Dewi mulai gila

1222 Kata
"Pak Boss, saya pulang dulu." Derrian pamit untuk pulang terlebih dahulu. Waktu sudah menunjukkan pukul 16.15 WIB. Lima belas menit waktu pulang perusahaan telah berlalu. "Ya, nanti kirim saja berkas yang tadi lewat Email." Arkan berkata sambil lalu. "Baik, Pak. Ada yang lain?" Arkan menggeleng. Begitu Derrian keluar dari ruangan Arkan, Arkan segera beranjak. Dia meninggalkan gadisnya di kamar pribadinya sejak tadi. Begitu pintu itu terbuka, sosok perempuan yang terlihat baru bangun tidur itu terduduk di pinggir ranjang sembari mengucek matanya. "Sudah bangun, Sayang?" Arkan berjalan mendekat dengan tersenyum. Tangannya terulur membelai rambut gadisnya. Najma yang belum terlalu pulih kesadarannya hanya menurut. Dia masih bingung kenapa dia bisa ada di kamar bossnya. Seingatnya, tadi dia tidur di meja kerjanya karena tidak ada pekerjaan. "Pak ..," Suara Najma yang malas dan serak malah mengundang maksud lain Arkan. Kini dia ikut duduk di samping Najma dengan tetap membelai kepala dan wajah Najma lembut. Dan memperhatikan wajah ayu di sampingnya dalam. "Pak..," "Apa, Sayang?" Suara Arkan bahkan sudah berubah serak. Perlahan Arkan memindahkan Najma ke atas pangkuannya dan mulai menggerakkan tangannya membuka kancing-kancing baju milik Najma. "Masih ngantuk?" tanya Arkan yang tidak menghentikan kerja tangannya. Melucuti helai demi helai kain yang menutupi gadisnya. Najma reflek mengangguk. "Mau bobok lagi?" Kali ini Najma menggeleng. Perlahan dia merasakan hembusan angin yang dihasilkan AC ruangan ini. "Kok dingin." Najma memperhatikan dirinya dan terbelalak. "Pak!!" "Sttt." "Ta-tapi ...." Najma berubah panik. "Nggak apa-apa, aku kengen." Arkan kini meletakkan tubuh Najma di atas ranjang dan dia berdiri untuk melucuti pakaiannya sendiri dengan tergesa-gesa. Najma menahan nafas, demi melihat pemandangan itu. Seorang lelaki tampan yang sangat menggoda sedang melucuti dirinya didepan Najma. "Sayang." Arkan sudah mengungkung tubuh gadis itu dan tersenyum. "Aku kepengen kamu. Ya ...." Dan Najma tahu itu bukan sebuah tanya karena Arkan tetap menyerangnya meski dia tidak menjawabnya. *** Arkan terus tersenyum-senyum memandangi tubuh dalam pelukkannya. Efek mendapatkan jatah setelah sekian tahun berpuasa ternyata sangat dahsyat. Pelepasannya kali ini benar-benar membuatnya puas, meski Najma akhirnya tertidur lagi. Dengan perlahan, Arkan menggeser tubuh gadis-wanita-nya. Lamat-lamat dia mendengar suara adzan Maghrib berkumandang. Cahaya matahari juga berganti menampilkan mega di barat sana. Perlahan dia membelai pipi wanitanya dengan lembut namun mampu mengusik tidur. "Hmm." "Bangun dulu, Sayang. Mandi. Nanti habis isya' janji boleh tidur lagi," janji Arkan dengan berbisik di telinga Najma. Kadang dengan usil dia menggigiti daun telinga Najma. Merasa terganggu, Najma membuka mata dan menatap bossnya dengan garang. Kedua tangannya mendorong d**a bossnya menjauh. "Ini karena, Bapak. Gimana kalau saya hamil, Pak?" "Ya bagus dong. Berarti aku tokcer." Terkekeh, Arkan malah menanggapinya dengan bercanda. "Saya serius!! Gimana kalau ... gimana kalau ...." Arkan yang semula tersenyum geli, berubah panik ketika melihat wajah Najma yang menahan tangis. Segera dia memeluk Najma agar tidak pecah tangisnya. "Nggak akan gimana-gimana, Sayang. Aku akan melindungi kamu dan anak-anak kita." "Bapak seenaknya aja kalau ngomong. Nanti saya bakal dituduh pelakor, kegatelan, dan semua yang jelek-jelek. Bapak sih enak jadi laki-laki. Perjaka atau bukan nggak bakal ada bedanya." "Ya beda dong," protes Arkan tak terima. Dengan menyedot ingusnya dan menghapus air matanya yang entah sejak kapan menetes mengenaskan, Najma mencebik. Merutuki dirinya sendiri yang terbawa perasaan, menurut saja saat bossnya mengambil hartanya. Bahkan seingat dia tadi dia juga menikmati. Kan bingung kalau mau marah. Tidak bisa juga Najma menyebutnya sebagai pemerkosaan karena kenyataannya Najma menikmati kebersamaan dengan bossnya. "Sayang ...." Wajah khawatir Arkan masih tertera jelas di depan wajahnya karena Najma sibuk melamun. Menggigit bibir, Najma kemudian mendesah pasrah. Dosanya mereka tanggung berdua kan? Bukan hanya Najma. "Dosanya nanti dibagi dua ya, Pak. Sama rata. Saya nggak mau masuk neraka sendiri." Arkan yang akan menjawab pun mengatupkan bibirnya lagi kehabisan kata. Ya ampun ... sia-sia dia khawatir. "Nggak ada dosa!" jawab Arkan sebal. "Sudah ayo mandi. Mau mandi sendiri apa dimandiin?" Tawar Arkan menggoda sambil memainkan alisnya naik turun. Kesal, Najma mencubit perut lelaki itu dan bergerak turun saat lelaki itu meringis menahan sakit. "Kenapa, Sayang? Sakit?" Tanpa menghiraukan pertanyaan Arkan, Najma menuruni ranjang dan tertatih sambil terus meringis tak nyaman. Terasa masih ada yang mengganjal di miliknya. "Nggak suka." Arkan yang kebingungan tak menjawab apapun mendengar gumaman Najma. "Kok rasanya masih ngeganjel," gumam Najma yang terus berjalan menuju kamar mandi. Saat Arkan hendak menjawab, pintu kamar mandi sudah tertutup rapat. Alamat pintu itu dikunci. Ditengah kebingungannya, Arkan merasakan ada yang bergetar di nakas. Ternyata handphone Najma yang bergetar. Dia meraih benda pipih itu dan melihat siapa orang yang menghubungi. Opha-Opha korea is calling .... Mengernyit, Arkan membaca nama si penelpon. Siapa itu Opha-Opha korea? akhirnya karena penasaran dia mengangkat panggilan itu. "Assalamualaikum, Najma. Kamu sudah di jalan? Kakek pesan sate kambing dua puluh tusuk, ya. Jangan sampai lupa. Kakek nggak mau makan kalau nggak sama sate." Ternyata lelaki tua itu. Batin Arkan. "Ekhm!! Wa'alaikumusalam, Kek." "Arkan?!" "Iya, kek. Ini Arkan." Jeda sebentar sebelum kakek kembali berbicara. "Mana anak nakal itu?" "Em ... Najma lagi mandi, kek," jawab Arkan takut-takut. "Apa yang kalian lakukan?!!" Telinga Arkan terasa berdenging mendengar teriakan kakek. Sambil menggosok telinganya, Arkan menjawab. "Buka puasa, Kek." "Tidak bisa dipercaya! Sudah dibilang, tahan!" "Susah, Kek. Saya sudah puasa hampir lima belas tahun." "Huh! Dasar. Pokoknya Najma antar pulang. Sate kambing kakek harus sampai rumah. Tiga puluh tusuk." "Kek, tanggung, Kek. Gimana kalau malam ini Najma tidur di sini, kek. Nanti Arkan orderin gulai kambing sama sate kambing dari restoran yang kemarin?" "Tongsengnya jangan ketinggalan." Ya ampun ... maruknya. Nggak takut darah tinggi apa? Batin Arkan heran. "Beres, Kek." "Ya sudah, Assalamualaikum." "Wa'alaikumusalam." "Siapa, Pak?" "Astaga!!" Arkan terlonjak dari duduknya, membuat lilitan selimut yang melindunginya terjatuh. "Kamu buat aku kaget." "Pak itu tolong dikondisikan, Pak." "Kenapa? Lihatin aja." "Pak!!" "Iya ... iya, Sayang." Arkan tersenyum geli melihat tingkah Najma. Senyum yang baru terbit setelah menemukan Najma kembali. Senyum tulus dan bebas yang belum pernah orang lihat sejak tragedi itu. Semoga saja senyum itu bertahan lama. Ya ... semoga saja. *** Di belahan bumi lain, Dewi sedang menyusun rencana untuk meluluskan keinginannya. Hidup makmur bergelimang harta. Suasana rumah sepi. Wulan sudah tidur sejak satu jam yang lalu, dan dia harus memastikan rencananya tidak gagal. Dia bosan hidup susah. Sejak Toni sakit, pendapatan mereka macet. Selama ini mereka mengandalkan sisa tabungan, menjual mobil serta motor dan juga berhutang sana sini. Bagaimana jika keadaan ini terus berlanjut? Bukan tidak mungkin mereka akan kehilangan rumah ini juga. Rumah yang dia tempati saat ini meskipun tidak termasuk rumah mewah, tapi cukup bagus dan luas. Sayang kalau harus habis untuk berobat Toni. Pikir Dewi. Karena itu Dewi sudah berencana akan memudahkan jalan Toni ke akhirat. Dewi tersenyum culas melihat Toni yang nampak terlelap di ranjangnya. Perlahan dia mendekat dan meraih bantal di sofa. Dengan tekat bulat dia menutup wajah Toni dengan bantal di tangannya kemudian menekan kuat. Toni yang tersentak kaget dan kesulitan bernafas pun meronta. Kedua kaki dan tangan Toni bergerak-gerak meski tidak berarti namun masih bisa dipastikan Toni berjuang untuk hidupnya. Tetapi karena kelumpuhan tumbuhnya, sekuat apapun dia bergerak, Toni tetaplah kalah. Akhirnya setelah perjuangannya yang panjang, tumbuhnya melemah. Kedua tangannya terkulai lemas. Merasa sudah selesai, Dewi mengangkat bantal sofa itu dari wajah Toni. Tak ada nafas lagi yang nampak. Bahkan Toni tak lagi menggerakkan kelopak matanya. Sepasang matanya terbuka, nanar dan nampak pasrah pada sang maut. "Selamat tinggal Toni. Kamu bakal jadi tiketku buat kaya raya. I love you." Bisik Dewi sebelum mencium pipi jasad suaminya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN