"Salam untuk Yang Mulia Pangeran, sang bintang kerajaan Axias," ucap Charlotte memberi salam saat berpapasan dengan pangeran William.
William berkunjung ke kediaman Rowney saat mendengar kabar bahwa Charlotte sakit. Padahal William merasa dirinya masih belum puas membuat Charlotte tersiksa. Dia juga ingin memastikan bahwa Charlotte tak mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Dia tahu bahwa Charlotte menghindarinya. Bagaimana pun juga, William tak ingin sang Raja yang merupakan ayahanda nya mendengar kabar bahwa dirinya berusaha mencelakai Charlotte.
William mengangguk. "Bagaimana kabarmu, Putri Mahkota," sindir William dengan menekankan kata Putri Mahkota pada ucapannya.
"Kabar baik, Yang Mulia," jawab Charlotte sesopan mungkin.
Jujur saja, Charlotte saat ini merasa tak nyaman dengan kehadiran Pangeran William. Charlotte merasa ada aura hitam di sekeliling pria itu. Entah dari pangeran William sendiri atau dari salah satu pengawalnya.
Beruntung Lucas sebelumnya telah memberi tahu sang Pangeran bahwa Charlotte, adiknya, sedang tak terlalu sehat. Wajah pucat Charlotte yang tampak seperti orang sakit, membuat Pangeran William sedikit kasihan.
"Kalau begitu, aku pergi dulu. Beristirahatlah. Jangan memaksakan diri untuk terlihat baik-baik saja," ucap Pangeran William.
"Terima kasih, Yang Mulia," jawab Charlotte.
William kemudian beranjak pergi. Pria itu kemudian kembali menuju kereta kudanya dan bertolak menuju kerajaan.
"Dasar anak tak berguna," hardik Duke Rowney sembari menampar Charlotte.
Charlotte yang tidak dalam keadaan siap tak bisa mengelak saat mendapat pukulan di pipinya. Gadis itu memegang pipi kirinya yang terasa panas akibat tamparan pamannya itu. Tatapan tajam ia layangkan pada pria paruh baya yang tak pernah ramah padanya sejak ia menginjakkan kakinya di rumah besar itu.
Nyali Duke Rowney mendadak menciut. Mendapat tatapan tajam dari seorang Charlotte yang sebelumnya tak pernah melawan, membuat hatinya takut. Pria itu merasa Charlotte tak seperti biasanya. Dia mengira Charlotte memiliki ilmu hitam. Aura Charlotte tak biasa.
Charlotte menyeringai saat melihat pamannya itu ketakutan. Gadis itu berbalik dan berjalan kembali menuju kamarnya.
***
"Mau ke mana kamu Aiden?" Anne tiba-tiba sudah ada di belakang Aiden.
Gadis itu tengah berusaha menghentikan Aiden yang hendak pergi meninggalkan menara. Tanpa bertanya pun Anne sebenarnya sudah tahu ke mana tujuan pria muda yang berusia ratusan tahun itu.
"Bukan urusanmu, Ann. Urusan kita sudah selesai. Lebih baik kamu mencari pria lain sebagai pengganti ku." Aiden berkata tanpa membalikkan badannya.
"Kamu tak bisa semudah itu memutus pertunangan kita, Aiden. Aku tak terima kau memutuskan hubungan ini secara sepihak." Anne sedikit berteriak.
"Kamu masih muda, Ann. Dan akan lebih baik untukmu memiliki pasangan yang pantas denganmu." Aiden menekankan kata pantas pada wanita itu.
Aiden tahu, hati gadis itu kini telah tertutupi oleh kabut amarah. Dia tak ingin menyakiti Anne lebih jauh. Tak hanya Anne yang akan bertindak nekat. Aiden justru takut dia kehilangan kesabaran dan menyakiti gadis yang kini marah padanya.
Demi menghindari perdebatan tak berujung, Aiden bergegas pergi dan menghilang secepat hembusan angin. Pria itu ingin melihat keadaan Arabella yang kini dikenal sebagai Charlotte.
***
Tak butuh lama, Aiden kini sudah tiba di kamar Charlotte. Pria itu menggunakan sihirnya agar Charlotte tak bisa melihat dirinya. Ia tak ingin calon istrinya terkejut dengan keberadaannya meski Aiden sebenarnya sangat ingin mendekap Ara. Aiden sadar, jika ia menunjukkan dirinya sekarang dan memaksakan agar Charlotte menjadi istrinya, akan membuat Charlotte tak menyukainya.
Aiden mengamati gerak-gerik Ara. Gadis itu tampak mondar-mandir dengan tangan yang bergerak abstrak di hadapannya. Gadis itu tampak tengah memikirkan sebuah rencana.
Aiden yang melihat setiap gerakan Ara, merasa gadis itu sangat lucu. Layaknya pria yang sedang dimabuk cinta, hati seorang Aiden sudah penuh dengan taman bunga.
Penantiannya akan kedatangan Ara adalah suatu hal yang tak sia-sia. Pria itu bersyukur karena tak menyerah dalam menanti kekasih hati.
Terdengar ketukan pintu dari luar kamar Ara. Lucas masuk membawakan nampan yang berisi makanan.
"Kenapa Kakak lagi yang membawakan makananku," ucap Charlotte.
"Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja dan tak bertindak aneh." Lucas tersenyum.
Aiden yang melihat keakraban mereka, terbakar cemburu. Dia merasa tak seharusnya Lucas terlalu baik pada Ara. Meski Charlotte adalah adiknya, tapi hubungan mereka sebatas sepupu. Yang Aiden tahu, jika Lucas benar-benar menaruh hati pada Charlotte, hukum kerajaan tak bisa melarang.
"Aku tak ingin putri mahkota kerajaan ini sakit. Saya ingin Anda sehat dan ceria seperti sebelumnya, Yang Mulia."
"Aku merasa tak pantas menyandang gelar ini, Kak." Charlotte sedih.
Aiden mendadak membeku. "Apa? Putri mahkota?" batin Aiden.
"Tidak. Ini tak boleh dibiarkan. Dia adalah milikku. Dia tak boleh menjadi milik orang lain."
Aiden berpikir. Sesegera mungkin ia memikirkan cara agar Charlotte dan pangeran William tak bisa bersatu.
Sembari mendengarkan percakapan adik kakak itu, Aiden terus berpikir. Dia tak ingin memulai untuk memperebutkan Charlotte.
"Tunggu dulu. Bukankah aku sebelumnya mengenal William? Aku perlu memastikan kalau William yang menjadi pangeran di negeri ini adalah William yang aku kenal."
Aiden meninggalkan kamar Charlotte tanpa disadari oleh siapapun. Aiden bergegas menuju kerajaan Axias.
Dia pikir akan ada sebuah cara.
Bingo!
Pangeran William kerajaan itu adalah William yang sangat ia kenal. Ia sangat tahu bagaimana perangai dari pangeran bermata biru itu. Hanya saja, Aiden tak boleh terlalu mencolok dalam mengupayakan kegagalan hubungan antara William dan Charlotte.
Aiden dengan ilmu sihirnya mengganti pakaiannya dengan pakaian yang lebih sopan. Dia langsung menghadap William. William yang sudah merasakan kehadiran Aiden, tak terlalu terkejut. William justru menyambut Aiden yang merupakan orang penting di menara penyihir.
"Salam untuk Yang Mulia Pangeran William, sang Bintang kerajaan," ucap Aiden sembari menunduk dengan menyilangkan tangan kanannya di depan dadanya.
"Lama tak berjumpa, Tuan Aiden. Bagaimana kabar Anda?" sapa William basa-basi.
"Seperti yang Anda ketahui, semuanya baik-baik saja. Terima kasih atas dukungan pangeran dan kerajaan Axias yang sudah banyak membantu akademi kami," ucap Aiden merendah.
"Saya yakin kedatangan Tuan Aiden ke kerajaan ini karena sesuatu hal yang penting. Bagaimana kalau kita membicarakannya di ruangan saya?" tawar William.
Aiden mengangguk. Ia menerima tawaran dari William. Karena bagaimanapun, dia sedang dalam sebuah misi."
Aiden dan William, baru saja sampai di ruangan William.
Ruangan megah bernuansa emas dimana banyak tersusun buku pada rak yang menempel di dinding, cukup membuat Aiden takjub. Apalagi banyak buku pengetahuan tentang sihir meski sebenarnya rak buku itu lebih di d******i buku sosial dan politik kerajaan.
"Ruangan yang sangat indah, Pangeran," ucap Aiden.
Tak berapa lama setelah keduanya duduk dan sedikit bercengkerama. Tiba-tiba ada seorang gadis cantik yang berjalan ke arah William.
"Yang Mulia Pangeran William, Sayang. Kenapa mereka tak mengizinkanku untuk menemui mu?" Gadis itu tampak merajuk.
Aiden mengernyit. Mengapa wanita itu sangat tak sopan pada William?
"Dia...."