Chapter [4]

2266 Kata
"Tuanku..." Suara yang terdengar tiba-tiba membuat Zhenan terlonjak dari tidurnya, dia segera duduk dan menatap orang itu waspada. "Anda sudah siuman sedari tadi?" Ah, ternyata hanya seorang pria tua tapi tunggu. Saat ini Zhenan ada didunia entah berantah, segala sesuatu bisa terjadi disini walaupun lelaki tua itu terlihat bukan ancaman tapi dia harus tetap khawatir dan tidak mengendurkan kewaspadaannya, diam-diam dia mengamati sekitar ruangan untuk mencari benda apa saja yang bisa dia gunakan untuk menyerang pria tua ini jika pria itu mencoba mencelakainya. Matanya berhenti pada benda yang dia cari, kumpulan belati dan pedang bersarung giok dengan kualitas terbaik, ditambah tenunan emas membuat Zhenan menjatuhkan rahangnya, seumur hidup baru kali ini dia melihat senjata yang diperlakukan layaknya seorang putri, bersih dan cantik. Tangannya mendadak gatal ingin memegangnya namun sialnya semua pedang dan belati itu tertata rapi didalam lemari kaca dan tersegel sama sekali tidak bisa ia jangkau, lalu apa gunanya senjata jika tidak digunakan sesuai fungsinya? Diam-diam dia merutuk. Sepertinya dia tidak punya senjata apapun untuk dia gunakan, yang tersisa hanyalah tangan kosong dan mata elang andalannya. Mengalihkan pandangannya pada sosok tua itu lalu memberikan tatapan tajamnya sebagai bentuk ketidaknyamanan, dia mengira itu sudah cukup untuk menakuti pak tua itu tetapi siapa yang menyangka jika tujuannya diterima berbeda dimata orang lain dia malah terlihat seperti induk ayam yang akan mematuk siapa saja jika menggangu anaknya. Sayangnya dia tak menyadari jika kakek itu diam-diam menahan geli dan terus mempertahankan tatapan tajamnya, pikirannya terus menyusun rencana jika pria itu berusaha mencelakainya dia masih tidak lupa dengan jurus Wushu dan Kungfu yang dia pelajari. Kakek itu sepertinya paham dengan kondisi Zhenan, bukannya tersinggung kakek itu malah tersenyum hangat sembari mendekati ranjang. Hal itu tentu saja membuat Zhang Zhenan panik bukan main, alarm tanda bahaya menyala saat melihat kakek itu memasang wajah seperti kakek-kakek p*****l. Tanpa berpikir panjang secepat kilat dia meloncat dari ranjang yang lumayan tinggi sebelum kakek itu berhasil mendekatinya, namun Zhang Zhenan terlalu panik hingga tidak memperhatikan lantai yang licin. Kakinya salah mendarat dan tubuhnya berdebam keras dilantai, Zhang Zhenan mengutuk. Tulang ekornya mendarat terlebih dulu sakitnya bukan main, kakinya juga terkilir, tulangnya seperti remuk, saking sakitnya dia sampai melupakan rencananya untuk kabur. Kakek itu tak jauh berbeda, wajahnya seperti dipelintir melihat Zhenan terbaring kesakitan diatas lantai. Saking terkejutnya tubuhnya sampai membatu,bukannya buru-buru membantu Zhenan berdiri kakek itu malah pucat, jantungnya mendadak berhenti berdetak dan tak berapa lama kakek itu jatuh pingsan. Bamm Zhenan yang mendengar suara bedebam segera melihat kebelakang dan dia tak kalah terkejutnya saat menemukan kakek itu tergolek lemah tidak sadarkan diri. Mata bulatnya melebar, hey.... Bukankah dia yang seharusnya kesakitan?! Tapi kenapa kakek itu yang malah pingsan. "Hey..." Panggilnya dari kejauhan, berharap kakek itu bangun dan membantunya tapi rupanya kakek itu benar-benar tak sadarkan diri. Tak menyerah, Zhenan mencoba berteriak lagi tapi rasa sakit tiba-tiba datang menghantam perut bawahnya, tangannya reflek menggenggam pinggangnya layaknya orang bodoh dia lupa jika perutnya saat ini tak sekecil dulu yang bisa digenggam dengan satu telapak tangan. Namun saat dia fokus pada sakit di perutnya tiba-tiba rasa sakit menyengat punggungnya dan semakin lama seluruh tubuhnya kesakitan. Dia kebingungan mencari sumber rasa sakit yang dia derita, tapi rasa sakit ini bukan hanya di satu titik saja seperti biasanya dia terkilir atau punggung nyeri otot setelah olahraga, saat ini dia hampir merasakan yang namanya pecah inti tubuh. Tubuhnya hampir melebur jadi satu dalam kesakitan, jujur saja seumur hidup dia tak pernah merasakan sakit yang begitu menyulitkannya, namun kali ini Zhenan tak bisa menyepelekan. Dia bahkan tak bisa mengangkat ujung jarinya, tak bisa berteriak ataupun mengeluarkan suara. Yang hanya bisa dia lakukan hanyalah mengerang dan mengeluh kesakitan tanpa ada yang mendengarnya, kesialan apalagi ini. Dia hanya jatuh dari atas ranjang, bukan dari lantai 13. Saat Zhenan sibuk mengerang di dalam, pengawal disibukkan dengan rasa penasaran. Suara debuman sudah kedua kalinya terdengar, beberapa pengawal yang berdiri didepan ruangan mulai khawatir dengan kondisi tuan mereka, mereka bertukar pandang satu sama lain setelah mendapat persetujuan mereka akhirnya mendobrak pintu besar itu. Salah satu pengawal diperintah untuk menemui sang Kaisar dan keenam pengawal lainnya memasang posisi siaga dengan tombak dan pedang ditangan mereka. Mereka melihat keadaan disekitar ruangan namun tidak ada sesuatu yang mencurigakan, semua barang tertata rapi ditempatnya dan tidak terlihat tanda-tanda pertikaian, keenam pengawal itu memasuki kamar sang tuan dan mereka mengeratkan senjata ketika mendekati sumber suara yang berasal dari kamar Tuan Zhang. Saat mereka menginjak pembatas lantai (kayu yang sengaja dibuat lebih tinggi dari lantai, sebagai batas orang lain agar tak memasuki ruangan pribadi permaisuri) mereka diam sejenak, mempertajam pendengaran mereka takut-takut jika mereka salah dengar dan malah melanggar privasi. "Ugh...." Suara lenguhan membuat mereka saling bertukar pandang, salah satu dari mereka mengangguk dan dalam sekejap mereka menerobos ruang pribadi permaisuri. Senjata mereka todongkan pada kedua orang yang terbaring dilantai. Mereka menghentikan penyerangan ketika kedua orang itu terlihat familiar. "Tuan Zhang?!" "Permaisuri?" Ketiga pengawal menjatuhkan pedang mereka dan buru-buru berlari menghampiri Zhang Zhenan. Sedangkan tiga pengawal lainnya langsung pergi menelusuri ruangan, melihat celah-celah didalam ruangan itu untuk memastikan tidak ada musuh yang bersembunyi. Salah satu pengawal melirik aneh pada satu temannya yang sedari tadi hanya berputar-putar tidak jelas. "Apa yang kau lakukan?!" Bentaknya. Pengawal itu berhenti berjalan, dengan wajah pucat pengawal itu menghampirinya. "Kenapa kau terus berputar? Bukannya membantu kami mencari penyusup." Ujarnya kesal. Temannya berdecak, menaruh tombaknya ke lantai yang mengundang tatapan tajam temannya. "Kenapa kau menaruh senjatamu dilantai? Ini bukan saatnya untuk istirahat!!". "Ashh, dengarkan aku dulu. Apa kau tidak melihat Tuan Zhang? Apakah ada tanda-tanda dia diserang? Kita bisa melihat dia terluka." Ah, benar juga. Kedua pengawal itu mengalihkan perhatiannya pada Tuan Zhang yang dikerumuni pengawal lainnya. "Lalu apa yang kau tunggu? Kenapa tidak menolongnya? Kenapa malah berputar tidak jelas seperti itu?" Pengawal didepannya dengan mengejutkan memukul dahinya. "Aku sedang mencari cara untuk memberitahu keadaan Tuan Zhang kepada Lord Gong, kau tahukan bagaimana murkanya Lord Gong jika sampai-emmm.." Pengawal itu segera membungkam mulut temannya. "Jangan katakan hal-hal buruk, kau tahukan telinga Lord Gong ada dimana-mana. Kalau dia mendengar ucapan burukmu.... Tamat." Keduanya kompak bergidik, sudah cukup puluhan pengawal yang dimasukkan kedalam kandang singa, mereka masih sayang nyawa. "Sebaiknya kita segera membawa tabib kemari sebelum Lord Gong datang, pergilah..". "Hmm." Setelah temannya menghilang dari pandangan pengawal itu memanggil salah satu temannya untuk berhenti mencari dan mendekati Tuang Zhang. Dia menepuk salah satu punggung pengawal, dan saat pengawal itu menoleh dia hampir memukulnya, terkejut dengan muka mayat yang diberikan padanya. "Bagaimana? Apa yang terjadi dengan Tuan Zhang?" "Permaisuri... Dia, d-dia saya tidak tahu. Permaisuri tidak mengatakan apapun." Dia mengalihkan pendanganya kearah ranjang dimana Zhang Zhenan mengigau tak jelas, tubuhnya mengigil dan keringat seukuran biji jagung berjatuhan. "Tuan Zhang, apa tuan bisa mendengarku?" Zhang Zhenan kesulitan merangkai kata-kata, yang bisa dia lakukan hanya mencakar lengan para pengawal untuk melampiaskan rasa sakitnya. "Kenapa kalian hanya diam saja? Bawa tabib kemari!!" "T-tapi Ge, saya sudah menugaskan Zilong untuk pergi mencari tabib." "Lalu kenapa dia belum kembali?" Semua pengawal diam, bingung mencari alasan. Sesungguhnya mereka ketakutan dengan kondisi Tuan Zhang saat ini, ditambah lagi tetua mereka yang berteriak seperti itu membuat keadaan semakin runyam. "Kenapa kalian hanya diam saja? Yuwen!! Cepat bawa tabib kemari." Seorang pemuda yang dipanggil Yuwen itu segera berlari keluar ruangan. Sedangkan tetua kembali mengalihkan perhatiannya pada Zhang Zhenan yang semakin pucat pasi. "Tuanku, apa yang harus hamba lakukan untuk menghilangkan rasa sakit ini?" Tetua mendekat dan berlutut disamping ranjang. Zhang Zhenan mengacuhkan pengawal itu dan sibuk mengerang, dia merasa nyeri berputar-putar di perutnya, tubuhnya mengejang tanpa sadar dan nafasnya terputus-putus setiap nyeri menyerang. Tak ayal pengawal yang melihatnya semakin panik, mereka tetap memasang wajah bijaksana walaupun raut wajah mereka seperti lipatan baju. "Kenapa Yuwen lama sekal-" "Tabib sudah datang..." Seorang pelayan berseru sembari berlari menyerbu Zhang Zhenan. Ketiga pelayan lainnya dibelakang berlari dengan seorang wanita muda lalu menariknya kehadapan Zhang Zhenan, tabib itu terlihat kebingungan namun suara penuh derita yang keluar dari bibir Zhenan menarik konsentrasinya, dengan cekatan dia membenarkan posisi tubuh Zhenan, meluruskan kakinya lalu menjejalkan bantal dipunggung dan pinggangnya, setiap tabib itu menyentuh tubuhnya selalu diiringi dengan umpatan Zhang Zhenan tapi tabib itu tetap tidak menghentikan tangannya. Keempat pengawal merasa kehadiran mereka tak dibutuhkan lagi didalam kamar permaisuri, segera saja mereka keluar kamar namun mereka tak keluar begitu saja, mereka hanya keluar dari pembatas kayu. Hanya tabib wanita dan keempat pelayan wanita yang mengelilingi ranjang, wajah mereka tak jauh beda dengan pengawal tadi. Semua memucat dan ketakutan, seketika bayangan kesebelas pengawal yang dicambuk hingga kulitnya mengelupas tadi sore menghantui pikiran mereka, apakah mereka akan bernasib sama seperti para pengawal itu. "Tuan permaisuri, bernapaslah perlahan.... lemas kan tubuhmu agar otot perutmu tidak mengejang, kasihan jabang bayinya." Kata-kata terakhir yang keluar dari mulut tabib itu secara ajaib menghilangkan rasa sakit diperut Zhenan, perkataan tabib itu lebih mengejutkan dari pada rasa sakit terbanting tadi. Dia melihat tangan tabib itu yang menelusuri perutnya diatas lapisan hanfu yang dia kenakan, dia mengerutkan dahinya lega saat merasa terberkati, Zhenan tanpa sadar mendengkur seperti kucing saat tangan tabib itu mengelus perut bundarnya, sangat nyaman hingga dia ingin tertidur. Tangan tabib begitu terampil memijat perutnya, otot disekitar perutnya melonggar dan sakit itu menghilang. Dia tak lagi merasakan nyeri, wajahnya pun tak sepucat tadi. Jika tadi dia kesulitan bahkan untuk berteriak kini tubuhnya sudah lemas, sekarang mulutnya bisa mengeluarkan suara walau pelan. "A-apa yang sebenarnya terjadi padaku?" Tabib itu tersenyum hangat lalu menjauhkan tangannya dari perut Zhang Zhenan, kini Zhenan bisa melihat perutnya tanpa ada halangan dan saat itulah Zhenan merasa adanya sedikit keanehan dengan bentuk perutnya, astaga dia baru sadar jika perutnya seukuran bola basket. Keanehan apalagi yang dialaminya, dia menduga kalau perut besar inilah yang membuat dia kesakitan tadi. "Kenapa perutku sebe-" Brakk Mendadak suara bantingan pintu memecah gendang telinganya, bukan hanya dia yang terkejut tapi semua orang didalam itu juga sama terkejutnya. Hanya satu orang yang berani melakukan hal tak senonoh kepada permaisuri, Lord Gong. Keempat pelayan dan tabib buru-buru menjauh dari ranjang, tubuh mereka mendadak kaku dan terlihat menyakitkan untuk dilihat. Ketukan langkah kaki tak beraturan terdengar masuk kedalam kamar dan begitu pengawal membuka tirai mata mereka terkunci pada sosok balita yang berlari terseok-seok, terlihat sekali jika balita itu baru belajar berjalan. Seakan sabuk mereka dilonggarkan, semua menghela nafas lega dan urat-urat di dahi mereka mengendor, namun lain halnya dengan Zhang Zhenan. Wanita itu melebarkan matanya kala anak kecil seperti buntalan montu putih berlari menyerbu keatas ranjangnya, namun kaki anak kecil itu terlalu pendek ditambah lagi tubuhnya seperti ikan buntal membuat balita itu kesusahan Balita itu terlihat sangat senang ketika menemukan orang yang sudah berhari-hari ini dia rindukan ada dihadapannya, tangan dengan jari-jari seperti pisang kecil namun berisi mengapai-gapai pinggiran ranjang seolah meminta Zhenan untuk menaikkannya, ingin segera memepertemukan kulitnya dengan kulia halus dan hangat milik ibunya. Tetapi Zhenan hanyalah manusia tak punya hati dengan kelebihan bodoh hakiki, dia hanya diam sembari menelengkan kepalanya. Kemudian matanya beralih ke para pelayan-pelayan yang berbaris dipinggir ranjang, menagih penjelasan namun mereka malah mengacuhkannya dan lebih memusatkan perhatian mereka pada anak kecil itu. "Niāng... A Niāng..." (¹ Niáng: Ibu) Zhenan menebak anak balita itu masih berusia sekitar 2 tahun, dilihat dari cara berlari dan berbicara anak itu yang masih belum lancar. Tapi... Tunggu sebentar, siapa yang dipanggil 'Niāng'?, Zhenan mengamati cara anak itu berbicara, jelas-jelas balita itu menatapnya. Anak itu hanya fokus padanya sejak datang kemari. Tapi kenapa, "Siapa yang kau panggil Niāng?" Todong Zhenan pada balita itu. Senyum dan tawa riang anak itu mendadak luntur, mengedipkan mata bulatnya seperti anak anjing kemudian menunjuk Zhang Zhenan. "Niāng..." Zhenan hampir terjengkang. Tak ayal tuduhan yang diberikan anak itu membuatnya semakin kebingungan, dia menyibak selimutnya dan mengubah posisinya menghadap wajah anak itu dari atas ranjang. Baiklah, dia benar-benar melupakan rasa sakit yang dia katakan hampir meleburkan tubuhnya karena ketertarikannya pada anak ini. "Kamu jangan menuduhku ya, anak kecil. Aku ini wanita bujangan, bagian mana dari diriku yang membuatmu memanggilku ibu? Apa aku sudah terlihat seperti ibu-ibu?" Anak itu mendadak diam, mata bulatnya melebar karena otaknya disuruh bekerja keras untuk memahami omongan ibunya. Tapi dia tetap tak paham dengan celotehan ibunya, kata-kata yang digunakan ibunya terlalu asing di telinganya, terlalu banyak kosakata yang tidak dia mengerti. Yang balita itu tahu hanya satu, dia punya ibu namanya Zhang Zhenan yang sering dibicarakan para pelayan, mereka sering menggodanya jika ibu tidak akan mencintainya lagi karena sebentar lagi dia akan punya adik lucu yang menggantikannya. Kata mereka ibunya sangat cantik dan ayahnya sangat tampan tapi tidak ada satupun dari mereka yang mirip dengannya. Bibi-bibi itu sangat jahat, selalu membuatnya menangis tapi dia juga begitu murahan, dia akan melupakan kekesalannya hanya karena bibi-bibi itu memberikannya kue beras. Lalu dia juga tahu kalau nama ayahnya adalah Lord Gong, semua orang disana selalu memanggil ayahnya begitu, padahal nama itu terkesan menyeramkan untuknya. Dia lebih suka jika orang-orang memanggil ayahnya A-Jun atau Junjun seperti cara memanggil ibunya, itu terdengar lucu dan mudah disebutkan. "Anak kecil!! Kenapa kamu melamun? Aku bertanya padamu, kenapa memanggilku ibumu?" Balita itu terkejut mendengar ibunya menyalak seperti anjing peliharaan Jendral Er-Ling, matanya melihat ibunya kebingungan mencari kata-kata yang sesuai agar ibunya tak memarahinya lagi. Cara berpikir anak kecil begitu simpel, sama seperti balita itu. Dia menganggap ibunya saat ini memarahinya karena dia melakukan kesalahan, tapi dia sangat jarang sekali dimarahi. Terakhir ibunya marah sudah berbulan-bulan yang lalu saat dia tidak sengaja menjatuhkan bubuk dingin milik ibunya, dan itupun dia buru-buru menangis sehingga ayahnya yang menenangkan ibunya. Dia tidak pernah menenangkan ibunya saat marah, tapi dia sering mendengar ayahnya memuji ibunya sampai wajah ibunya semerah lampion diacara pergantian tahun. "Xiǎozhé hěn wánměi...." ( ² Xiaozhe sempurna) Sontak saja semua orang disana terperangah sekaligus ingin tertawa, sejak kapan pangeran kecil belajar menggoda wanita.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN