
Setelah mengucapkan kata maaf untuk menenangkan sang kekasih. Gia justru semakin mengeraskan suara tangisannya sembari sesekali terisak, layaknya anak kecil yang sukses membuat Desta terhenyak, hatinya ikut ngilu. Untung saja mereka kini hanya berdua di dalam rumah, sang pembantu tengah izin cuti selama satu minggu untuk pulang kampung. Desta jadi tak perlu takut kelakuannya tadi dilihat oleh orang lain. "Gia, maaf. Kakak nggak sengaja nyakitin kamu, maaf ...," lirih lelaki itu lalu merengkuh tubuh kecil Gia, memberikan pelukan hangat serta erat tak lupa mengelus pelan punggung gadisnya. Jika beberapa orang tidak mau atau bahkan menjauh ketika di peluk oleh seseorang yang telah menyakiti mereka. Namun berbeda dengan Gia, gadis tersebut justru membalas pelukan Desta tak kalah erat hingga membuat kemeja sang lelaki basah akibat air mata. "Maafin kakak, ya. Gia jangan nangis lagi, nanti kepalanya pusing." Ucap Desta sembari memberikan usapan lembut pada kepala Gia. Gia menganggukka kepala, tangisannya lambat laun mulai mereda. Benar kata Desta, kepalanya sudah terasa pening saat ini, netra madunya pun juga lelah ingin segera memejamkan mata. "Kamu tidur aja ya, mau disini atau naik ke kamar aja? Biar kakak anter," karena tak memiliki tenaga untuk menjawab, Gia hanya menepuk sofa tempatnya duduk menggunakan tangan lalu merebahkan tubuhnya membelakangi sang kekasih. Desta tau, Gia pasti masih merasa cukup terkejut akan perilaku lelaki itu beberapa saat lalu. Ia sendiri juga tidak tau mengapa akhir-akhir ini amarahnya terlalu gampang terpancing oleh hal sepele sekalipun, bahkan sore tadi Desta juga sempat beradu mulut dengan managernya di cafe. Tetapi untuk Gia, tidak ada yang namanya masalah sepele. Jika itu berurusan dengan lelaki lain, maka Desta akan menganggapnya sebuah masalah besar. Setelah kurang lebih 30 menit, terdengar suara dengkuran halus layaknya seekor anak kucing berasal dari Gia. Desta kemudian mematikan ponsel yang sempat ia mainkan, lalu berdiri mengambil selimut di dalam kamar tamu, dan menutupi seluruh tubuh kecil gadis yang saat ini tengah pulas tertidur. Tak lupa juga mencuri satu kecupan di dahinya. Ting! Tiba-tiba dering suara pesan masuk terdengar. Dengan cepat Desta mengambil benda pipih berwarna hitam tersebut dari dalam saku celana lalu mulai membuka ponselnya, hingga menampilkan sebuah pesan dari seseorang yang memang ia tunggu sejak 15 menit lalu. @Jo [(Mengirim Foto) Ini kan, Bang, rumahnya? Gue udah di depan pagar, buruan kesini.] Setelah sekali lagi memastikan bahwa Gia benar-benar tertidur, Desta langsung berlari keluar dari rumah menemani salah satu temannya yang sudah menunggu di depan. "Rumah lo, bang?" tanya seorang lelaki berbalut yang kini berada di hadapan Desta. Keduanya hanya dipisahkan oleh pagar rumah. Lelaki tersebut menganggukkan kepalanya dengan cepat karena tak ingin berlama-lama berada di luar. Apalagi ketika melihat penampilan seseorang di depannya yang kini memakai jaket serta topi lengkap dengan masker berwarna hitam membuatnya sedikit was-was, ia takut dicurigai oleh warga atau security kompleks. "Boleh dong sekali-kali main kesini." Bukannya segera menyelesaikan urusan bak dalam sebuah film action yang tengah dikejar waktu, pemuda beralis tebal itu justru terus berbasa-basi hingga membuat Desta jengah. "Nggak boleh. Ini rumah isinya senjata terlarang semua, lo mau ketangkep sama polisi? Cepetan, mana barangnya!" jawabnya tak sabar. Pemuda tersebut sedikit mendelik ketika mendengar jawaban dari Desta, namun ia tetap mengeluarkan satu bungkus rokok dari dalam saku jaket yang ia pakai kemudian memberikannya kepada Desta. "Kerjaan gue mah udah berurusan sama polisi, Bang. Nggak ketangkep karna senjata terlarang, paling juga bakal ketangkep sama yang satu ini, iya nggak?" godanya seraya memainkan kedua alisnya naik turun. Desta menerima bungkus rokok tersebut sembari menggelengkan kepalanya tak peduli, ia heran kenapa pemuda satu ini sama sekali tidak menganggap bahwa pekerjaannya sangat beresiko. "Udah gue transfer ke bos, sekalian uang transport lo kesini. Pergi sana!" *** Pagi ini, Gia terbangun akibat sinar mentari yang masuk tanpa izin melalui jendela-jendela kaca besar di area ruang tamu. Iya, sejak kemarin malam Desta memang sengaja tidak memindahkan gadis tersebut ke dalam kamar karena tak ingin menganggu tidurnya yang pulas. Sedangkan Desta sendiri setelah selesai dengan urusannya, langsung masuk ke dalam kamar tamu lalu bangun sekitar pukul 6 pagi. Gia kemudian memilih untuk duduk, meregangnya otot-ototnya yang kaku akibat tidur di sofa hingga sepersekian detik kemudian aroma wangi dari nasi goreng menguar masuk melalui kedua celah indra penciumannya. "Pagi, Sayang." Seketika Gia menolehkan kepalanya menuju sumber suara yang mengalun lembut, terlihat Desta keluar dari arah dapur sembari membawa nampan berisi piring serta satu gelas s**u hangat berjalan ke arahnya. Seakan lupa dengan apa yang terjadi kemarin, Gia tersenyum manis lalu menjawab, "Pagi juga, Sayang." Dengan hati-hati, Desta meletakkan nampan tersebut di atas meja. Punggung tangannya ia biarkan memegang dahi Gia untuk mengecek suhu badannya, "Badan kamu kemarin malam sempat hangat, untung aja sekarang udah normal lagi," ucapnya lalu tersenyum lega. "Mata Gia rasanya berat, kak." Adu Gia sembari memegang kedua kelopak matanya. Desta melihat itu, lelaki tersebut melihat sepasang netra Gia yang masih memerah serta sembab lalu mengelus pipi kekasihnya dengan lembut. "Ini pasti gara-gara nangis kemarin malam. Maafin kakak ya Gia, kakak beneran ngerasa bersalah udah bikin kamu nangis," tutur Desta. Gia menggelengkan kepala, ia mengambil alih tangan Desta kemudian menggenggamnya dengan erat, "Kak Desta nggak salah, ini salah Gia karena susah dibilangin." Bagi Gia, perlakukan Desta kemarin malam adalah murni kesalahannya, karena ia tak mengindahkan ucapan sang kekasih yang melarangnya untuk terlalu dekat dengan laki-laki lain. Tetapi, Gia tidak memungkiri rasa sedih yang masih tinggal di dalam lubuk hatinya, apakah ketika mengingat buket bunga mawar pemberian Arhan dan Yena dilempar lalu diinjak oleh Desta. "Makan dulu, yuk. Nanti habis makan sama mandi, baru dikasih obat mata biar mendingan." Ajak Desta seraya menyendok nasi goreng yang berada di piring kemudian ia arahkan ke mulut Gia. "Kakak nggak makan?" tanya yang lebih muda dengan mulut penuh nasi. "Udah makan roti bakar di dapur tadi. Jangan mikirin kakak dulu, ayo habisin nasinya." Di tengah momen hangat sekaligus romantis yang Desta ciptakan pada pagi hari yang cukup cerah ini, tiba-tiba suara dering telepon yang berbunyi membuat keduanya menoleh ke arah meja. Kali ini ponsel milik Gia yang berbunyi, menampilkan sebuah panggilan masuk dari dokter Rachel. Ah, sudah lama dokter cantik tersebut tak menghubunginya, batin Gia lalu segera mengangkat telepon tersebut. "Pagi, Gia," sapa Rachel di seberang telepon dengan nada yang sangat bersahabat hingga membuat Gia membalas sapaan tersebut tak kalah manis. Desta sedikit penasaran dengan apa yang kedua wanita itu bicarakan dari telepon, apalagi ketika melihat raut wajah Gia yang tadinya tertawa lalu dengan cepat berubah seperti mengernyit kemudian kembali lagi tertawa. "Oke dokter, sampai jumpa nanti!" Kalimat terakhir itu membuat Desta langsung menebak bahwa Gia akan bertemu dengan dokter Rachel entah kapan. "Ada apa, yang?" tanya lelaki tersebut sesaat setelah sang kekasih meletakkan kembali meletakkan ponselnya di atas meja. "Dokter Rachel undang aku buat kontrol kesehatan di rumah sakit, sekaligus ngobrol bareng," jawabnya. Agenda kontrol kesehatan untuk Gia memang sudah direncanakan bahkan sejak Gama masih berada di Indonesia. Sebenarnya Rachel akan melakukan pengecekan setiap dua minggu sekali, namun karena akhir-akhir ini wanita itu cukup sibuk, pada akhirnya jadwal kontrol Gia harus mundur beberapa minggu dari hari yang telah ditentukan. Desta tau, bukan hanya kesehatan fisik Gia saja yang di cek, melainkan juga kesehatan mental sang kekasih. Mengingat bahwa gadis tersebut memiliki syndrom Cinderella Complex yang membuatnya selalu merasa lemah dan tak bisa berdiri dengan jati dirinya sendiri. Dokter Rachel pasti akan menghipnotis Gia untuk berkata jujur tentang apa saja masalah serta kerisauan yang ia alami pada kurun waktu satu bulan terakhir, dan Desta tidak ingin itu terjadi. Ia tidak ingin dua kejadian ketika dirinya menyakiti Gia diketahui oleh orang lain. "Sayang, nanti kalau dokter Rachel nawarin buat terapi hipnotis, kamu jangan mau ya," ucap Desta memegang bahu si gadis. Gia kemudian menatap netra Desta, "Kenapa?" "Ya enggak apa-apa. Kamu kan kemarin habis nangis, pasti masih capek. Kalau habis di hipnotis juga bakal makin capek loh, jangan mau ya? Nurut sama kakak ya?" tutur lelaki itu memberikan penekanan pada kalimat terakhirnya hingga membuat Gia menganggukkan kepalanya paham. Tepat pada pukul 8 kurang 15 menit, Gia dan Desta telah berada di depan gerbang rumah sakit dengan Desta yang juga sudah bersiap dengan baju kerjanya. Lelaki itu memang sengaja mengantar Gia terlebih dahulu, lalu membiarkannya pulang sendiri karena ia tidak mungkin meninggalkan pekerjaannya di cafe, mengingat dirinya baru saja terlibat cekcok dengan sang manager. "Maaf ya sayang, kakak nggak bisa jemput kamu. Nanti kamu order kendaraan online aja, ya? Mobil atau apa gitu, masih ingat cara ordernya, kan?" tanya Desta memastikan. Gia menganggukkan kepalanya patuh lalu tersenyum, "Ingat kok. Nanti kalau lupa, aku minta bantuan sama dokter Rachel aja," jawabnya. Desta turut tersenyum ketika melihat senyuman Gia yang seperti biasanya telah kembali, ia kemudian sedikit mencondongkan kepalanya ke arah si gadis lalu mengecup dahi Gia. Sedikit lebih lama hingga membuat yang lebih muda tertawa kecil lalu mendorong tubuh besar tersebut agar menjauh. "Ayo ganti, kamu yang cium pipi kakak!" perintah Desta diselingi dengan tawa ringan. Walaupun sudah sering atau bahkan hampir setiap hari mengecup pipi sang kekasih, tetap saja hal itu membuat rona kemerahan di wajah Gia muncul. Dengan cepat ia mengecup singkat pipi Desta lalu memakai kacamatanya dan keluar dari mobil. Kacamata hitam ini berguna untuk menutup matanya yang masih sedikit sembab. "See you at home, sayang!" teriak Desta lewat kaca mobil yang diturunkan setengah tanpa mempedulikan tatapan aneh dari orang-orang di sekitarnya. Sedangkan Gia yang malu hanya melambaikan tangannya. Ia lalu berlari masuk ke dalam rumah sakit untuk mencari ruangan medical checkup yang sebelumnya telah didaftarkan oleh dokter Rachel. Tiga puluh menit kemudian. Setelah melakukan berbagai macam pengecekan kesehatan termasuk juga pengambilan darah, gadis dengan dress selutut bergaris tersebut kini kembali berjalan menyusuri lorong rumah sakit, menuju ruangan dokter Rachel sembari sesekali mengelus pelan lengannya yang masih nyeri akibat disuntik tadi. Tak lama kemudian, langkah Gia berhenti tepat di depan sebuah ruangan bertuliskan dr. Rachela Amanda M.Psi pada bagian atas pintunya. Namun, belum sempat ia membuka kenop pintu, seseorang yang entah sejak kapan berada di belakang Gia tiba-tiba membuka pintu terlebih dahulu hingga membuat gadis tersebut sedikit mundur ke belakang. Apakah Gia datang di saat yang tidak tepat? Tapi dokter Rachel sendiri yang berkata bahwa jadwalnya berkunjung pukul 9 pagi. Lalu, siapakah sosok lelaki berkaos biru yang kini telah masuk ke dalam ruangan dan membiarkan pintu tetap terbuka seakan tak memiliki sopan santun sama sekali itu? Batin Gia heran. "Loh, halo Gia!" sapa dokter Rachel hingga membuat sang pemilik nama menoleh ke sumber suara. Terlihat seorang wanita berambut sebahu dengan riasan sederhana, lengkap dengan pakaian khas dokternya kini tengah berdiri di sisi sebelah kanan Gia. Tangan kanannya terlihat membawa kantung plastik berwarna hitam. "Tadi saya habis dari kantin sebentar, kamu sudah lama disini? Kok nggak langsung masuk aja?" Lanjutnya seraya memegang pundak Gia, ia sedikit heran ketika melihat wanita yang lebih muda darinya ini memakai kacamata hitam di dalam ruangan. "Itu ..., kayaknya ada pasien dokter Rachel di dalam. Jadi Gia nggak berani masuk," cicit Gia. Rachel mengernyitkan dahinya ketika mendengar ucapan dari Gia. Ia tidak menerima pasien yang tak mendaftar terlebih dahulu lewat sebuah pesan, dan sekarang memang waktunya Gia untuk bertemu dengan dirinya. Jadi, siapa sosok yang Gia maksud sebagai pasien itu dengan mudah bisa Rachel tebak. "Masuk dulu aja yuk."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN