MENKO PMK: Bela negara cegah radikalisme.
“Aiish!” Spontan, Anya menutup koran bahkan meremasnya. “Bela negara bela negara! Bella lagi, Bella lagi!” rutuknya lalu melempar koran ke sudut kamar.
Bukan tak bersemangat patrolialisme, hanya saja sepenggal kata yang menyerupai nama Bella membuatnya muak.
Sejenak Anya kembali mengingat kejadian kemarin. Pacar kesayangan Alden itu menyiramnya dengan air kobokan. Dan menghujaninya dengan sumpah serapah di depan banyak orang.
Kalau saja Bela bukan pacar sahabatnya, sudah dipastikan Bela tidak bisa lolos dari Anya. Gadis itu tercatat telah berkali-kali melakukan hal gila di luar nalar. Mulai dari menjambak kawannya saat masih SMP, menendang kemaluan siswa SMA yang mengganggunya saat di jalan. Bahkan yang terparah adalah jadi koordinator bolos sekolah berjamaah. Hal itu juga yang membuat Alden menempel pada Anya. Namun, senakal apa pun Anya saat itu, ajaib nilainya tidak pernah turun. Berbanding terbalik dengan Alden.
Namun, ada pepatah yang bilang, ‘Roda akan terus berputar’. Anya sangat setuju dengan pepatah itu. Sejak masa kuliah sampai sekarang, otak dan pikiran Alden jauh lebih bisa diandalkan ketimbang Anya. Gadis itu sempat berpikir, bahwa otak mereka tertukar saat terbentur berdua ketika kamping perpisahan SMA. Salah satu mitos yang jadi tameng Anya, saat lemotnya kumat.
Anya bersedekap sambil menyandarkan pinggangnya di meja belajar. Dia memandangi bingkai foto yang tergeletak manis di atas meja cukup lama.
Anya tersenyum. “Mama ...,” lirihnya.Anya mengusap bingkai itu beberapakali. Tampak potret Anya semasa kecil dengan kedua orang tuanya yang berlatarkan bianglala raksasa. Keluarga kecil itu tersenyum bahagia.
Ingatan Anya kembali pada masa-masa terindah dalam hidupnya. Anya menutup mata, memberi waktu otaknya memutar ulang satu per satu kenangan indah bersama orang tuanya. Gadis itu tersenyum hangat. Menit berikutnya, Anya terduduk di lantai bersandakan dipan tempat tidur. Dia mengusap wajahnya yang kian merah menahan tangis. Lalu memeluk lutut dengan erat. Kepalanya jatuh lunglai di atas lutut. Bahunya bergetar. Air mata sudah turun tak terbendung. Anya terus tersungut. Kehilangan begitu sakit dia rasakan. Setelah kematian mama tercinta, tak lama papanya juga menyusul pergi. Meninggalkan Anya yang masih kecil seorang diri.
Sejak saat itu, tante Sinta dan Om Dedi yang merawat Anya. Sebagai kerabat jauh dan satu-satunya keluarga yang dia punya. Karena itu pula, Anya tak bisa menolak apa pun permintaan tante Sinta. Namun, sekarang keinginan tante Sinta sudah tak masuk akal menurutnya. Di zaman modern seperti ini, masih ada kalimat perjodohan? Dan sialnya, itu terjadi pada Anya.
“Ma, Pa ... Anya harus bagaimana?”
***
Anya mematut dirinya di depan cermin. Binar matanya tetap terjaga,meski semalaman menangis sembari memeluk bingkai foto orang tuanya hingga tertidur saat matahari mulai menampakan cahaya.
Anya memoles bedak dan mengusapkan lipstik tipis-tipis. Warna pink nude yang dia pilih pagi ini. Warna yang dihasilkan mampu membuat tampilan makeup Anya terlihat sangat natural terkesan lebih muda. Seperti ABG. Anya hanya ingin terlihat seperti anak-anak saat bertemu orang tuanya. Sambil mengingat kenangan indah saat masih bersama.
Setelah dirasa cukup, dan mendapatkan kepercayaan diri kembali, Anya bergegas keluar kamar. Menuruni anak tangga satu persatu sambil memantapkan hati.
“Sarapan dulu, Non,” sapa bi Ratih. Asisten rumah tangga yang setia mengikuti mereka sejak sepuluh tahun terakhir ini.
Anya menolak ajakkan itu dengan tersenyum. “Nggak deh, Bi. Anya makan di jalan aja.”
“Mau ke mana kamu pagi-pagi begini?” Tante Sinta tiba-tiba menghampiri.
“Mau ke makam mama papa, Tan.”
“Jangan terlalu lama! Inget, resto kamu tuh lebih butuh kamu tengokin.”
Anya mencebik. “Iya, Tante. Sebentar aja, kok.” Meski kesal, gadis itu tetap berusaha tersenyum lalu bergegas pergi sebelum ada drama pagi.
“Anya pergi ya, Tan. Bye!” ucapnya sambil melambaikan tangan dan meninggalkan tante Sinta tanpa menoleh ke belakang.
Anya berhasil keluar dari lingkungan rumah. Memilih berjalan kaki keluar kompleks rumahnya. Sambil menghirup udara pagi nan segar yang membuat paru-parunya lebih sehat karena sesak dan isak semalam.
Anya menyapa sembari mengangguk saat bertemu dua satpam kompleks. Pak Bambang masih setia mendengarkan lagu k-pop dengan headset di telinga. Sedangkan pak Ahmadasik membaca koran sambil menghidu aroma kopi yang membuat Anya teringat dengan seseorang.
“Mau kemana, Neng? Biasanya ada yang nganter jemput. Ini kok jalan kaki?” sapa Pak Ahmad sambil tersenyum menggoda.
“Iya, Pak. Saya mau naik bus. Jadi mau jalan kakiaja ke halte. Sekalian olah raga sambil berjemur.”
“Siapa yang bejamur? Panuan?” pak Bambang tiba-tiba ikut bersuara.
Malas berdebat, Anya hanya menggeleng kepala sambil tertawa. Lalu berpamitan dan melanjutkan perjalanan.
Tak terasa, setelah berjalan kaki lebih dari dua puluh menit, Anya sampai di halte terdekat. Dia menenggak air mineral yang dia beli di perjalanan hingga tandas. Anya mengembuskan napas lega, saat bus yang dia tunggu telah tiba. Saking bersemangatnya, gadis itu tak menyadari bahwa ada sepasang mata yang memperhatikannya sedari tadi di seberang sana.
***
Satu persatu penumpang turun, bus kian lenggang. Anya semakin gelisah. Berulang kali mengusap punggung tangan dengan telapak. Mencoba menguatkan diri. Memang, sejak dulu, Anya menjadi sedikit trauma dengan pemakaman. Kehilangan dua orang yang sangat dicintai di waktu yang berdekatan tidaklah mudah. Tak terhitung berapa banyak mimpi buruk yang menyapa tidurnya. Tak terukur pula berapa tetes air mata yang dia keluarkan saat meratapi kepergian orang tuanya.
“Kamu harus senyum, Nya! Harus senang. Kan mau ketemu mama sama papa,” ucapnya padadiri sendiri.
Anya memantapkan diri. Turun dari bus dengan berhati-hati. Berusaha semaksimal mungkin menghindari sentuhan dan tidak memegang apa pun. Menit berikutnya, ponsel Anya berdering. Tampak nama Alden tertampang di layar.
“Di mana, Nya?”
“Kuburan,” jawab Anya seadanya.
“Bener-bener setres ni cewek. Mati dulu oy. Baru ke kuburan.”
“Yang setres tuh kamu! Gimana mau ziarah kubur kalau mati.”
“Oh, aku kira karena frustrasi abis baku hantam sama Bella kemarin, kamu jadi mau ngecek-ngeceklobang kosong.”
“Dah lah. Matiinaja kalau nggak ada yang penting.” Anya memutuskan panggilan secara sepihak. Alden sangat mengacaukan mood-nya pagi ini. Namun, tanpa dia sadari, telepon dari Alden juga membuat dirinya sedikit tenang.
Dengan langkah sepelan mungkin, Anya memasuki area makam. Ponselnya sudah kembali dia simpan di dalam tas. Anya mengusap-usap lengan saat angin pemakaman menyapa. Bak sedang syuting film horor, Anya celingak-celinguk memperhatikan setiap inchi area pemakaman.
Anya memberi salam pada pak Dayat—penjaga makamyang dipercayakan mengurus makam kedua orang tua Anya. Laki-laki yang hampir sepuh itu sedang duduk beruncang kaki sambilmengisap rokok yang tinggal setengah.
“Eh, Neng Anya, ya?” balas penjaga makam itu dengan ramah.
Anya mengangguk. “Iya, PakDayat. Bener.”
“Kemana aja, Neng? Kok baru kelihatan. Nggak sakit, kan?”
“Nggak pak. Alhamdulillah, Pak. Anya sehat aja, kok. Bapak gimana keadaannya?” tanya Anya sambil melindungi wajah dari cahaya matahari dengan telapak tangannya.
“Alhamdulillah baik juga, Neng. Mau nyekar, ya? Ayo, bapak temani.”
Pak Dayat segera membuang puntung rokok lalu menginjaknya. Laki-laki sepuh itu jalan tergopoh menghampiri Anya. Menelusuri jalanan setapak yang kanan kirinya di penuhi nisan.
“Makasih ya, Pak. Pak Dayat sudah menjaga makam kedua orang tua saya agar tetap bersih seperti ini. Masih banyak bunga segar lagi.” Senyum Anya mengembang saat sampai di hadapan makam kedua orang tuanya.
“Maaf, Neng sebelumnya.” Pak Dayat membuka suara saat teringat sesuatu. “Bapak memang selalu menjaga kebersihan makam, tapi yang menabur bunga bukan bapak, Neng.”
“Siapa, Pak?” Dahi Anya berkerut.
“Sekitar minggu lalu, ada laki-laki yang mengunjungi makam orang tua neng Anya. Tapi, sebelumnya bapak seperti pernah lihat orang itu, Neng. Tapi nggak inget siapa.”
“Laki-laki? Minggu lalu? Siapa ya, Pak?”
“Yah, neng Anya gimana sih. Neng ajanggak tahu, apalagi bapak.” Kedua orang beda generasi itu tertawa kecil, lalu spontan menutup mulut dengan telapak tangan. Sadar, jika mereka sedang berada di tengah makam.
“Kalau begitu, saya pamit dulu, ya, Neng. Permisi.” Pak Dayat segera pergi.
Menit berikutnya, Anya tercenung cukup lama. Dibacanya berkali-kali nama kedua orang tuanya yang tertulis di atas nisan. Seakan tak ingin kembali menangis, Anya segera menepis air mata yang belum sempat turun.
“Terima kasih banyak ya, Ma ... Pa ... sudah menemani Anya sampai sejauh ini. Anya janji, akan berusaha semaksimal mungkin, untuk mempertahankan apa yang mama papa tinggalkan untuk Anya.”
Anya berjongkok. Mengeluarkan plastik hitam dari dalam tasnya. Aroma wangi mawar merah serta beberapa bunga lainnya tercium meramaikan rongga hidung. Anya menebar bunga itu dengan perlahan.
“Yang ini buat mama ... lalu ini buat papa. Harus adil. Jangan rebutan ya, Ma ... Pa. Porsinya sama.” Anya terkekeh pelan. Dia sudah berjanji, tidak akan menangis. Anya membagikan kisah hidupnya selama beberapa bulan terakhir ini. Mulai dari wabah covid19 yang menyerang bumi, kekesalannya karena harus memakai masker ke mana-mana. Sampai dampak yang sangat terasa pada restorannya. Kejadian tante Sinta kena tipu juga tak luput dia ceritakan. Serta ... perjodohannya dengan Bima.
Anya terdiam sejenak, saat menyebut nama Bima dalam ceritanya. Di satu sisi, dia tidak ingin dijodohkan. Baginya, pernikahan itu sakral. Cukup sekali seumur hidup. Sehidup semati seperti kedua orang tuanya. Bagaimana mungkin menikah dengan orang tanpa cinta? Namun, di sisi lain, Dia tidak ingin membantah keinginan om dan tantenya. Biar bagaimanapun, merekalah yang mengurus Anya sejak kecil hingga dewasa seperti sekarang. Dan juga ... ternyata Bima tidak seburuk yang dia pikirkan. Anya kembali tersenyum. Bangkit bediri. Memandangi nisan kedua orang tuanya yang semakin dipenuhi bunga-bunga indah. Anya pamit setelah berdoa.
“Anya pulang dulu ya, Ma ... Pa. Nanti Anya bakal ke sini lagi. Anya mau nengok restoran dulu. Biar bagaimanapun kan, Anya sudah jadi bos sekarang,” candanya disertai tawa yang berangsur redup.
***
“Bu Anya, tadi pak Bima ke sini.”
“Oh, ya? Kapan? Jam berapa?”
“Barusan aja, Bu. Sekitar setengah jam yang lalu.”
“Oh, ya sudah. Nggak apa-apa.”
“Bu Anya nggak nanyain keperluan pak Bima apaan?”
“Ya kan ini resto. Kalau nggak untuk makan ya untuk apa lagi? Lagian dia kan juga penanam modal resto kita. Biar ajalah. Lain kali kasih gratis aja makanannya. Tapi jangan keseringan juga, bisa bangkrut kita,” titah Anya panjang kali lebar tak memberi kesempatan pada Hani untuk menjelaskan.
“Bu Anya ... dengerin dulu!” Kali ini Hani tak ingin kalah cepat. Gadis itu langsung memotong ucapan Anya.
“Apalagi, sih? Eh, ambilin minum dong. Haus nih.” Anya mengusap-usap tenggorokannya. Drama.
“Pak Bima tadi tuh ke sini buat ngasi undangan.” Hani bergegas menuju meja kasir setelah berkata demikian. Anya spontan berdiri meminta penjelasan lebih.
“Undangan? Undangan apa?” Alis Anya berkerut. Menyusul Hani ke meja kasir karena tak sabar. “Undangan apa? Kamu ini, diajak ngomong malah pergi-pergi.”
“Loh, kan ibu yang minta ambilin air. Gimana sih? Nih airnya.” Hani menyodorkan segelas air putih yang dia ambil dari dispenser yang tersembunyi balik meja kasir. Sigap Hani mengangguk cepat. “Iya, Bu. Emm, sepertinya undangan pernikahan,deh,” terang Hani.
“What? Undangan ? Pernikahan? Undangan pernikahan beneran?”
Dasar om-om kampret! Om-om PHP!