16. Lawan!

1453 Kata
Aku menyantap sepiring bakso di kantin. Sendirian. Seandainya aku tidak lupa membawa bekal makan siangku, maka aku tak perlu melakukan adegan menyedihkan ini. Makan sendirian di tengah suasana ramai ruangan kantin. Semua orang tampak duduk secara berkelompok, saling berbincang dengan wajah senang, kecuali aku. Hanya aku yang duduk sendiran dengan semangkuk bakso. Namun mataku tiba-tiba melihat seorang laki-laki yang juga duduk sendirian di pojok ruangan. Dia Dennis! Aku bisa melihat Dennis terlihat nyaman saja makan sendirian, tak sepertiku. Dia dengan wajah acuh khasnya tampak asik menyantap sepiring bakmi ayam. Walaupun tau Dennis sedang sendirian, tapi aku enggan menghampiri dan makan bersamanya. Aku tak ingin menjadi pusat perhatian dan mengembangkan rumor. Aku lebih nyaman dengan situasi sekarang. Lagipula aku tak ingin melibatkan Dennis dalam kesulitan. Aku kembali fokus menyantap bakso sambil mendengarkan musik melalui earphone. Aku memilih pura-pura tak melihat dan mengetahui keberadaan Dennis. Tatapan mataku hanya mengarah ke mangkuk baksoku. Namun tiba-tiba ada orang yang duduk di depanku. Ketika aku melihat sosok itu... ternyata Marco yang saat ini ada di hadapanku. Laki-laki itu menatapku dengan tajam dan menyunggingkan senyum sinisnya. Aku melihat Tio dan Niko juga tiba-tiba muncul, lalu duduk di sebelah Marco. Mereka sangat aneh. Tak biasanya mereka menghampiriku, bahkan duduk di hadapanku. Firasatku mengatakan mereka tak memiliki niat yang baik. Aku langsung melepaskan earphone-ku, lalu menatap heran ke arah Marco. "Kenapa?" tanyaku. Nada bicaraku tak menunjukan keramahan. Karena cara Marco menatapku juga tak menunjukan tanda keramahan. "Galak amat sih, babon! Nanti pada takut kalo galak-galak." Marco tertawa sinis. Tio ikut mengangguk setuju. "Bener tuh! Nanti lo gak laku kalo galak-galak." "Gimana mau laku. Itu pipinya aja udah mirip bakso jumbo yang dia makan. Hahahaha." Niko tertawa keras. Marco dan Tio pun ikut tertawa, bahkan sampai saling memukul. Tampaknya lelucon itu tampak sangat lucu bagi mereka. "Gue udah kelar makan. Gue cabut duluan ya." Aku terlalu malas untuk meladeni obrolan mereka yang sama sekali tak lucu buatku. Lebih baik aku pergi dan kabur dari situasi menyebalkan ini. Namun ketika aku hendak berdiri, tiba-tiba Marco menarik tanganku dengan kasar. "Lo mau kemana? Gitu aja baper. Payah lo! Hahahaha," ucap Marco. Aku berusaha melepaskan genggaman tangan Marco. Namun laki-laki itu justru semakin menggenggamnya dengan sangat erat. Dia tak mau melepaskan meski aku berusaha dengan keras. "Lepasin gue, Marco!" "Lemak tangan lo kan banyak. Harusnya lo gak sakit dong. Gak usah sok lemah deh." Aku merasa Marco sudah sangat keterlaluan. "Lo kenapa sih? Gue punya salah apa sih sama lo?!" Aku berusaha membendung air mataku agar tidak jatuh. Aku tak ingin menangis di hadapan Marco dan teman-temannya. Namun sedari tadi mereka terus berusaha menyakitiku dengan perkataan.  "Lo masih tanya gue kenapa?! Ini semua karna lo gak mau bantuin gue buat deket sama Renata! Selamanya lo bakalan jadi musuh gue!" bisik Marco dengan tatapan tajam. Marco semakin keras mencengkram tanganku. Aku merintih kesakitan. Bahkan pergelangan tanganku mulai memerah. Namun tiba-tiba ada sebuah tangan seorang laki-laki yang menarik tangan Marco. Tarikannya sangat kuat hingga bisa membuat Marco melepaskan tanganku. Aku melihat sosok pria itu sambil memegang pergelangan tanganku yang masih memerah. Ternyata Dennis yang telah membantuku. Aku melirik ke arah Marco. Laki-laki itu menatap Dennis dengan penuh amarah.  "Lo ngapain sih?!" teriak Marco penuh emosi. Seketika ruangan kantin semakin menjadi hening. Seluruh mata menatap ke arah kami. Sorotan perhatian yang semula aku hindari, kini sudah tak terhindarkan lagi.  "Banci lo! Lawannya sama cewek. Cih!" Dennis mencibir Marco. Tatapan Denis begitu memandang rendah Marco. Tatapan yang membuat emosi Marco semakin memuncak. "Urusan lo apa sih?! Gak usah ikut camur deh!" balas Marco dengan nada sangat tinggi. "Gak bisa. Sikap banci lo ini bikin mata gue sakit! Lo yang harusnya pergi dari sini." Dennis mendongakan kepalanya dan menatap tajam ke arah Marco. Marco ikut terpancing. Marco melangkah maju dan berjalan mendeati Dennis. "Ah... jangan bilang kalo kalian pacaran? Makanya lo belain dia? Oh... selera lo ternyata cewek babon kayak dia?! Cih!" Aku melihat sorot mata Dennis. Mata laki-laki itu begitu dipenuhi amarah. Raut wajahnya membuatku takut. Aku cemas Dennis tidak bisa mengendalikan emosinya dan membalas dengan kekerasan, hanya untuk membelaku. Aku berusaha menahan laju langkahnya agar tak semakin mendekati Marco dengan menarik pelan lengannya. "Den... udah," bisikku. Dennis menatapku dengan raut wajah yang mengisyaratkan bila dia tak setuju dengan tindakanku yang menahannya. "Ini sekolah. Jangan berantem di sini, apalagi mukul dia. Tahan ya. Aku mohon kita pergi dari sini." Dennis tampaknya mulai luluh. Emosinya sedikit redam. Aku bisa melihat itu ketika mata kami saling bertatapan."Gak usah peduliin dia. Ayo..." Aku menarik lengan Dennis agar dia mengikuti langkah kakiku. Aku mengajaknya untuk pergi menjauh dari Marco. Kami terus berjalan pergi meninggalkan kantin meski Marco dan teman-temannya terus berteriak dan mencemooh. Berusaha mengabaikan suara bising bisikan teman-teman sekolah dan tatapan mereka. Aku membawa Dennis pergi ke taman belakang sekolah. Ketika langkah kaki kami telah sampai tangan belakang. Aku melepaskan tanganku dari lengannya. Aku hanya tertunduk, lalu pada akhirnya air mataku mulai berjatuhan. Aku tak bisa lagi menahan tangisan yang sedari tadi berusaha untuk dibendung. Semuanya tumpah dalam air mata. Aku benci fakta bahwa aku tidak bisa tegar di hadapan Dennis. "Hei, lo kenapa nangis?" tanya Dennis, lembut. Aku masih terisak selama beberapa saat. Kemudian menghapus air mataku, lalu membalas tatapan Dennis. "Maaf." "Kenapa lo minta maaf? Lo gak ngelakuin kesalahan apapun." Aku menghapus air mataku yang kembali jatuh. "Karena lo pasti akan kena dampaknya gara-gara kejadian tadi. Mungkin akan banyak anak-anak yang bakalan ngomongin lo karna ini. Maafin gue." "Ngapain sih lo mikirin itu. Gue gak papa kok. Mereka gak akan bisa bikin gue down. Tenang aja. Lo mau gue kasih pelajaran buat si Marco itu? Gue bisa bikin dia kapok. Gak akan gangguin lo lagi." Aku langsung menggelengkan kepala. "Jangan. Udah cukup. Lo gak perlu terlibat lagi dalam masalah gue, Den. Harusnya tadi lo juga gak ikut campur. Seharusnya lo gak usah belain gue tadi." Dennis menatap heran ke arahku. "Lho, kenapa? Gue gak mungkin biarin lo dalam situasi tadi. Gila aja kalo gue cuma nontonin Marco ngegituin lo. Sudah sewajarnya gue belain lo, Bon." Aku menghela nafas. "Gue gak mau lo kena dampaknya, Den." "Dampak apaan sih yang lo maksud itu?" Dennis menatapku penuh kebingungan. "Lo bakal digosipin sama gue. Lo bakal terus diomongin. Dijadiin bahan ledekan gara-gara gue. Lo akan terus dicemooh. Makanya lo jangan deket-deket gue lagi di sekolah," ucapku dengan kepala  tertunduk. "Emangnya kalo gue digosipin sama lo kenapa? Gak ada yang salah sama lo. Yang salah itu otak sama mulut mereka yang gak pernah disekolahin. Mereka yang gak punya etika dan moral, terus kenapa lo yang ngerasa bersalah?" "Gue gak suka lo diomongin orang gara-gara gue, Den. Gue gak suka! Gue cuma cewek gendut dan jelek. Gak ada bagus-bagusnya lo diomongin karena deket-deket cewek kayak gue." Air mataku kembali jatuh. Rasanya menyakitkan mengucapkan kalimat itu langsung dari mulutku sendiri. Namun itu sebuah kebenaran. Aku merasa tidak layak bersama Dennis, meskipun itu hanya sebagai pasangan rumor. Aku tak ingin membuatnya menjadi bahan ledekan hanya karna disandingkan denganku. Aku tak mau membawanya jatuh bersamaku. "Sekali lagi gue bilang ya Bonita..." Dennis berjalan mendekat, menangkupkan tangannya di wajahku, dan membuatku membalas tatapan matanya.  "Gak ada yang salah sama lo. Walau lo gak kurus, itu gak lantas bikin nilai lo jadi hina dan jelek. Gak papa kalo lo emang harus digosipin. Gue gak masalah." "Cuma gue gak mau, Den." "Kalo gitu... lo harus bisa bela diri dong. Harus bisa ngelawan semua orang yang gak memperlakukan lo dengan baik. Lo harus buat mereka gak akan ngomong dan bertingkah seenaknya." Aku hanya bisa diam. Itu bukanlah perkara yang mudah. Sering kali aku tak punya cukup keberanian untuk setidaknya mengungkapkan perasaan tidak nyamanku, apalagi melawan mereka. Aku lebih banyak memilih untuk menghindar. Terbiasa bersembunyi. Berharap mereka segera menjauh atau tidak memperhatikanku. "Kalo lo masih belum bisa... lo gak boleh nolak bantuan gue. Gue akan tetep belain lo. Gue gak bisa cuma jadi penonton doang!" Aku masih diam membisu. Masih tak tau harus berkata apa. Namun Dennis tampaknya tak menunggu jawabanku. Dia langsung menarikku untuk pergi meninggalkan taman ini. "Udah. Kita balik ke kelas. Kepala lo harus tegak pas masuk ke kelas. Kan nangisnya tadi udah sama gue. Jadi sekarang lo harusnya udah mampu buat setidaknya... pura-pura kuat di depan mereka. Lo cukup nunjukin kelemahan lo di depan gue aja." Aku tersenyum dan menatap haru ke arah Dennis. Aku merasa beruntung memilikinya di sisiku. Tak bisa dipungkiri, dia memang membuatku kuat menghadapi ini. Sesungguhnya... aku memang membutuhkannya. CONTINUED **************** Hai guys! ^^ Evolusi Babon udah upated lagi!  Hayyooo siapa yang kesemsem dengan sosok Dennis? >, *Padahal aku yang nulis yak wkwkwk Sampai jumpa di bab selanjutnya! ^^ Salam, Penulis Amatir yang lagi mikir besok mau masak apa buat bekal :D
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN